Mohon tunggu...
Anjas Wahyu AS
Anjas Wahyu AS Mohon Tunggu... Paling suka minum susu-susu an

Cukup suka berbagi informasi, tips maupun diskusi yang tengah hangat dibicarakan di masyarakat.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Menyikapi Agama Layaknya Menyikapi Arus Globalisasi

20 Februari 2025   14:45 Diperbarui: 20 Februari 2025   14:41 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hal ini lantas membuat penulis sedikit membuat kesimpulan apabila, mungkin saja, beberapa ketentuan/arahan dalam holy scripture mungkin bisa saja tidak relevan lagi apabila dipergunakan pada masa/zaman sekarang. Mungkin perkataan ini akan sangat mengagetkan banyak pihak dan bisa saja menyulut amarah pula. Namun, yang ingin saya perjelas disini adalah sesuai dengan poin pertama saya saat menulis tulisan ini, mari kita mencoba melihat holy scripture ini layaknya sebuah arus globalisasi.

Kesemua holy scripture yang umat manusia pernah lahirkan pasti memiliki tujuan yang baik dan begitu mulia, itu adalah kebenarannya. Namun, kembali lagi, dunia tidaklah semudah melihat hitam dan putih, melainkan abu-abu. Oleh karenanya, tugas manusia pula lah yang memiliki akal pikiran yang begitu besar, layaknya bisa memilah, selektif dan bijak dalam menyikapi sesuatu, teruntuk kepada holy scripture juga yang terhitung sakral.

Pandangan ini mungkin akan banyak mendapatkan pertentangan, dan akan dianggap sesuatu yang begitu negatif. Namun sekali lagi, penulis ingin mengingatkan, bahwa sesuatu di dunia ini pasti memiliki sisi positif dan negatif, bahkan untuk sesuatu se sakral holy scripture. Mari kita mencoba menelaah kembali pembahasan kita, apakah arahan yang ada pada holy scripture yang kita bahas tadi selaras dengan landasan hukum dan juga cita-cita dari para bapak pendiri bangsa kita? Mungkin saja memang ada beberapa poin pada holy scripture yang tidak lagi relevan mengikuti perkembangan zaman yang ada, apabila dibandingkan dengan zaman ketika arahan/perintah tersebut pertama kali muncul/turun.

Hanya beberapa poin, salah satunya seperti yang kita bahas tadi sebelumnya. Di beberapa poin lain pun juga beberapa menyebutkan mengenai larangan untuk menjalin pertemenan dengan non muslim diantara muslim[11]. Apakah hal itu juga masih relevan di kehidupan kita saat ini, yang sudah benyak bersinggungan dengan orang-orang yang memiliki latar belakang yang begitu berbeda dengan kita? Bukankah perbedaan itu ada untuk memberikan corak warna yang beragam dan indah antar satu individu dengan individu yang lain, dan bukannya menimbulkan pergesekan berujung pada pertikaian? Kita ambil contoh saja momen ketika Laksamana Tadashi Maeda meminjamkan rumahnya kepada para pendiri bangsa ketika sedang merumuskan naskah proklamasi[12]. Laksamana Maeda kala itu adalah seorang pemeluk keyakinan Shinto dan para pendiri bangsa kita kala itu mayoritas adalah Islam. Apabila para pendiri bangsa kala itu tetap berkeyakinan untuk tidak menjadikan seseorang yang tidak seiman dengan mereka sebagai kawan, apa yang akan terjadi dengan Indonesia? Mungkin saja, Indonesia tidak akan lahir, dan tentunya para penjajah lah yang akan makin senang dengan perpecahan internal yang terjadi diantara banyaknya para pendiri bangsa Indonesia.

Penulis ingin sekali lagi menegaskan, bukan berarti menulis menentang akan keberadaan holy scripture secara keseluruhan, namun penulis ingin mengajak para pembaca untuk lebih bijak dan selektif dalam menyikapi dan mengamalkan nilai-nilai yang ada pada holy scripture masing-masing. Tidaklah semua isi holy scripture tidak relevan lagi dengan zaman sekarang, beberapa diantaranya masih ada yang relevan dan tentunya begitu menyejukkan hati para penganutnya, bahkan untuk orang-orang di luar keyakinan tersebut[13&14]. Poin-poin yang seperti inilah yang patut kita ambil dan amalkan pada kehidupan sehari-hari. Terlebih lagi, penulis cukup yakin apabila manusia adalah mahkluk hidup yang memiliki intelegensi begitu tingginya, sehingga bisa membuat semacam moral compass yang akan selalu beradaptasi dengan perkembangan zaman, yang juga ikut menyempurnakan isi dari holy scripture yang dirasa memang beberapa darinya perlu untuk kita ubah/tinggalkan yang sekiranya tidak lagi relevan.

Marilah kita ambil yang baik dan bermanfaat bagi diri kita dan orang-orang sekitar kita, lalu kita buang/tidak kita pilih sesuatu yang merugikan baik kita maupun orang-orang sekitar kita. Karena dunia ini memanglah begitu unik, banyak ragam corak warna menyatu menjadi satu dan diharapkan perbedaan itu akan semakin memperkokoh jalinan kasih antar umat manusia dan bukan malah memercikkan api pertikaian.

REFERENSI

[1] https://news.detik.com/berita/d-3496149/hakim-ahok-merendahkan-surat-al-maidah-51?page=all&single=1

[2] https://tafsirweb.com/1935-surat-al-maidah-ayat-51.html

[3] https://www.kompasiana.com/syahirulalimuzer/580ef3bdbb9373ec1695e923/fakta-historis-soal-turunnya-surat-al-maidah-51

[4] https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-6227624/kenapa-butir-pertama-piagam-jakarta-diganti-ketuhanan-yang-maha-esa-ini-jawabannya?page=all&single=1

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun