Selama dua tahun terakhir, polisi telah menangkap puluhan aktivis, anggota parlemen dan jurnalis pro-demokrasi; hak suara dibatasi dan kebebasan pers dan berbicara yang terbatas.
Kenyataannya, para pendukung demokrasi Hong Kong hanya memiliki dua pilihan: dipenjara atau diasingkan.
"Skenario ideal Beijing adalah menjaga Hong Kong sebagai pusat keuangan tanpa semua kebebasan. Tetapi tampaknya kita benar-benar tidak dapat mempertahankan posisi keuangan internasional Hong Kong sembari menahan kebebasannya," ujar Victoria Tinbor Hui, seorang profesor dari Universitas Notre Dame, kepada Lindsay Maizland dari situs web Council on Foreign Relations cfr.org.
Dengan situasi seperti ini, ribuan orang meninggalkan Hong Kong meskipun kota ini berstatus sebagai pusat keuangan global, yang memiliki produk domestik bruto (PDB) sebesar AS$374,82 miliar dan cadangan devisa sebesar $465 miliar per Mei 2022. Hong Kong juga merupakan kota termahal di dunia. PDB per kapita Hong Kong saat ini adalah $50.535, jauh lebih tinggi dari China yang senilai $14.435.
"Hong Kong menghadapi eksodus pekerja terdidik dalam skala yang tidak terlihat sejak awal 1990-an," ungkap laporan Kamar Dagang Umum Hong Kong.
Semua ini terjadi karena China yang tidak menepati janjinya untuk memberikan lebih banyak kebebasan kepada rakyat Hong Kong di bawah "satu negara, dua sistem".
Apa yang terjadi?
Hong Kong diserahkan ke China oleh Inggris di bawah perjanjian unik di mana Hong Kong akan memiliki konstitusi mini yang disebut Hukum Dasar dan sistem politik yang terpisah di bawah apa yang disebut sebagai prinsip "satu negara, dua sistem".
Para pemimpin China saat itu seperti Presiden Jiang Zemin, Perdana Menteri Li Peng dan Deng Xiaoping (yang meninggal pada tanggal 19 Februari 1997) semuanya meyakinkan rakyat Hong Kong bahwa mereka dapat mempertahankan sistem kapitalis mereka dan Hong Kong akan diperintah oleh warga Hong Kong selama 50 tahun atau sampai 2047.
Orang-orang Hong Kong, menurut BBC, seharusnya memiliki kebebasan tertentu seperti kebebasan berkumpul dan berbicara, peradilan yang independen dan beberapa hak demokratis serta kebebasan yang tidak dimiliki bagian lain dari daratan China. Itu adalah hubungan yang mulus antara Hong Kong dan China di tahun-tahun awal.
Masalah dimulai pada tahun 2001 ketika China mengambil beberapa tindakan tentang hak imigrasi. Kemudian datang Sindrom Pernafasan Akut Parah (SARS) pada tahun 2003, dan upaya China untuk membuat undang-undang anti-pemisahan memicu ketidakpercayaan serta ketakutan di antara warga Hong Kong.