Mohon tunggu...
Ginanjar Wahyu
Ginanjar Wahyu Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pabrik Semen Dibangun, Warga Rembang Aman-aman Saja

7 Desember 2016   22:21 Diperbarui: 7 Desember 2016   22:24 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Source: Radar Surabaya

Bedug telah ditabuh, adzan maghrib lanjut dikumandangkan. Seperti biasa, warga desa Pasucen, Rembang bergegas berangkat ke Masjid untuk melaksanakan sholat maghrib berjamaah.

“Nggih begini to mas kebiasaan kami”. Salah satu Mudin (tokoh agama) desa Pasucen, Rembang menjelaskan.

 “Masnya ‘ndak mau berjamaah sekalian?” Ia melanjutkan, mengajak saya turut berjamaah sholat maghrib.

 “Iya, pak. Mari” Saya mengangguk.

Hari itu, untuk yang pertamakalinya saya menginjakkan kaki di bumi Rembang, Jawa Tengah. Di salah satu masjid yang berada di tanah yang menuai banyak perdebatan lantaran pembangunan pabrik semen itu, saya menjalankan ibadah sholat maghrib berjamaah.

Seusai menjalankan ritual sakral sebagai seorang muslim, saya bersama pak Mudin kembali ke rumahnya.

“Alhamdulillah to, mas. Kebiasaan sholat maghrib berjamaah ini masih sering kami lakukan di masjid” Pak Mudin mengawali pembicaraan sambil berjalan.

Saya menyimak, sambil mengimbangi langkah kaki pak Mudin.

“’Ndak seperti yang dibilang orang-orang, katanya kami bermusuhan. Padahal mas sendiri lihat to kami aman-aman saja”. Pak Mudin melanjutkan, saya masih menyimak.

Malam itu, kedatangan saya sebagai seorang wartawan disambut hangat oleh pak Mudin. Sebab katanya, kalau tidak ada wartawan yang menulis berita, tentu kebenaran sulit diungkapkan.

Lima menit berlalu, akhirnya kami tiba di rumah pak Mudin. Di pelataran rumah yang damai dan sejuk, kami meneruskan perbincangan dengan ditemani kopi hitam dan pisang goreng buatan istri pak Mudin.

“Jadi pripun, mas? Apa yang mau sampean tanyakan moggo ditanyakan?” Kata pak Mudin sambil menyruput kopi hitam buatan istri.

Saya tersenyum memulai pembicaraan. “Jadi begini, Pak Mudin. Seperti yang Pak Mudin sampaikan tadi, sebenarnya saya hanya ingin tau kondisi yang sebenarnya dari masyarakat sini terkait pembangunan pabrik semen. Katanya warga banyak yang terpecah belah dari kubu yang pro dan kubu yang menolak pendirian pabrik, memang benar  seperti itu, Pak?” Saya mecomot satu gorengan pisang.

“Haa.. haa.. ha…” Pak Mudin tertawa tidak lantas menjawab.

“Saya kadang heran lo, mas. Orang-orang itu suka berkesimpulan dari angan-angannya sendiri.” Lanjut Pak Mudin, ia juga turut mencomot gorengan pisang buatan istrinya.

“Nyuwun sewu, Pak. Saya ‘ndak mengerti”. Saya meminta penjelasan lebih detail.

“Iya seperti yang sampean bilang tadi to, Mas. Katanya warga Rembang banyak yang bermusuhan, katanya warga Rembang terpecah belah, katanya warga Rembang begini dan begitu. Padahal semua cuma katanya-katanya, to?” Pak Mudin mulai berbincang serius, saya pun semakin antusias menyimak.

“Sekarang begini lah, mas. Tadi sampean lihat sendiri kan bagaimana kondisi warga Rembang terkhusus yang di desa Pasucen ini. Tidak ada itu musuh-memusuhi, atau acuh antara orang satu dengan yang lainnya. Semua terasa hangat, to? Masih keroso sedulurane, mas?” Pak Mudin semakin memasang wajah serius.

“Jadi itu ‘ndak banar nggih, pak” Saya menegaskan, sambil kembali mengambil satu gorengan pisang lagi.
“Yo ndak benar to, mas. Lagian ngopo sih gunane musuh-musuhan kuwi”? (Ya tidak benar lah, mas. Lagian apa sih manfaatnya musuh-musuhan begitu).

“Soal pendirian pabrik semen di Rembang ini, mas, sebagai warga ring satu yang benar-benar dekat dengan pendirian pabrik, kami tidak menolak. Kalaupun ada, itu tidak lebih besar dari yang menerima, bahkan sangat jauh prosentasinya jika dibandingkan. Tapi meskipun ada yang menolak itu, sekali lagi kami tidak ada musuh-musuhan, apalagi saling mengintimidasi”. Sambung pak Mudin.

Saya memanggutkan kepala. Benar yang dikatakan pak Mudin, saya menyaksikan sendiri bagaimana hangatnya suasana di desa Pasucen. Warganya sangat ramah dan penuh kedamaian.

“Jadi, mas. Besok monggo dilakukan investigasinya lebih lanjut. Yang jelas saya menekankan bahwa tidak benar sedikitpun  tudingan warga Rembang yang saling bermusuhan hanya gara-gara beda pendapat soal pendirian pabrik semen. Saya harap nanti cerita ini mas sampaikan juga pada ‘teman-teman’ mas yang lainnya”. Sambil tersenyum, pak Mudin menyindir halus. Maksudnya adalah teman-teman media.

Pak Mudin adalah salah satu orang yang ditokohkan oleh warga Pasucen. Laki-laki berusia 47 tahun ini mengenyam pendidikan formal sampai tingkat SMP. Selain itu, pak Mudin pada masa mudanya dulu sempat menjadi santri selama kurang lebih 12 tahun. Secara pribadi, pak Mudin tidak hanya gemar membaca kitab-kitab kuning, akan tetapi juga ia tidak pernah ketinggalan mengikuti isu-isu nasional. Itulah sebabnya wawasannya luas dan Ia selalu bijak dalam memandang suatu permasalahan.

Meski perjalanan investigasi saya tidak selesai malam itu saja, tapi ada pesan pak Mudin yang sangat menarik bagi saya saat itu, yakni “jangan berkesimpulan dengan angan-angan sendiri”. Semoga kedepannya tidak ada lagi tudingan-tudingan jahat ataupun prasangka  negatif kepada warga Rembang terkait pembangunan pabrik Semen Indonesia di Rembang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun