Mohon tunggu...
Anjas Wahyu AS
Anjas Wahyu AS Mohon Tunggu... Penulis - Paling suka minum susu-susu an

Cukup suka berbagi informasi, tips maupun diskusi yang tengah hangat dibicarakan di masyarakat.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Ketika Kesehatan Mental Hanya Dianggap sebagai Candaan Belaka

13 November 2022   13:09 Diperbarui: 13 November 2022   13:12 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pada tanggal 10 Oktober lalu, kita merayakan adanya Hari Kesehatan Mental Dunia. Mungkin tak banyak dari kita yang bertanya-tanya "hah, ada ya emang hari kesehatan mental dunia? Baru denger dah" dan itupun bukanlah menjadi sesuatu yang mengejutkan mengingat topik mengenai kesehatan mental itu sendiri memang jarang dibahas di muka umum.

Apabila kita berbicara mengenai kesehatan, seringkali yang terpikirkan di pikiran kita adalah bagaimana cara kita untuk menjaga dan merawat tubuh kita dari berbagai luka, serangan penyakit, gaya hidup yang sehat dan sebagainya. Namun, tak banyak dari kita yang tidak menyadari bahwasanya menjaga dan merawat mental kita itu sendiri jugalah sama pentingnya dengan kesehatan tubuh kita. Selayaknya sebuah pepatah dalam bahasa latin men sana in corpore sano, yang memiliki makna "di dalam tubuh yang sehat, terdapat jiwa yang kuat".

Kesehatan mental yang sifatnya berbentuk abstrak alias tak kasat mata inilah yang kerapkali dihiraukan oleh sebagian besar masyarkaat Indonesia. Mereka mengira, apabila tubuh mereka tidak sakit maka kesehatan tubuh mereka baik-baik saja. Nyatanya, dibalik itu bisa jadi jiwa nya lah yang sedang merasakan sakit. Mereka mungkin saja sedang mengalami hari yang begitu buruk, hari yang begitu melelahkan sampai-sampai membuat mereka stress tatkala sudah berada di rumah. Stress, depresi, pusing, anxiety inilah salah satu contoh dari sekian banyaknya gangguan mental yang seharusnya mendapatkan perhatian yang lebih pula.

Kesehatan mental yang buruk yang tidak mendapatkan penanganan intensif dapat berdampak kepada psikis korban lebih lanjut. Seseorang yang kerapkali mendapatkan perlakuan bullying dari rekan sebaya, ataupun karyawan yang tidak henti-hentinya diberikan beban kerja berlebih dari atasannya dengan berbagai ultimatum yang siap menantinya. Para korban ini, apabila mereka hanya dibiarkan begitu saja, meratapi nasib mereka yang tak kunjung berubah tanpa adanya seorangpun yang mencoba mengulurkan tangan untuk memberikan pertolongan, hanya akan semakin memperburuk psikis dari korban tersebut. Korban akan merasa tidak berguna, tidak punya tujuan dalam hidup, tak ada seorangpun yang sekiranya bisa mereka jadikan tempat untuk bernaung dalam kesedihan mereka. Kesabaran dan ketabahan seseorang tentunya memiliki batas, dan ketika batas kesabaran dan ketabahan itu telah melampaui batas, imbas dari serangan psikis yang bertubi-tubi tadi, tidak menutup kemungkinan apabila korban akan lambat laun mencari jalan pintas untuk menyelesaikan semua permasalahn mereka secara instan dengan cara-cara yang berada di luar nalar manusia.

Dikutip dari riset yang dilakukan oleh pihak Vice Indonesia, disebutkan apabila terdapat setidaknya 2,45 juta jiwa warga negara Indonesia yang tergolong dalam golongan orang dengan gangguan jiwa. 2,45 juta jiwa tentu bukanlah sebuah angka yang sedikit, dan sudah sepatutnya bagi pemerintah dan kita sebagai elemen paling dasar dalam konstruksi masyarakat mulai memberikan perhaian sedikit pada kesehatan mental seseorang. Kebiasaan-kebiasaan buruk seperti menganggap lemah, cemen, cupu pada orang-orang dengan gangguan kecemasan hanya akan semakin memperparah kesehatan mental dari sang korban. Bukannya dukungan suportif yang ia dapat dari lingkungan sekitarnya untuk mengatasi rasa kecemasannya, yang ada sang korban makin tenggelam dan takluk dengan kecemasan yang senantiasa menghantui dirinya setiap saat.

Gangguan kecemaan adalah sekian dari banyak kesehatan mental yang seringkali dianggap remeh oleh masyarakat kita. Bagaimana hidup seseorang seringkali selalu didikte oleh orang lain harus begini begitu dan apabila tidak mengikuti dikte yang ada makan orang tersebut harus siap-siap menerima sanksi sosial yang ada. Contoh kecil adalah ketika seorang anak kecil yang mendapatkan nilai jelek di beberapa mata pelajaran yang mana ia tidak kuasai. Sang orang tua yang lantas tidak terima dengan hasil tersebut spontan biasanya akan marah dan mempertanyakan kenapa anaknya bisa menjadi "sebodoh" itu. Sang orang tua pun lantas akan mulai mencari-cari alasan yang nonsense yang ia pikir dapat berdampak posistif bagi tumbuh kembang sang anak, namun malah hal sebaliknya yang terjadi. Alasan-alasan seperti sang anak kebanyakan nonton tivi, kecanduan game hingga dibanding-bandingkan dengan anak tetangga bukannya menjadi pelecut semangat bagi sang anak, yang ada malah menjadi bumerang bagi orang tua tersebut ketika buah hatinya mulai menjadi rebel. Anak makin tidak suka dengan treatment yang diberikan oleh orang tua mereka dan menganggap bahwa orang tua mereka sekalipun tak memahami apa yang sebenarnya buah hati mereka butuhkan, yakni bimbingan belajar yang sabar namun telaten dan eksplorasi bakat terpendam sang anak di bidang lain. Karena selayaknya Einsten pernah bilang "Semua orang jenius. Tetapi, jika Anda menilai seekor ikan dari kemampuannya memanjat pohon, ia akan menjalani hidupnya dengan percaya bahwa itu bodoh."

Itu baru contoh kecil dari seorang anak yang masih meraba-raba dunia, kita bisa ambil contoh lain lagi di tingkat kehidupan yang lebih tinggi seperti Perguruan Tinggi. Senioritas yang tak kenal ampun di suatu jurusan kerapkali menjadi momok menakutkan bagi para mahasiswa baru yang hendak menjejakkan kakinya di dunia perkuliahan. Bukannya disambut dengan hangat oleh para kakak tingkat (kating), yang ada terkadang malah perlakuan semena-mena yang mereka dapatkan. Dengan dalih "melatih mental", para kating ini tidak segan-segan melakukan kekerasan fisik yang tidak hanya melukai tubuh bagian luar para maba tapi juga kesehatan mental mereka. Dengan nada-nada mengolok dan teriakan-teriakan seperti "Begini saja kalian sudah ga kuat, gimana kalau kalian kerja nanti! Gitu aja kok ga kuat, lemah!" tentunya tidak bisa dibenarkan begitu saja. Pengalaman traumatis yang mereka terima tidak akan dapat hilang begitu saja layaknya koreng, akan selalu membekas. Pengalaman memalukan, menghinakan dan menyesakkan hati tersebut nantinya akan melahirkan kembali rantai kebencian yang baru buah dari kesehatan mental yang sudah rusak dan mungkin tak dapat terobati lagi.

Kesehatan mental bukanlah sesuatu yang bisa kita jadikan candaan maupun guyonan. Apabila kesehatan tubuh dapat kita obati dan kita amati perkembangan laju kesembuhannya, hal semacam itu akan sulit untuk kita amati dengan kesehatan mental seseorang. Tidak berdarah tapi rasanya sakit, itulah yang dinamakan luka di hati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun