Sempat bertukar pikiran dengan seorang teman yang memulai usaha sampingan beternak burung puyuh. Ketika kutanyakan apakah puyuh-nya sudah mulai bertelur, temanku dengan berbinar-binar mengatakan “sudah”.
Binarnya semakin terang ketika bercerita bahwa ada rutinitas baru tiap pagi mengambil telur-telur yang ‘bergelundungan’ di kandang.
Rutinitas yang sangat menyenangkan karena memulai hari dengan ‘disuguhi’ hasil kerja.
Masih menurut temanku tadi, beda rasanya dengan kerja kantoran yang masuk pagi hari dimulai dengan daftar persoalan yang harus diselesaikan hari ini.
Mhm….
Aku ikut bahagia mendengarnya, harapanku adalah kesenangannya beternak tidak akan berhenti sampai tataran klangenan (e dibaca seperti melafalkan ‘e’ pada ‘belum’)
Dari yang kubaca di http://gunemanku.blogspot.com/2010/07/klangenan.html. Klangenan dalam bahasa Jawa bisa berarti hobi ataupun kegemaran. Lelaki Jawa jaman dulu umumnya memiliki klangenan berupa ayam jago, kuda atau burung perkutut. Klangenan bisa dijadikan simbol status sosial seseorang. Orang yang memiliki klangenan biasanya rela melakukan apapun atau menghabiskan uang berapapun untuk klangenannya itu.
Ketika ternak menjadi klangenan, tidak ada lagi diperhitungkan mana pilihan yang lebih baik (menguntungkan secara hitungan ekonomi) antara tetap bertahan memelihara ternak atau melepaskan-nya.Banyak peternak yang tak rela melepas ternaknya meski harus mengeluarkan biaya pakan yang jika ‘ditotal jendral’ jumlahnya melampaui harga jual ternak itu sendiri….tombok dong.
Kalau ada yang menanyakan pendapat atau saranku (halah…saran, siapa lo ? ahli peternakan? Hehehe). Mending dihitung lagi deh, berapa sih harga modal awal, lalu berapa biaya pemeliharaan dan bandingkan dengan harga jual ternak.
Ketika hitungan sudah ada ‘selisih menguntungkan’ antara harga ternak di pasaran dengan total biaya….segera lepas ternak itu ke pasar…JUAL ! Kalau sudah pada posisi tidak menguntungkan, potong aja deh buat perbaikan gizi orang sekampung hehehe (bukan pilihan solusi yang menguntungkan secara ekonomis ya). Oke, tawaran solusinya kuganti dengan memotong dan mengolah ternak menjadi produk baru yang punya nilai jual lebih tinggi. (misalnya daging diolah jad abon, rendang, dendeng kaleng…atau apalah ).
Mhm….
Jika saja Negara dianalogikan sebagai petani/peternak, dan pegawai negeri sipil jadi ternaknya (jangan tersinggung ya PNS – secara aku sendiri PNS).
Alangkah indahnya jika PNS tidak sekedar menjadi klangenan-nya negara, tetapi bisa menjadi partner, mitra, yang memberikan nilai produktif untuk negeri.
Tapi, jika PNS masih menjadi klangenan yang kalau kita kembalikan ke definisi di atas - Klangenan bisa dijadikan simbol status sosial seseorang. Orang yang memiliki klangenan biasanya rela melakukan apapun atau menghabiskan uang berapapun untuk klangenannya itu.
Ada yang punya alternatif solusi ?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H