Saat ditanya oleh kantor berita AsiaNews, Shazia George, direktur Asosiasi Perempuan untuk Kesadaran dan Motivasi (AWAM), menggarisbawahi bahwa 11,4 juta anak perempuan, dalam kelompok usia antara 10 dan 14 tahun, "belum pernah bersekolah dan persentase tertingginya adalah perempuan".
Aktivis ini juga menyoroti kurangnya fasilitas sekolah, praktik adat, pernikahan di bawah umur, pelecehan seksual dan tidak memadainya jumlah sekolah untuk anak perempuan/wanita yang pada akhirnya meningkatkan angka putus sekolah di kalangan anak perempuan.
"Meningkatnya tren pernikahan paksa dan perkawinan anak, meningkatnya jumlah kekerasan terhadap perempuan dan kejahatan terkait kehormatan memerlukan upaya bersama dari pemerintah dan non-pemerintah untuk mengubah konteksnya," ujar Shazia kepada AsiaNews.
Para ahli menyebutkan kesehatan yang buruk dan eksploitasi seksual sebagai dua akibat penting dari perkawinan anak.
Amjad Latif, manajer advokasi dan komunikasi Rahnuma, sebuah organisasi anggota Asosiasi Keluarga Berencana Pakistan, mengatakan mereka yang mengunjungi fasilitas medis menghadapi masalah kesehatan akibat pernikahan dini. Ia menunjukkan bahwa gadis-gadis muda juga menghadapi eksploitasi seksual karena ketidaktahuan dan kurangnya kemandirian finansial.
Oleh karena itu, banyak perempuan di Pakistan yang masih terikat pada praktik yang menyebabkan masalah kesehatan dan emosional yang serius. Pemerintah, di samping segala konvensi dan pidatonya, tetap tidak menyadari kebutuhan penting dari setidaknya setengah dari penduduknya.
Penulis adalah seorang jurnalis senior yang tinggal di Jakarta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H