"Pertahanan nasional Vietnam adalah perdamaian dan pertahanan diri. Vietnam menganjurkan untuk memperkuat kemampuan pertahanannya dengan sumber daya dan kondisi internalnya sendiri dan tidak bergabung dengan aliansi militer, memihak satu negara terhadap negara lain, memberikan izin kepada negara lain untuk mendirikan pangkalan militer atau menggunakan wilayahnya untuk melakukan kegiatan militer terhadap negara lain atau menggunakan kekuatan atau mengancam untuk menggunakan kekuatan dalam perselisihan internasional," kata Menteri Pertahanan Vietnam Jenderal Phan Van Giang di SLD pada 11 Juni.
Menurut Giang, meningkatkan kemampuan pertahanan nasional untuk melindungi Vietnam dan perdamaian merupakan persyaratan yang sangat diperlukan dan objektif dari setiap negara.
"Vietnam telah mengalami perang selama beberapa dekade, sehingga negara ini memahami kehancuran dan konsekuensi dari konflik dan kekerasan. Oleh karena itu, kami menganjurkan untuk membangun potensi tentara dan pertahanan yang kuat demi memperkuat kemampuannya dalam melindungi kemerdekaan, kedaulatan, integritas teritorial dan kepentingan nasional kami sambil memenuhi kewajiban internasional yang tinggi," kata Giang.
Orang-orang Vietnam sangat heroik saat mereka berperang melawan tiga kekuatan besar dunia -- Prancis, AS dan China -- untuk mencapai kemerdekaan dan mempertahankan tanah air mereka.
Giang adalah salah satu dari tiga pembicara pada sesi SLD yang berjudul "Modernisasi Militer dan Kemampuan Pertahanan Baru". Dua pembicara lainnya adalah Menteri Pertahanan Filipina Delfin Lorenzana dan Wakil Perdana Menteri serta Menteri Pertahanan Kamboja Jenderal Tea Banh.
Sayangnya, modernisasi militer besar-besaran sedang berlangsung di seluruh kawasan Indo-Pasifik dalam beberapa tahun terakhir.
Dengan kekayaan ekonominya yang terus meningkat, China telah membangun kekuatan militernya selama lebih dari tiga dekade. Di bawah Presiden Xi Jinping, China telah mengejar kebijakan agresif terhadap tetangganya dan di Laut China Timur serta Laut China Selatan (LCS).
Berdasarkan peta Sembilan Garis Putus-putusnya, China mengklaim lebih dari 90 persen LCS yang ilegal dan bertentangan dengan Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 (UNCLOS). Bahkan Pengadilan Arbitrase Permanen (PCA) yang berbasis di Den Haag pada tahun 2016 menyatakan bahwa klaim China berdasarkan Peta Sembilan Garis Putus dan hak historisnya di LCS adalah ilegal.
Anehnya, China dan semua negara penuntut, termasuk China, di LCS menandatangani dan meratifikasi UNCLOS 1982. Hanya Taiwan yang tidak menandatangani UNCLOS karena Taiwan tidak dianggap sebagai sebuah negara oleh China.
Tindakan agresif China dan klaim ilegal menarik AS ke kawasan Indo-Pasifik. AS dan teman-teman serta sekutunya ingin membangun kawasan Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka berdasarkan aturan hukum.