Mohon tunggu...
Veeramalla Anjaiah
Veeramalla Anjaiah Mohon Tunggu... Administrasi - Wartawan senior

Wartawan senior

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

China Kehilangan Citra Internasionalnya di Bawah Presiden Xi

9 April 2022   05:58 Diperbarui: 9 April 2022   06:02 317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Warga Vietnam protes terhadap keagresifan China di Laut China Selatan di kota Hanoi bebarapa waktu lalu. | Sumber: en.wikipedia.org  

Oleh Veeramalla Anjaiah

Beberapa penggemar agresif Republik Rakyat China (RRC) di Indonesia baru-baru ini menyatakan bahwa China sudah menjadi kekuatan global, pembawa damai dan berperan sangat aktif dalam pemerintahan global (global governance).

Hal ini persis sejalan dengan narasi China sendiri bahwa China, negara berkembang yang terbesar di dunia, merupakan kekuatan dunia yang bertanggung jawab yang merupakan negara sosialis yang cinta damai dan memelihara perdamaian.

"China tidak pernah dan tidak akan pernah menyerang atau menggertak orang lain, atau mencari hegemoni. China selalu menjadi pembangun perdamaian dunia, penyumbang pembangunan global, pembela tatanan internasional dan penyedia barang publik. China akan terus menghadirkan peluang baru bagi dunia melalui perkembangan barunya," kata Presiden China Xi Jinping di Majelis Umum PBB tahun lalu.

Mari kita periksa apakah semua komentar dan pernyataan ini benar atau tidak.

Akankah China menjadi negara adidaya dan negara adidaya yang seperti apa?

Menurut mantan menteri luar negeri AS Mike Pompeo, China akan menjadi "mimpi buruk otoriter yang rakus, yang berniat untuk menghancurkan demokrasi itu sendiri".

China tidak setuju dengan komentar Pompeo.

"Kita harus dengan penuh semangat mengadvokasi perdamaian, pembangunan, kesetaraan, keadilan, demokrasi dan kebebasan, yang merupakan nilai-nilai umum kemanusiaan dan bekerja sama untuk memberikan filosofi panduan yang tepat untuk membangun dunia yang lebih baik. Perdamaian dan pembangunan adalah tujuan bersama kita, kesetaraan dan keadilan aspirasi kita bersama, dan demokrasi serta kebebasan adalah tujuan kita bersama," ujar Presiden ambisius China Xi Jinping tahun lalu di PBB.

Sangat sulit untuk mempercayai kata-kata Presiden Xi terutama tentang demokrasi dan kebebasan.

Semua orang tahu bahwa RRC memiliki rezim otoriter di bawah kendali penuh Partai Komunis China (PKC) yang berkuasa sejak terbentuknya pada tahun 1949. Tidak ada partai politik lain yang diizinkan untuk beroperasi di negara tersebut. Hal yang paling berbahaya di China adalah Tentara Pembebasan Rakyat (PLA), yang setia kepada PKC bukan kepada negara ataupun pemerintah China.

Baru-baru ini, China menghancurkan demokrasi di Hong Kong. Kebebasan berekspresi dan kebebasan pers tidak ada di China. Semua surat kabar internasional, majalah, saluran TV dan platform media sosial utama seperti Facebook, Instagram, Twitter  dilarang di China. Seluruh media dikendalikan sepenuhnya oleh pemerintah.

China adalah negara polisi, yang secara ketat mengontrol semua aktivitas dari 1.44 miliar penduduknya setiap hari. Orang-orang di Tibet dan Xinjiang telah lama berjuang untuk kebebasan beragama. China telah melakukan genosida budaya di Xinjiang selama dua dekade terakhir.

China merupakan pembohong terbesar dalam hal perdamaian dunia, intimidasi, hegemoni, hukum internasional dan hidup berdampingan secara damai.

Terlepas dari klaim besarnya bahwa perdamaian adalah satu-satunya tujuan yang diharapkan China, China yang otoriter secara terbuka mendukung agresi militer rekan Rusianya yang kuat Vladimir Putin terhadap Ukraina.

"Keputusan pemimpin China Xi Jinping untuk mengeluarkan pernyataan pada bulan lalu [Februari] yang menguraikan kemitraan 'tanpa batas' dengan Moskow bisa dibilang merupakan kesalahan kebijakan luar negeri terbesar selama hampir 10 tahun berkuasa," tulis Jude Blanchette, cendekiawan terkemuka dari Center for Strategic and International Studies (CSIS), baru-baru ini di jurnal Foreign Affairs.

"Deklarasi publik Xi, ditambah dengan dukungan diplomatik berkelanjutan Beijing untuk Moskow, telah merusak reputasi China dan memicu kekhawatiran baru atas ambisi globalnya."

Saat berbicara, Xi selalu mengedepankan ide dan konsep yang tidak realistis.

"Orang China adalah orang yang cinta damai dan tahu betul nilai perdamaian dan stabilitas. Kami dengan teguh mengikuti kebijakan perdamaian luar negeri yang independen, berdiri teguh untuk keadilan, dan dengan tegas menentang hegemoni serta politik kekuasaan. Rakyat China adalah pendukung kuat negara-negara berkembang lainnya dalam perjuangan mereka yang adil untuk menjaga kedaulatan, keamanan dan kepentingan pembangunan," ungkap Xi pada pertemuan di PBB bulan Oktober 2021.

Sejarah Komunis China penuh dengan darah dan kekerasan.

Pembunuhan massal

PKC bertanggung jawab atas kematian jutaan orang China selama perang saudara (1927 hingga 1949) dan Revolusi Kebudayaan (1966-1976). Pasukannya mencaplok Tibet yang merdeka (1950-1951) dan Republik Turkistan Timur Kedua (1949).

China juga ikut ambil bagian dalam Perang Korea yang berdarah (1950-1953) dan masih mendukung penuh rezim brutal di Korea Utara. Mereka menyerang dua teman tetangganya - India (1962) dan Vietnam (1979) - sehingga menciptakan ketidakpercayaan di antara semua tetangganya.

China menekan pemberontakan Tibet secara brutal (1959), kerusuhan mahasiswa di Lapangan Tiananmen (1989) dan kerusuhan terbaru di Xinjiang. China sangat mendukung kebrutalan rezim Pol Pot di Kamboja. Rezim Soeharto di Indonesia memutuskan hubungan diplomatik dengan Komunis China (1967 hingga 1990) karena dicurigai mendukung upaya kudeta Komunis yang gagal pada tahun 1965.

Dengan sejarah seperti ini, maukah kita menyebut China Komunis sebagai negara yang cinta damai?

Klaim ilegal dan irasional

Berdasarkan Peta Sembilan Garis Putusnya yang kontroversial, China mengklaim lebih dari 90 persen Laut China Selatan (LCS), jalur air internasional strategis yang kaya akan perikanan, cadangan hidrokarbon dan sumber daya laut lainnya.

Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei Darussalam dan Taiwan juga mengklaim bagian-bagian tertentu dari LCS. China dan semua penuntut dari Asia Tenggara menandatangani dan meratifikasi Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 (UNCLOS), yang berisi peraturan maritim internasional yang penting. Indonesia, negara kepulauan terbesar di dunia dan bukan negara penuntut di LCS, juga menandatangani dan meratifikasi UNCLOS.

Apakah China kekuatan global yang bertanggung jawab?

"China selalu mengikuti prinsip persahabatan, ketulusan, saling menguntungkan dan inklusivitas dalam hubungannya dengan tetangganya. Kami akan terus bekerja dengan negara-negara tetangga untuk memperdalam kerja sama dan mengejar kemajuan nyata dalam hubungan bilateral dan multilateral," papar Menteri Luar Negeri China Wang Yi baru-baru ini.

Dengan menggunakan kekuatan militer, China merebut kendali Kepulauan Paracel di LCS dari Vietnam Utara pada tahun 1974. China yang serakah tidak mau menghormati UNCLOS dan mulai menduduki fitur lain di Kepulauan Spratly. Mereka membangun pulau buatan secara ilegal melalui reklamasi dan mengubahnya menjadi pangkalan militer.

Filipina yang menjadi korban agresi China di LCS, membawa China ke Pengadilan Arbitrase Permanen (PCA) atas sengketa LCS. Pada tahun 2016, PCA menyatakan bahwa semua klaim China berdasarkan peta Sembilan Garis Putusnya tidak sah karena bertentangan dengan UNCLOS. Namun China menolak untuk mengimplementasikan keputusan PCA.

Dengan bobot ekonomi dan kekuatan militernya yang meningkat, China telah menggertak, memaksa dan melecehkan tetangga-tetangga kecilnya di Asia Tenggara di LCS.

Indonesia tidak terkecuali. Baru-baru ini, China memprotes Indonesia karena melakukan eksplorasi minyak di Laut Natuna Utara, bagian dari Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia yang sah, dan latihan militernya dengan pasukan AS. Anehnya, China mengklaim ZEE Indonesia sebagai bagian dari peta Sembilan Garis Putusnya sedangkan Indonesia tidak mengklaim satu inci pun di LCS. Indonesia sangat menghormati UNCLOS.

Dengan produk domestik bruto (PDB) sebesar AS$17.68 triliun, China memiliki ekonomi terbesar kedua di dunia setelah AS. China telah mengalokasikan rekor $230 miliar untuk anggaran pertahanannya pada tahun 2022, terbesar kedua setelah AS. Karena China tidak transparan tentang pengeluaran militernya, beberapa ahli memperkirakan anggaran pertahanan nyata China mungkin mencapai $600 miliar.

Presiden Lithuania Nauseda yang melawan China atas masalah Taiwan. | Sumber: KONSTANTIN SAZONCHIK/TASS 
Presiden Lithuania Nauseda yang melawan China atas masalah Taiwan. | Sumber: KONSTANTIN SAZONCHIK/TASS 

Dengan penuh arogansi, China bertengkar dengan Taiwan, Jepang, India, Australia, Lithuania, Kanada, Inggris, AS dan Uni Eropa karena berbagai masalah.

Apa yang disebut sebagai diplomasi prajurit serigala Beijing telah mendapat serangan balik, kata mantan perdana menteri Australia Kevin Rudd. Mereka telah menciptakan banyak ledakan dengan negara-negara di seluruh dunia.

Presiden Xi, ujar Rudd, berkomitmen terhadap strateginya untuk menantang AS dalam mendominasi dan mendesain ulang tatanan dunia dengan cara yang sesuai dengan kepentingan China.

"Arah strategis China tetap sama. Pertama, untuk terus mengakumulasi kekuatan nasional yang komprehensif -- kekuatan ekonomi, kekuatan militer dan kekuatan teknologi," ungkap Rudd kepada surat kabar Sydney Morning Herald baru-baru ini.

"Kedua, untuk membuat negara-negara lain semakin bergantung pada pasar China dan pada saat keseimbangan kekuatannya atas AS luar biasa, untuk mulai mengerahkan lebih banyak kekuatan atas kawasan dan tatanan dunia."

Tapi bukanlah tugas yang mudah untuk memenangkan hati dan pikiran masyarakat internasional. Tantangan terbesar bagi China adalah bagaimana menciptakan citra internasional yang dapat dipercaya dan dicintai.

Menurut survei global baru Pew Research Center tahun lalu, kepercayaan pada Xi dan negaranya China tetap berada pada titik terendah dalam sejarah (kurang dari 25 persen) di Asia, Eropa, Amerika dan Australia. Banyak orang di seluruh dunia tidak percaya pada China dan kata-katanya.

Hal yang sama juga terjadi dalam tata kelola global. Masalah utama yang dihadapi China adalah kurangnya kepercayaan karena sebagian besar kebijakannya hanya menguntungkan China dan bukan yang lain. Saling menguntungkan hanyalah retorika.

Jika benar-benar ingin menjadi pemain global yang bertanggung jawab, China harus mulai menghormati hukum internasional seperti UNCLOS dan perjanjian yang ditandatanganinya seperti Deklarasi 2002 tentang Perilaku Para Pihak di LCS (DOC). Jika China menghormati ZEE semua negara di LCS berdasarkan UNCLOS, itu akan meningkatkan citra China dan mengakhiri sebagian besar ketegangan di LCS.

Xi, yang menginginkan masa jabatan ketiga pada bulan Oktober tahun ini, terlalu ambisius untuk tetap berkuasa seumur hidup. Jika China ingin menjadi kekuatan global, mereka harus berubah total untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat internasional.

Penulis adalah seorang jurnalis senior yang tinggal di Jakarta.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun