Suhail Mukhtar, seorang anggota serikat pekerja, mengatakan kepada DW dua contoh PIA yang mengamankan pesawat dari Sri Lanka dengan harga selangit.
Ia mengatakan bahwa ketika sebuah maskapai penerbangan swasta menyewa pesawat seharga $4.500 per jam, PIA mendapatkannya dengan harga $7.500 per jam.
"Kami mendapatkan dua pesawat dengan kecepatan seperti ini dan menimbulkan kerugian sekitar 17 hingga 18 miliar rupee akibat hal ini," tutur Mukhtar kepada DW.
Mukhtar menambahkan, PIA juga membeli mesin yang sangat mahal, yang akhirnya juga menimbulkan kerusakan.
Melibatkan kontraktor eksternal untuk menangani katering dan pemeliharaan mengakibatkan kerugian besar bagi PIA.
Menurut seorang pensiunan pegawai PIA, gaji eksekutif yang besar, kronisme dan tidak dibayarnya iuran kepada PIA oleh departemen pemerintah lainnya juga menambah kesengsaraan keuangan maskapai tersebut.
Qais Aslam, seorang pakar yang berbasis di Lahore, mengatakan pemilik maskapai penerbangan swasta yang memiliki koneksi politik "yang bermaksud untuk meluncurkan maskapai penerbangan mereka sendiri" diangkat menjadi eksekutif di PIA.
"Akibatnya, PIA menolak dan maskapai penerbangan mereka sendiri kini profitable," kata Aslam kepada DW.
Karena privatisasi PIA milik negara bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan memenuhi target fiskal, maka harus ada transparansi dalam prosesnya.
Penulis adalah seorang jurnalis senior yang tinggal di Jakarta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H