Mohon tunggu...
Anjas Wahyu AS
Anjas Wahyu AS Mohon Tunggu... Paling suka minum susu-susu an

Cukup suka berbagi informasi, tips maupun diskusi yang tengah hangat dibicarakan di masyarakat.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Menyikapi Agama Layaknya Menyikapi Arus Globalisasi

20 Februari 2025   14:45 Diperbarui: 20 Februari 2025   14:41 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semua ini berasal dari salah satu petikan ayat kitab Qur’an yang berbunyi (dalam bahasa Indonesia),

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang-orang yang zalim”[2]

Kalimat yang penulis dengan cetak tebal adalah kalimat yang memulai semua huru-hara ini. Sebagian dari kita sebagai masyarakat awam akan langsung paham akan petikan ayat tersebut. Petikan dimana Tuhan mengisyaratkan pada hambanya untuk mendahulukan seseorang dari golongan seiman mereka terlebih dahulu untuk menjadi pemimpin mereka, ketimbang orang dengan iman yang berbeda dengan mereka.

Itulah pemahaman kita sebagai orang awam, yang kita ketahui. Namun, karena petikan ini merupakan sesuatu yang berasal dari holy scripture, alangkah lebih baiknya apabila kita juga melihat beberapa tafsir yang ada mengenai petikan ayat ini, karena firman Tuhan yang ada pada holy scripture ini terkadang bisa saja memiliki makna yang lain,

(Tafsir Al Muyassar / Kementerian Arab Saudi) :
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menjadikan orang-orang yahudi dan nasrani sebagai sekutu-sekutu dan penolong-penolong untuk menghadapi kaum beriman. Demikian itu, karena sesungguhnya mereka tidak sayang kepada kaum Mukminin. Orang-orang yahudi itu, sebagian mereka loyal kepada sebagian yang lain. Begitu pula kaum nasrani. Dan dua golongan itu bersatu untuk memusuhi kalian, sedang kalian (wahai kaum mukminin), sepantasnya sebagain dari kalian membela sebagaian yang lain. Dan barangsiapa dari kalian yang memberikan loyalitasnya kepada mereka, sesungguhnya dia akan menjadi bagian dari mereka, dan hukumnya akan seperti hukum mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberikan taufik kepada orang-orang zhalim yang membela orang-orang kafir.[2]

Begitulah salah satu potongan tafsir yang penulis dapatkan melalui hasil riset kecil-kecilan penulis melalui search engine Google. Drai sumber yang sama pun, dapat dilihat juga apabila tafsir-tafsir yang lain pun juga mengiyakan hal yang sama dengan tafsir yang telah dikutip diatas, yakni mengenai ketidakbolehan seorang muslim dalam menjadikan seorang non-muslim menjadi pemimpin mereka.

Sekali lagi, dalam melihat dan memaknai isi suatu ayat yang bersumber dari sebuah holy scripture, sangatlah penting untuk kita semua melihat terlebih dahulu bagaimana situasi dan kondisi dimana petikan ayat yang berupa arahan dari Tuhan tersebut ada/muncul pada kala itu. Salah satu riwayat menurut Assyaukani yang mengatakan apabila asal muasal turunnya ayat/arahan ini dikarenakan adanya peperangan yang terjadi antara kabilah Bani Qainuqa dan Bani Khazraj  sehingga ada diantara mereka ada yang menyerahkan urusan ini (meminta perlindungan) kepada kelompok lain yang bukan dari kelompok mereka [3].

Penulis pun juga pernah membaca beberapa komentar di sosmed yang mengatakan apabila situasi peperangan yang begitu pelik dan mengancam nyawa, membuat ayat tersebut turun sebagai bentuk arahan paling ideal bagi umat Muslim kala itu, untuk memilih pemimpin mereka yang akan membawa memimpin mereka di medan peperangan.

Sekarang, mari kita sejenak kembali ke waktu sekarang, waktu dimana bisa dibilang ini merupakan era-era kedamaian pasca Perang Dunia Kedua yang berakhir pada 1945, sebuah perang yang begitu dahsyat yang melibatkan banyak poros kekuatan dunia kala itu.

Indonesia, merupakan sebuah negara yang masuk jajaran negara pertama/awal lahir pasca Perang Dunia Kedua berakhir. Indonesia merupakan negara yang begitu besar dan begitu luas, dengan begitu banyaknya ragam suku bangsa, bahasa dan agama yang ada. Hal ini membuat Indonesia tidak akan memungkinkan untuk menjadi sebuah negara yang akan memiliki konstitusi/landasan dasar negara dari sebuah holy scripture. Hal itu hampir terjadi ketika Piagam Jakarta akan disahkan sebagai Pancasila/Ideologi Negara Indonesia, sebelum para tokoh-tokoh dari wilayah Indonesia Timur melayangkan keberatan mereka[4].

Apa yang membuat para tokoh-tokoh dari wilayah Timur ini merasa keberatan pada saat itu? Hal itu dikarenakan adanya sila pertama pada Piagam Jakarta yang berbunyi, “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya”[4]. Hal itu membuat para tokoh dari wilayah Timur merasa keberatan karena sila tersebut akan membuat keretakan dalam persatuan Indonesia, dikarenakan adanya kecenderungan/tendensi lebih pro terhadap suatu golongan tertentu, yakni umat muslim.

Para tokoh dari Timur yang kebanyakan menganut agama Kristen/Katolik pun menjadi gusar dan risau apabila nantinya Indonesia sendiri akan berdiri menjadi sebuah negara Islam, yang nantinya juga konstitusi yang akan diberlakukan juga bisa jadi berdasar pada nilai-nilai dari agama Islam, yang kembali lagi akan bertolak belakang dari keyakinan dari para tokoh Timur yang hendak ikut bergabung menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun