Menurut saluran berita First Post, perusahaan-perusahaan yang terpilih telah meminta dokumen yang berhubungan dengan PIA dan meminta waktu hingga Juli untuk menilai masalah keuangan maskapai nasional tersebut.
Sementara itu, pihak berwenang menyampaikan informasi penting kepada konsorsium perusahaan terpilih.
Usman Bajwa, sekretaris komisi privatisasi, mengatakan dalam sebuah pengarahan bahwa badan tersebut mengatasi kekhawatiran yang disuarakan oleh mereka yang telah memenuhi syarat oleh pemerintah untuk mengajukan penawaran saham mulai dari 51 persen hingga 100 persen.
Menurut kantor berita Reuters, Badan Keamanan Penerbangan Uni Eropa (EASA) memberlakukan larangan terhadap PIA setelah kecelakaan pesawat di Karachi di tahun 2020 yang menewaskan 100 orang dan diikuti dengan skandal izin pilot.
Larangan tersebut terus berlanjut, sehingga menyebabkan kerugian pendapatan tahunan maskapai penerbangan hampir Rs 40 miliar ($143,73 juta), kata pemerintah kepada parlemen.
"Citra PIA telah rusak parah karena Badan Keamanan Penerbangan Uni Eropa yang menangguhkan lisensinya akibat masalah keselamatan pada tahun 2020. Penangguhan tersebut menyusul terungkapnya lisensi pilot palsu dan protokol keselamatan yang tidak memadai, yang berujung pada larangan penerbangan di beberapa negara Eropa," lapor situs berita Islam Khabar mengutip pernyataan surat kabar The Express Tribune dalam sebuah editorial.
"Di negaranya, PIA tidak asing dengan kritik. Penumpang sering mengeluh tentang penundaan, layanan dalam penerbangan yang buruk dan layanan pelanggan yang di bawah standar. Kurangnya ketepatan waktu telah menjadi hal yang lumrah dan menyebabkan ketidaknyamanan yang signifikan bagi para pelancong."
Para ahli telah mengkritik PIA akibat kinerjanya yang buruk.
"Maskapai penerbangan ini sangat buruk sehingga bahkan beroperasi tepat waktu pun akan menimbulkan masalah: pelanggan menjadikan kegagalan sebagai ekspektasi mereka dan tidak benar-benar muncul dalam penerbangan ketika mereka dijadwalkan berangkat. Maskapai ini terus melakukan penyitaan pesawat dan belum mengoperasikan seluruh armadanya karena maskapai pemerintah tidak dapat membayar bahan bakar kepada perusahaan minyak pemerintah," ujar Gary Leff, pakar penerbangan, dalam sebuah artikel di situs web View From The Wing.
Kebijakan yang tidak hati-hati yang dilakukan oleh para eksekutif PIA bertanggung jawab atas kehancuran bertahap maskapai tersebut. Ini termasuk menyewa pesawat dengan harga yang melambung.