Meskipun Tibet terus menghadapi tantangan, ketahanan masyarakat Tibet terlihat jelas. Meski hidup di pengasingan, mereka berhasil mempertahankan identitas budayanya dan tetap bersatu dalam perjuangan. Hal ini merupakan bukti prinsip-prinsip Gandhi mengenai pemerintahan sendiri, tanpa kekerasan dan perdamaian, yang terus menginspirasi masyarakat di seluruh dunia.
Tibet dulunya adalah sebuah negara merdeka, yang diduduki oleh Komunis China pada tahun 1949. Sejak saat itu, China telah menindas masyarakat Tibet dengan kejam dan menghancurkan budaya, bahasa dan agama mereka.
Yang Mulia Dalai Lama ke-14, Tenzin Gyatso, adalah pemimpin spiritual Tibet. Ia lahir pada tanggal 6 Juli 1935, dari keluarga petani, di sebuah dusun kecil yang terletak di Taktser, Amdo, timur laut Tibet. Pada usia dua tahun anak itu diberi nama Lhamo Thondup saat itu diakui sebagai reinkarnasi Dalai Lama ke-13, Thubten Gyatso. Dalai Lama diyakini sebagai manifestasi Avalokiteshvara atau Chenrezig, Bodhisattva Welas Asih dan santo pelindung Tibet. Bodhisattva adalah makhluk tercerahkan yang telah menunda nirwana mereka sendiri dan memilih untuk terlahir kembali demi mengabdi pada umat manusia.Â
Pada tahun 1950, Yang Mulia dipanggil untuk mengambil alih kekuasaan politik penuh setelah invasi China ke Tibet di tahun 1949. Pada tahun 1954, ia pergi ke Beijing untuk melakukan pembicaraan damai dengan Mao Zedong dan para pemimpin China lainnya, termasuk Deng Xiaoping dan Zhou Enlai. Namun akhirnya, di tahun 1959, dengan penindasan brutal terhadap pemberontakan nasional Tibet di Lhasa oleh pasukan China, Yang Mulia terpaksa melarikan diri ke pengasingan di India. Sejak itulah ia tinggal di Dharamsala, pusat pemerintahan politik Tibet di pengasingan. Sejak invasi China, Yang Mulia telah mengajukan banding ke PBB mengenai masalah Tibet. Majelis Umum mengadopsi tiga resolusi mengenai Tibet pada tahun 1959, 1961 dan 1965.
Yang Mulia Dalai Lama adalah orang yang cinta damai. Pada tahun 1989 ia dianugerahi Hadiah Nobel Perdamaian atas perjuangan tanpa kekerasannya demi pembebasan Tibet. Ia secara konsisten menganjurkan kebijakan non-kekerasan, bahkan ketika menghadapi agresi ekstrem. Ia juga menjadi Penerima Nobel pertama yang diakui atas kepeduliannya terhadap masalah lingkungan global. Yang Mulia telah melakukan perjalanan ke lebih dari 62 negara di 6 benua. Ia pun telah bertemu dengan presiden, perdana menteri dan penguasa negara-negara besar.
Penulis adalah seorang jurnalis senior yang tinggal di Jakarta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H