Di bawah lampu temaram yang menggantung rendah di sebuah warung kopi pinggir pantai, Lara duduk termenung. Malam itu angin monsun membawa hawa dingin yang menusuk, memaksa beberapa pelanggan lain menarik jaket lebih rapat ke tubuh mereka. Namun, Lara tetap diam, hanya ditemani secangkir kopi yang sudah mulai dingin. Di seberangnya, seorang teman lama, Damar, duduk dengan pandangan penuh rasa ingin tahu.
"Kamu tahu nggak, Dam?", Lara memulai percakapan, "aku sering mikir kalau hidup ini penuh sama kategori yang bikin semuanya terpisah. Semua harus dilabelin, dimasukin ke dalam kotak, dikasih nama. Tapi aku nggak ngerti, itu beneran bikin semuanya lebih gampang atau malah lebih ribet."
Damar hanya mengangguk pelan, memberikan isyarat agar Lara melanjutkan.
"Lihat aja hidupku," lanjut Lara. "Aku ngebagi semuanya jadi tiga: gampang, menengah, sama susah. Yang gampang itu kayak berdoa, ngayal, atau cuma melamun. Yang menengah ya makan, minum, atau gerak. Tapi yang susah? Ah, yang susah itu selalu ada hubungannya sama perasaan---ngomong, nyampein emosi, atau bahkan ngaca dan nerima diri sendiri."
Damar tertawa kecil. "Tapi buat apa sih dibagi-bagi gitu? Kan kamu tetep aja ngejalanin semuanya, nggak peduli itu gampang atau susah."
Lara tersenyum pahit. "Coba aja hidup sesederhana itu. Tapi kenyataannya, aku harus bikin pembagian ini gara-gara ada orang yang baru mau deketin aku. Aku harus pastiin dia nggak masuk terlalu jauh."
"Serius? Ada yang deketin kamu? Siapa?" tanya Damar penasaran.
"Ya, cuma seseorang," jawab Lara sambil mengangkat bahu. "Tapi yang jelas, aku nggak cerita semua yang aku ceritain ke kamu. Kamu tahu, Dam, aku selalu percaya kalau ada hal yang harus disimpen sendiri, dan ada yang bisa dibagi. Sama kamu, aku bisa jujur. Tapi sama dia? Aku cuma kasih permukaannya aja."
Damar memandang Lara lekat-lekat. "Terus, gimana perasaan kamu soal itu? Lebih lega atau malah tambah berat?"
Lara tidak segera menjawab. Dia hanya menatap gelombang laut yang memantulkan cahaya lampu-lampu dari kejauhan.. "Aku nggak tahu, Dam. Tapi rasanya makin aku coba ngatur hidup kayak gini, makin susah juga ngejalaninnya."
Beberapa saat kemudian, Lara meraih ponselnya dari tas kecil yang tergeletak di meja. Dia membaca pesan singkat dengan wajah tanpa ekspresi, lalu berdiri sambil berkata, "Aku harus pergi sebentar. Ada yang harus aku urusin."
Damar mengangguk, membiarkan Lara pergi tanpa bertanya lebih jauh. Saat Lara berjalan menjauh, Damar kembali tenggelam dalam pikirannya sendiri. Dia menyadari ada sesuatu yang berubah dalam diri Lara---sesuatu yang tidak bisa dia sentuh atau pahami sepenuhnya.
Dari kejauhan, Damar melihat Lara berbicara dengan seseorang yang tak dikenalnya. Pria itu tampak akrab dan santai, sementara Lara terlihat berbeda---lebih terbuka, lebih ringan. Pemandangan itu membuat hati Damar terasa sedikit berat. Dia tahu ada perjuangan besar yang sedang dihadapi Lara, dan meskipun dia ingin membantu, dia hanya bisa menjadi penonton.
Di bawah langit malam yang penuh bintang, Damar merenung. Dia tahu, dalam hidup, ada banyak hal yang tidak bisa dikategorikan begitu saja. Perasaan, hubungan, dan keinginan manusia tidak selalu bisa dimasukkan dalam kotak yang jelas. Tapi satu hal yang pasti, semua orang berjuang dengan caranya masing-masing, termasuk Lara.
Dalam keheningan malam itu, Damar berharap Lara menemukan apa yang dia cari. Bukan untuk membuktikan sesuatu kepada orang lain, tetapi untuk dirinya sendiri---agar dia bisa merasa utuh di tengah semua kekacauan dan kategori yang dia buat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H