Oleh Veeramalla Anjaiah
Kesaksian mengerikan dari anggota parlemen Inggris selama perdebatan terkini tentang kebebasan beragama di Pakistan melukiskan gambaran yang mengerikan: gadis-gadis muda Sikh, Hindu dan Kristen yang berusia hingga 12 tahun diculik, dipaksa pindah agama ke Islam dan dinikahkan di luar keinginan mereka, lapor situs berita khalsavox.com.
Ini bukan hanya satu masalah, tetapi bagian dari penganiayaan sistemik yang lebih luas terhadap minoritas agama di Pakistan. Pelanggaran hak asasi manusia yang mencolok ini menuntut tindakan segera, baik dari pemerintah Pakistan maupun masyarakat internasional.
Penganiayaan agama di Pakistan bukanlah hal baru, tetapi situasinya telah menjadi mengerikan dan tampaknya semakin memburuk. Umat Sikh, Hindu, Kristen, Ahmadiyah dan Muslim Syiah menghadapi diskriminasi, kekerasan dan bahkan kematian secara rutin. Undang-undang penistaan agama yang terkenal di negara tersebut memperburuk masalah ini. Seperti yang disoroti oleh Anggota Parlemen Jim Shannon, undang-undang ini termasuk yang paling keras di dunia dan sering kali dijadikan senjata untuk memicu kekerasan massa. Terdakwa --- yang sebagian besar tidak bersalah --- menjadi korban amukan massa dan pelaku kekerasan tersebut menikmati impunitas.
Konversi agama dan pernikahan paksa anak perempuan di bawah umur di provinsi Sindh mengungkap aspek yang sangat mengerikan dari penganiayaan ini. Seperti yang dicatat oleh Anggota Parlemen Shannon, praktik-praktik ini telah menjadi "sangat umum". Keluarga-keluarga terpecah belah, masyarakat hidup dalam ketakutan, dan keadilan tetap menjadi mimpi yang jauh. Ini bukan hanya pelanggaran terhadap hukum Pakistan sendiri tetapi juga penghinaan terhadap standar-standar hak asasi manusia internasional. Namun, tanggapan dari masyarakat internasional, termasuk organisasi-organisasi seperti Amnesty International, hanya sebatas bungkam.
Menurut khalsavox.com, nasib komunitas Ahmadiyah Pakistan sama menyedihkannya. Penodaan masjid dan makam telah menjadi hal yang rutin, dan ujaran kebencian terhadap para Ahmadi dipromosikan secara terbuka. Tindakan seperti itu merupakan gejala dari masyarakat dengan intoleransi yang merajalela, yang dipicu oleh undang-undang dan norma sosial yang diskriminatif. Buku pelajaran sekolah menghidupkan kefanatikan, dan kaum minoritas tidak diberi kesempatan ekonomi, yang memperkokoh siklus kemiskinan dan marginalisasi.
Menurut Radio Free Europe Radio Liberty, sebuah situs berita, Radesh Singh Tony selamat dari tiga upaya pembunuhan pada tahun 2018, yang memaksanya dan keluarganya untuk meninggalkan rumah mereka di kota Peshawar, barat laut Pakistan.
Tony, anggota minoritas agama Sikh yang kecil di Pakistan yang mayoritas Muslim, telah mencalonkan diri dalam pemilihan parlemen tahun itu dengan platform toleransi.
Ancaman terhadap keluarganya terus berlanjut bahkan ketika mereka pindah ke kota Lahore di bagian timur, tempat Tony dan putranya yang remaja dipukuli secara brutal oleh sekelompok Islamis garis keras pada tahun 2019.
Insiden tersebut memaksa Tony dan keluarganya untuk melarikan diri ke negara tetangga India, tempat sebagian besar dari sekitar 25 juta orang Sikh di dunia tinggal.