Mohon tunggu...
Anja Saniyyah
Anja Saniyyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswi Hukum Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Analisis Prinsip-Prinsip Perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

14 Februari 2024   10:58 Diperbarui: 14 Februari 2024   11:00 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Analisis prinsip-prinsip perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sebagai berikut : 

  • Asas Sukarela.
    Kesukarelaan diantara mempelai laki-laki maupun perempuan dan  kedua orang tua mempelai termasuk wali tanpa ada paksaan dari siapapun. Asas sukarela tertera pada Pasal 6 ayat (1) UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa:
    "perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua mempelai". 
  • Asas Partisipasi Keluarga.
    Untuk menikah diperlukan partisipasi keluarga untuk merestui perkawinan. Bagi calon mempelai di bawah umur 21 tahun diatur dalam Pasal 6 ayat (2, 3, 4, 5, 6) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan:
    (2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
    (3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
    (4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
    (5) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3), dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih di antara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3), dan (4) pasal ini.
    (6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.
    Jadi jika calon mempelai berusia di bawah 21 tahun maka harus memenuhi syarat-syarat yang telah tertera dalam Undang-Undang yaitu harus mendapat izin tertulis dari kedua orang tua yang dikeluarkan oleh KUA atau Disdukcapil sebagai syarat administrasi.
     
  • Asas Perceraian Dipersulit.
    Asas hukum perkawinan yang di jelaskan dalam Pasal 39 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa perceraian hanya dapat di lakukan di depan Sidang Pengadilan dan berdasarkan alasan-alasan tertentu bahwa antara suami dan istri tidak dapat hidup rukun kembali. Dalam pasal ini menerangkan bahwa tata cara perceraian di persidangan di atur tersendiri dalam peraturan perundang-undangan. 
  • Asas Poligami Dibatasi Secara Ketat.
    Asas poligami di batasi secara ketat sesuai pada Pasal 3 dan 4 UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Pada dasarnya suami dan istri hanya boleh memiliki satu pasangan tidak boleh lebih akan tetapi pengadilan dapat memberikan izin kepada suami untuk mempunyai istri lebih dari satu apabila diizinkan/ direstui oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Sesuai dalam pasal 4 pengadilan hanya memberikan izin kepada seorang suami yang sudah memiliki istri apabila sang istri tidak bisa menjalankan kewajibannya sebagai istri, istri terdapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, istri tidak dapat memberikan keturunan. 
  • Asas Kematangan Calon Mempelai.
    Hal ini terdapat dalam pasal 7 ayat (1,2) UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
    (1) perkawinan hanya diizinkan jika pria sudah mencapai umur 19 tahun dan wanita telah mencapai umur 16 tahun.
    (2) Pengadilan ataupun pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua dari pihak laki-laki maupun perempuan dapat memberikan dispensasi kepada anak di bawah umur untuk melangsungkan perkawinan.
    UU no. 1 tahun 1974 tentang perkawinan tidak menunjukkan batasan yang tegas tentang "kematangan" calon penganten, sehingga calon penganten yang belum "dewasa" pun dapat melangsungkan perkawinan jika diinginkan oleh pihak-pihak yang bersangkutan, dan pengadilanpun dapat memberikan izin kepada mereka untuk menikah. 
  • Memperbaiki Derajat Kaum Wanita.
    Undang-Undang No.1 tahun 1974 kaum wanita di indonesia mendapatkan hak-haknya. pencatatan perkawinan wanita di indonesia mendapatkan hak-haknya dalam masa perkawinan ataupun pasca perceraian. Begitu juga dengan ikrar talak di pengadilan agama, dengan adanya ikrar talak di pengadilan agama para wanita tidak akan tertindas dengan pengucapan talak yang semena-mena dari suami diluar pengadilan agama sehingga wanita dapat mempertahankan hak- haknya.
    Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan diharapkan dapat memperbaiki dan meningkatkan derajat kaum wanita dan diharapkan pada masa yang akan datang suami bertanggung jawab terhadap istri dan anak-anaknya di dalam hal pemeliharaan dan perlindungannya. 
  • Asas Pencatatan Perkawinan.
    Ketentuan pencatatan perkawinan diatur dalam Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974 yang menyatakan:
    (1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing- masing agamanya dan kepercayaannya itu.
    (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
    Perbuatan pencatatan perkawinan, bukanlah menentukan sah atau tidaknya perkawinan. Dengan pencatatan itu perkawinan menjadi jelas, baik bagi yang bersangkutan maupun pihak-pihak lainnya. Suatu perkawinan yang tidak tercatat dalam Akta Nikah dianggap tidak ada oleh negara dan tidak mendapat kepastian hukum.
    Tujuan pencatatan perkawinan ini untuk memberikan kepastian dan perlindungan bagi para pihak yang melangsungkan perkawinan, sehingga memberikan kekuatan bukti autentik tentang telah terjadinya perkawinan dan para pihak dapat mempertahankan perkawinan tersebut kepada siapapun di hadapan hukum.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun