Mohon tunggu...
Anjas Prasetiyo
Anjas Prasetiyo Mohon Tunggu... lainnya -

Belajar dari Anda Semua

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Dieng; Rona Nirwana Tanah Jawa

30 Oktober 2016   10:05 Diperbarui: 30 Oktober 2016   10:11 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Alam beradu sengit dengan tekad kami di sepanjang jalur Garung, Kejajar, hingga Dieng. Jalan berkelok yang disambung dengan tanjakan tajam di beberapa titik memberikan banyak kejutan. Rasa khawatir menyeruak lantaran usia mobil kami yang tak lagi muda. Doa terpanjat dan harapan digantungkan agar mobil itu tidak menyerah di tengah jalan akibat beratnya medan. Ipar saya menjamin semuanya akan baik-baik saja karena ia telah berpengalaman menaklukkan jalur itu puluhan kali. “Anggap saja kita baru naik rollercoaster”, tandasnya.

Suguhan pemandangan mistis di luar jendela mobil sedikit mengusir rasa khawatir. Kabut putih yang berkerumun di puncak-puncak bukit membuat mata terpana. Waktu itu hari belum sepenuhnya terang, akan tetapi obyek alam dalam jangkauan mata sudah samar-samar terlihat. Di belakangnya, siluet gunung membayangi, seolah menjadi dinding pembatas dengan dunia lain.

Akhirnya, sang surya mengambil alih pagi. Spektakuler! Berkas-berkas cahayanya pelan mengikis rona gelap yang bertahta semalaman di setiap sudut alam Dieng.  Sejurus kemudian, jendela mobil saya buka lebar-lebar untuk menangkap belaian lembut cahaya pagi. Hangat menerpa wajah. Alam dieng pelan-pelan mulai ditelanjangi mentari pagi. Dan, betapa terkejutnya saya menemukan bukit-bukit telah gundul, dan digantikan dengan ladang-ladang kentang.  Di sini, kuasa manusia atas alam terasa begitu absolut.

Sebuah telaga tersingkap mentari pagi (sumber: foto pribadi)
Sebuah telaga tersingkap mentari pagi (sumber: foto pribadi)
Meskipun butuh sekitar 3 jam perjalanan yang cukup melelahkan dari Jogja, entah mengapa kunjungan ke Dieng kala itu membuat saya amat bersemangat. Sebagai penggemar sejarah Jawa kuno,  perjalanan itu laksana penuntasan rasa penasaran saya yang lama terpendam. Bila selama ini nama besar Dieng tersohor dalam buku-buku bacaan atau pun dikisahkan melalui liputan-liputan wisata di layar kaca, sekarang saatnya keagungan daerah itu saya singkap dengan mata kepala sendiri. Ahh…. saya tak sabar

Sesampainya di komplek Candi Dieng, kami memutuskan untuk rehat sejenak. Dalam suasana ini, tidak ada kegiatan lain yang lebih mengasyikkan selain bersantap. Lagi pula hawa dingin yang masih enggan beranjak pergi membuat perut kami meronta minta diisi. Oleh sebab itu, kami sambangi sebuah warung makan yang telah buka dari pagi buta. “Mumpung di Dieng, yuuk..kita coba Mie Ongklok, makanan khas sini”, ajak kakak ipar saya yang pernah bermukim di Wonosobo selama empat tahun. Patuh pada mantan penduduk kabupaten itu, kami pun kompak memesan Mie Ongklok.

Sekilas, Mie Ongklok nampak berlendir karena kuahnya yang kental. Aneh? Jangan salah sangka dulu ya. Justru ini letak rahasia kelezatannya. Setelah menghimpun informasi termasuk bertanya langsung pada penjual, ternyata kentalnya kuah Mie Ongklok tercipta dari paduan sari pati singkong, gula merah, dan udang kering yang diramu sedemikian rupa. Saat penyajian, mie ini ditemani bumbu kacang, taburan lada, dan bawang goreng, memberi cita rasa gurih. Sedangkan tekstur renyah didapatkan dari sayuran berupa kubis dan daun kucai. Selagi panas, saya santap mie itu cepat-cepat. Sedapnya terasa hingga ubun-ubun he..he.

Oya kawan! Bagi yang belum tahu, sebenarnya Ongklok adalah keranjang yang terbuat dari anyaman bambu yang dahulu biasa digunakan oleh masyarakat Wonosobo dalam proses perebusan mie tersebut. Dari nama alat tersebut, Mie Ongklok dinamakan. Unik bukan?

Puas bersantap, perjalanan dilanjutkan. Karena sudah berada tepat di luar komplek Candi Dieng, tak perlu berkendara. Cukup dengan berjalan kaki saja. Biarlah mobil tua kami beristirahat setelah berjuang keras menaklukkan tanjakan. Adil bukan? Setelah menebus tiket masuk seharga sepuluh ribu rupiah per orang di loket, kami langsung memasuki area candi.

Reruntuhan Dharmasala (foto pribadi)
Reruntuhan Dharmasala (foto pribadi)
Bagian paling depan dari area komplek Candi Dieng adalah sebuah pelataran yang berisi bongkahan-bongkahan batu kuno. Batu-batu itu merupakan umpak atau tiang dari sebuah bangunan bernama Dharmasala. Dharmasala  dahulu kala digunakan sebagai tempat peristirahatan atau pun persiapan para pendeta dan peziarah sebelum mengikuti ritual peribadatan di Komplek Candi Dieng

Deretan cemara cantik mengapit jalan setapak yang kami lalui menuju komplek Candi Dieng. Kawasan itu tampak tertata, sehingga menimbulkan kesan nyaman selama berada di sana. Tempat sampah sengaja diletakkan di beberapa titik agar wisatawan tidak membuang sampah sembarangan. Alhasil, tak ada satu pun sampah berserakan di sekitar pelataran candi. Kalau begini, saya semakin bersemangat menyambangi satu per satu candi di kawasan itu. Antusiasme seperti ini memang perlu dipupuk mengingat luasnya komplek Candi Dieng yang harus dijelajahi dengan berjalan kaki. Kawasan Candi Dieng menempati area seluas 90 hektar.

Komplek Candi Dieng dibangun oleh Wangsa Sanjaya pada abad ke-8 dan ke-9 Masehi,. Tempat ini terbagi ke dalam tiga kelompok dan sebuah candi tunggal yang letaknya terpisah agak jauh dari kawasan tersebut. Uniknya, kawasan itu diberi nama merunut nama-nama tokoh pewayangan dalam cerita Mahabarata. Mereka bernama Kelompok Arjuna, Kelompok Gatotkaca, Kelompok Dwarawati, dan sebuah candi bernama Candi Bima.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun