A. Fakta Hukum
- Bahwa PT Dani Tasha Lestari ("PT DTL") merupakan badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia berdomisili di Kota Batam. PT DTL merupakan pemegang Hak Guna Bangunan ("HGB") diatas Tanah Hak Pengelolaan ("HPL") di Kota Batam seluas 10 Ha dan 20 Ha menjadi satu kesatuan dalam Perjanjian Pemberian HGB seluas 30 Ha.Â
- Bahwa Tanah HGB tersebut didapatkan atau dimiliki oleh PT DTL sejak 18 Juni 1993 dengan jangka waktu 30 tahun dan dapat diperpanjang kembali berdasarkan Pasal 5 Perjanjian No. 264/SPJ/KA-AT/XI/93 antara PT DTL dan Badan Pengusahaan Kota Batam ("BP Batam") selaku Otorita Batam dan pemegang HPL mengenai Pemberian HGB diatas HPL kepada PT DTL untuk pengusahaan kegiatan pariwisata.Â
- Bahwa diatas HGB tersebut, PT DTL telah membangun Hotel dan sarana pendukung untuk keperluan Pariwisata dengan nama Purajaya Beach Resort.Â
- Bahwa berdasarkan pernyataan BP Batam, sejak tahun 2014 Purajaya Beach Resort sudah tidak aktif lagi atau bangkrut sehingga tanah HGB milik PT DTL sudah tidak dimanfaatkan, ditelantarkan, dan tidak didayagunakan lagi sesuai dengan tujuannya yaitu untuk usaha atau kegiatan di bidang Pariwisata. Lebih lanjut, Kepala BP Batam, Djaka Susanto, memberikan bukti dari tangkapan layar Google-Maps yang menunjukkan lokasi dari objek sengketa (Tanah HGB) adalah rawa-rawa.
- Bahwa karena itu, pada bulan Mei tahun 2020 terjadi sengketa pada tanah HGB tersebut di mana BP Batam mengambil alih secara sepihak atau membatalkan HGB PT DTL pada lahan seluas 20 Ha di Purajaya Beach Resort dan memasang Plang bahwa tanah HGB itu telah menjadi penguasaan BP Batam.[1]Â
- Bahwa tindakan BP Batam tersebut oleh PT DTL sebagai tindakan melawan hukum karena dilakukan tanpa mengikuti proses pencabutan HGB sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Selain itu, PT DTL sebagai pemegang Sertipikat HGB ("SHGB") baru akan berakhir pada tahun 2023 dan masih bisa diperpanjang kembali.Â
- Bahwa PT DTL menyatakan pihaknya telah mendirikan bangunan sebagai pendukung kegiatan/usaha dari lahan HGB Pura Jaya Beach Resort seluas 100.056,752 m2. Oleh karena itu, PT DTL mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum ("PMH") atas perbuatan BP Batam tersebut dengan nomor perkara 92/Pdt.G/2022/PN Btm yang saat ini masih dalam proses perkara.Â
- Dalil PT DTL menyatakan bahwa BP Batam telah melanggar Pasal 3 dan 4 Peraturan Kepala Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan Bebas Batam ("Perka BP Batam") No. 11 Tahun 2016 bahwa tata cara pencabutan alokasi lahan atau dalam pencabutan HGB tersebut, BP Batam seharusnya mengirimkan surat peringatan dahulu secara bertahap 1,2, dan 3 melalui surat pos tercatat serta dilakukan musyawarah dan kesepakatan Para Pihak. Bahwa tindakan ini tidak dilakukan BP Batam sama sekali.Â
- Pihak PT Dani Tasha Lestari ("PT DTL") menyatakan bahwa BP Batam dinilai telah melanggar tata cara pencabutan alokasi lahan dan mengambil lahan alih secara sepihak HGB yang dimiliki PT DTL.Â
- Bahwa PT DTL menyatakan perbuatan BP Batam tersebut telah melanggar ketentuan Pasal 3 dan Pasal 4 Peraturan Kepala Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam Nomor 11 tahun 2016. Bahwa tidak benar PT DTL telah menelantarkan tanah HGB yang dipegangnya karena di atas tanah tersebut ada bangunan Hotel Purajaya Beach Resort dan fasilitas penunjang, sarana, dan prasarananya.Â
- Bahwa SHGB PT DTL belum berakhir dan itu pun masih dapat diperpanjang sebagaimana diatur dalam Pasal 17 Perjanjian Pemberian HGB PT DTL dan BP Batam jo. Pasal 35 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria ("UUPA").Â
- Untuk itu, PT DTL sudah mengajukan permohonan perpanjangan HGB namun permohonan tersebut ditolak oleh BP Batam. Bahwa dalam gugatan PT DTL pada PN Batam tersebut mengajukan tuntutan agar (1) Tindakan BP Batam terbukti PMH; (2) HGB yang dimilikinya dapat diperpanjang; (3) BP Batam memberikan ganti kerugian kepada PT DTL atas perbuatannya tersebut.
B. Pokok Permasalahan
- Apa yang dimaksud dengan HPL dan HGB dan ruang lingkupnya serta kaitannya dengan kasus?Â
- Bagaimana konsep dan tata cara pembebanan HGB diatas HPL dan kaitannya dengan kasus?Â
- Apakah proses pencabutan HGB atas tanah HPL sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku?
C. Analisis Hukum
- Analisis Konsep HGB Dan HPL Dalam Ketentuan Pertanahan Di Kota Batam
Berdasarkan Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945 bahwa bumi, air, dan kekayaan alam terkandung didalamnya dikuasai oleh negara, melahirkan Hak Menguasai Negara. Hak Menguasai Negara bersumber dari Hak Bangsa Indonesia sebagai hak penguasaan atas tanah yang tertinggi. Bahwa HPL bersumber dari hak menguasai negara yang terjadi melalui permohonan pemberian hak atas tanah negara.[2] Dalam Pasal 2 ayat (3) huruf f UU 21/1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, HPL berarti hak menguasai dari negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagai dilimpahkan kepada pemegang haknya, antara lain, berupa perencanaan peruntukan dan penggunaan tanah, penggunaan tanah untuk keperluan pelaksanaan tugasnya, penyerahan bagian-bagin dari tanah HPL kepada pihak ketiga atau bekerja sama dengan pihak ketiga. Dengan demikian, sederhananya, HPL adalah Hak Menguasai dari Negara yang sebagai kewenangannya dilimpahkan kepada pemegang HPL. Bagian-bagian tanah HPL inilah yang dapat dibebankan hak atas tanah lain di atasnya, salah satunya HGB.Â
HGB sendiri merupakan Hak Individu atas tanah yang bersifat sementara sebagaimana diatur dalam Pasal 53 UUPA. Menurut Pasal 35 UUPA, HGB adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang dengan jangka waktu paling lama 20 tahun, serta dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Pemberian HGB diatas HPL dilakukan oleh Pejabat Badan Pertanahan Nasional ("BPN") yang berwenang, atas usul pemegang HPL yang bersangkutan. Bahwa dalam kasus, pihak-pihak pemegang hak atas tanah adalah sebagai berikut:Â
- 1. Pemegang HGB adalah PT DTL.Â
- 2. Pemegang HPL adalah BP Batam.Â
- 3. BPN adalah Kantor Pertanahan Kota Batam ("KP Batam").
Apabila jangka waktu dari HGB berakhir maka menurut Pasal 10 Permendagri 1/1977, tanah HGB tersebut harus kembali dalam penguasaan epenuhnya dari pemegang HPL. Berdasarkan fakta, tanah di kota Batam berdasarkan Kepres No. 41 Tahun 1973 tentang Daerah Industri Pulau Batam, Presiden memberikan HPL langsung kepada sebuah Badan Otorita Pengelola yang dalam hal ini adalah BP Batam. Untuk itu, tanah di Kota Batam merupakan tanah HPL dengan BP Batam selaku pemegangnya.Â
Selanjutnya, adapun kewenangan BP Batam selaku pemegang HPL diatur dalam Pasal 1 Permendagri 1/1977 yaitu untuk: 1) merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah yang bersangkutan; 2) menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan usahanya; 3) menyerahkan bagian-bagian tanah tersebut kepada pihak ketiga yang ditentukan oleh pemegang HPL dengan meliputi segi-segi peruntukan, penggunaan, jangka waktu, dan kegunaannya serta dilakukan oleh pejabat berwenang.Â
Merujuk pada peraturan di atas, maka BP Batam berwenang membuat dan menyusun suatu rencana tentang peruntukan dan penggunaan tanah HPL sehingga dapat terlaksana secara optimal dalam rangka untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Berdasarkan fakta, tanah 30 Ha di atas HPL tersebut ditujukan untuk kegiatan atau usaha pariwisata dan diserahkan kepada PT DTL selaku pihak ketiga dengan HGB untuk memenuhi tujuan tersebut dengan jangka waktu 30 tahun dari tahun 1993 hingga 2023. Bahwa pelaksanaan pemberian HGB diatas Tanah HPL telah dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dibuktikan pada Perjanjian No.264/SPJ/KA-AT/XI/93 antara PT DTL dan BP Batam yang dilakukan disahkan oleh PPAT setempat melalui akta otentik dan diterbitkannya SK KP Batam tentang pemberian HGB tersebut, sehingga hal ini telah dilaksanakan secara terang dan tunai.Â
PT DTL juga terbukti telah memiliki SHGB dan atas tanah HGB nya itu telah mendirikan Pura Jaya Beach Resort seluas 100.056,752 m2 untuk kegiatan pariwisata di Batam. Pada tahun 1998, PT DTL tercatat sebagai pembayar pajak terbesar di Kota Batam dengan man hal ini bersumber dari penghasilan Pura Jaya Beach Resort tersebut. Untuk itu, PT DTL telah memenuhi tujuan dari HGB yang ia haki dan memenuhi kewajiban dirinya untuk memberikan uang pemasukan kepada BP Batam selaku pemegang HPL.Â
2. Analisis Pembebanan HGB Diatas HPL Pada Kasus Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan Berlaku
Dasar hukum HGB diatur dalam Pasal 35 - 40, Pasal 50 jo. 52, dan Pasal 55 UUPA dan peraturan pelaksana lainnya. HGB adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan di atas tanah negara atau milik orang lain, selama jangka waktu terbatas. Untuk mendapatkan HGB, terdapat persyaratan yang harus dipenuhi pemohon hak yaitu (a) berstatus Warga Negara Indonesia ("WNI"); atau (b) badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Lalu, terdapat kewajiban yang harus dipenuhi pemegang HGB yakni:[3]Â
- a. membayar uang pemasukan yang jumlah dan cara pembayarannya ditetapkan dalam keputusan pemberian haknya;Â
- b. menggunakan tanah sesuai dengan peruntukannya dan persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam keputusan dan perjanjian pemberiannya;Â
- c. memelihara dengan baik tanah dan bangunan yang ada diatasnya serta menjaga kelestarian lingkungan hidupÂ
- d. menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan HGB kepada pemegang HPL sesudah HGB tersebut hapus;Â
- e. menyerahkan sertipikat HGB yang telah hapus kepada Kepala Kantor Pertanahan setempat.