Mohon tunggu...
Veeramalla Anjaiah
Veeramalla Anjaiah Mohon Tunggu... Administrasi - Wartawan senior

Wartawan senior

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

AS Memberikan Pukulan Berat pada Polisario dengan Mengakui Kedaulatan Maroko atas Sahara Barat

11 Januari 2021   06:34 Diperbarui: 11 Januari 2021   07:50 1775
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kamp-kamp pengungsi Sahara Barat di Tindouf, Aljazair. | Sumber: European Commission

Oleh Veeramalla Anjaiah

Pernahkah Anda mendengar tentang Sahrawi Arab Democratic Republic (SADR)? Ini adalah negara yang memproklamirkan diri di Afrika Utara. Negara tersebut diproklamasikan oleh Front Polisario atau Frente Polisario, sebuah kelompok separatis bersenjata yang berbasis di Aljazair, pada tanggal 27 Februari 1976 dengan bantuan Aljazair.

Faktanya, 80 persen Sahara Barat, yang disebut sebagai Sahara Maroko, berada di bawah kendali penuh Maroko sejak tahun 1976, ketika regime kolonial Spanyol meninggalkan wilayah itu. Saat ini 90 persen dari seluruh orang Sahrawi tinggal di Sahara Maroko.

Dengan tidak adanya tanah berpenduduk dan tanpa populasi, SADR yang berbasis di Aljazair anehnya diterima sebagai negara anggota Organisasi Persatuan Afrika (OPA) dan kemudian Uni Afrika (UA).

Banyak negara Afrika menjadi korban propaganda palsu baik Polisario maupun tuannya Aljazair bahwa pemberontak Polisario adalah pahlawan independen pada tahun 1970-an dan 1980-an. Polisario mengklaim bahwa Maroko adalah pasukan yang menduduki Sahara Barat.

Maroko mengklaim seluruh Sahara Barat karena itu adalah bagian dari kerajaan Maroko sebelum Spanyol datang. Banyak pemimpin suku Sahrawi yang menjadi subyek raja Maroko selama berabad-abad.

Dengan bantuan Aljazair, SADR mendapat pengakuan dari hampir 84 negara, sebagian besar negara Afrika dan negara komunis pada awalnya. Tetapi kemudian banyak negara menyadari bahwa SADR tidak mengontrol Sahara Barat maupun orang Sahrawi. Mereka menyadari bahwa Polisario berbohong. Sahara Barat tidak diragukan lagi dikuasai oleh Maroko. Banyak dari negara-negara ini menarik pengakuan mereka atas SADR atau membekukan hubungan mereka dengan kelompok pemberontak Polisario. Saat ini kurang dari 35 negara yang mengakui SADR sebagai negara berdaulat.

Polisario dan tuannya Aljazair telah menghadapi masa-masa sulit dalam beberapa tahun terakhir. Mereka telah menerima pukulan bertubi-tubi di banyak bidang.

Polisario telah kehilangan popularitas, simpati dan dukungannya di dunia internasional maupun di kalangan orang Sahrawi. Aljazair merasa sangat sulit mengumpulkan dukungan untuk Polisario di arena internasional.

Aljazair, negara Afrika Utara yang kaya akan minyak, berada dalam kondisi yang buruk karena telah mengalami begitu banyak krisis mulai dari gerakan protes sosial Hirak pada tahun 2019, krisis ekonomi terparah akibat penurunan tajam harga energi global dan krisis kesehatan yang parah akibat pandemi COVID- 19.

Saat ini, Aljazair tidak lagi dalam posisi memberikan jutaan dolar dan senjata kepada Polisario seperti dulu. Sampai saat ini, Aljazair telah menghabiskan ribuan dolar setiap bulan untuk kelompok-kelompok lobi di Amerika Serikat demi mendapatkan dukungan bagi Polisario.

Presiden AS Donald Trump yang habis jabatanya segera, pada 10 Desember, telah memberikan pukulan berat pada Polisario dengan mengakui kedaulatan Maroko atas Sahara Barat atau Sahara Maroko. 

Dalam proklamasi yang ditandatangani oleh Trump, Washington mengatakan bahwa Rencana Otonomi Maroko adalah solusi terbaik atas konfliknya selama beberapa dekade di Sahara Barat. Rencana tersebut, jika disetujui oleh pihak yang bertikai, akan membuka "perdamaian dan kemakmuran abadi" di Sahara Barat.  

"Amerika Serikat mengakui kedaulatan Maroko atas seluruh wilayah Sahara Barat dan menegaskan kembali dukungannya untuk proposal otonomi serius, kredibel dan realistis Maroko sebagai satu-satunya dasar untuk solusi yang adil dan abadi untuk sengketa atas wilayah Sahara Barat," kata proklamasi itu.

Rencana Otonomi, yang diajukan Maroko kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa pada bulan April 2007, menyarankan untuk mengubah Sahara Barat menjadi wilayah semi-otonom di bawah kedaulatan Maroko.

Tentu, Polisario tidak senang dengan keputusan AS.

"Pemerintah Polisario dan Sahrawi sangat mengecam fakta bahwa Presiden Amerika Donald Trump mengatribusikan kepada Maroko sesuatu yang tidak dimiliki oleh negara tersebut," ujar kementerian informasi SADR dalam sebuah pernyataan yang dikirimkan kepada kantor berita AFP. 

Ini adalah pertama kalinya negara Barat besar yang mengakui kedaulatan Maroko atas Sahara Maroko.

"Itu adalah keputusan yang tepat oleh pemerintahan Trump untuk mengakui kedaulatan Maroko atas Sahara Barat. Karena Maroko menguasai 80 persen wilayah Sahara Barat dan 90 persen orang Sahrawi tinggal di Sahara Maroko," kata Taufik Abdullah, dosen dari Jakarta, kepada penulis belum lama ini.

Sekitar 20 negara, termasuk AS, telah memutuskan untuk membuka konsulat mereka di Laayoune atau di kota Dakhla di Sahara Maroko.

Misalnya, Republik Kongo, Gambia, Guinea, Djibouti, Liberia, Burkina Faso, Guinea Bissau, Guinea Ekuatorial, Haiti dan AS telah memutuskan untuk membuka konsulat mereka di Dakhla, Sahara Maroko.

Komoro, Gabon, Sao Tome Principe, Republik Afrika Tengah, Pantai Gading, Burundi, Eswatini Zambia, Uni Emirat Arab dan Bahrain juga telah sepakat untuk membuka konsulat mereka di Laayoune, Sahara Maroko.

Beberapa orang Indonesia juga menginginkan agar Indonesia, negara Muslim terbesar di dunia, juga harus mengakui kedaulatan Maroko atas Sahara Barat.

Dalam Pidato Kebijakan Luar Negeri tahunannya pada tanggal 6 Januari, Menteri Luar Negeri Indonesia Retno LP Marsudi menjelaskan bahwa perlindungan kedaulatan negara dan integritas wilayah merupakan salah satu prioritas utama diplomasi Indonesia.

"Indonesia ingin mengingatkan bahwa penghormatan terhadap kedaulatan dan keutuhan wilayah adalah prinsip utama hubungan persahabatan antar negara berdasarkan Piagam PBB dan hukum internasional," jelas Retno.

Maroko adalah sahabat sejati Indonesia selama enam dekade. Mereka mendukung penuh kedaulatan dan keutuhan wilayah Indonesia.

"Indonesia juga menghadapi gerakan separatis serupa di Papua. Bahkan, Polisario dan pemimpin separatis Papua Benny Wenda bekerja sama. Benny mendapat ide untuk mendirikan pemerintahan pengasingan Papua baru-baru ini dari Polisario, yang juga melakukan hal serupa pada tahun 1976. Kenapa Indonesia dan Maroko tidak bekerja sama untuk menumpas gerakan separatis ini," Khairunnisa, warga Jakarta Barat yang memiliki ketertarikan pada urusan internasional, mengatakan kepada penulis baru-baru ini.

"Maroko menghormati sepenuhnya persatuan dan kedaulatan Indonesia. Indonesia harus mempertimbangkan untuk melakukan hal yang sama."

Mengomentari keputusan AS, Duta Besar Maroko untuk Indonesia Ouadia Benabdellah menggambarkan keputusan AS itu sebagai "keputusan bersejarah".

"Maroko dan AS adalah teman lama dan mitra. Ini merupakan keputusan historis untuk mengakui kedaulatan Maroko atas Sahara Barat. Keputusan ini tentunya akan mempercepat proses perdamaian dan implementasi Rencana Otonomi," kata Dubes Benabdellah.

Maroko, menurut Benabdellah, menyambut gembira keputusan AS itu.

"Raja Maroko Yang Mulia Mohammed VI telah menyampaikan rasa terima kasih yang tulus kepada Presiden AS Donald Trump dan timnya atas dukungan yang jujur dan tidak ambigu kepada Sahara Maroko. Dukungan semacam itu memperkuat kemitraan yang strategis dan kuat antara kedua negara dan meningkatkannya ke tingkat aliansi sejati yang mencakup semua bidang," kata Benabdellah.

Dengan rasa frustrasi total dan kehilangan dukungan dan simpati, Polisario melakukan blokade di daerah Guerguerat, zona penyangga, pada bulan November 2020 sebagai tanda provokasi yang jelas. Militer Maroko mengakhiri blokade Polisario di jalan raya nasional, yang menghubungkan Maroko ke Mauritania. Pada 13 November, Polisario secara sepihak menyatakan bahwa mereka mengakhiri gencatan senjata 1991 dengan Maroko.

Mengapa Aljazair mendukung Polisario? 

Pada tahun 1963, Maroko dan Aljazair mengalami perang perbatasan yang dikenal dengan Perang Pasir. Dalam perang ini, Aljazair mengalami kekalahan yang memalukan di tangan militer Maroko. Sejak saat itu, Aljazair dengan kekayaan minyaknya ingin memberikan pelajaran kepada Maroko dengan mendukung sepenuhnya gerakan separatis Polisario. Banyak pendukung Polisario tidak menyadari bahwa mereka sedang digunakan sebagai pion dalam permainan politik Aljazair.

Maroko telah menginvestasikan miliaran dolar untuk membangun infrastruktur besar-besaran di Sahara Maroko selama dua dekade terakhir. Provinsi di Sahara Maroko telah menyaksikan ledakan ekonomi, lingkungan yang damai, stabil dan kehidupan yang layak.

Beberapa tahun yang lalu, penulis mengunjungi Sahara Maroko dan menemukan infrastruktur dan perkembangan ekonomi yang menakjubkan.

Kamp-kamp pengungsi Sahara Barat di Tindouf, Aljazair. | Sumber: European Commission
Kamp-kamp pengungsi Sahara Barat di Tindouf, Aljazair. | Sumber: European Commission

"Kami sangat bahagia di sini dibandingkan dengan situasi seperti neraka di kamp pengungsian di Tindouf. Kami memiliki semua akses ke pendidikan, kesehatan, makanan, transportasi, komunikasi dan pekerjaan," kata Mohammed Ghali, seorang karyawan perusahaan swasta, di Dakhla kepada penulis ini. 

Polisario, sementara itu telah kehilangan dukungan dari banyak negara Afrika dan Amerika Latin. Pemerintahan SADR yang diasingkan diatur oleh hanya satu pihak yaitu Polisario dan sebagian besar kegiatannya dikendalikan oleh Aljazair.

Semua hak asasi pengungsi Sahrawi ditolak oleh Polisario. Tidak ada yang diizinkan meninggalkan kamp pengungsi. Perbedaan pendapat di antara tempat perlindungan Sahrawi ditekan oleh Polisario dengan tangan besi.

Beberapa hari yang lalu, sebuah laporan mengejutkan datang dari sebuah organisasi non-pemerintah Prancis bernama Aliansi Internasional untuk Pertahanan Hak dan Kebebasan (AIDL).

Laporan AIDL, yang didasarkan pada penyelidikan, menuduh Polisario merekrut anak-anak untuk tugas militer dan melatih anak-anak menggunakan senjata api di kamp-kamp pengungsi Tindouf, yang merupakan pelanggaran berat terhadap hak-hak anak dan Konvensi Hak Anak.

Saat mengeluarkan siaran pers pada 4 Januari, AIDL juga mempresentasikan video, yang dengan jelas menunjukkan video anak-anak di kamp-kamp Tindouf yang berlatih dengan senjata api dan menghadapi indoktrinasi.

"AIDL menegaskan bahwa perekrutan anak, eksploitasi dan keterlibatan mereka dalam konflik dan perang sepenuhnya dilarang dan dikriminalisasi dalam hukum internasional," kata LSM itu dalam siaran pers.

Dengan Polisario mendeklarasikan perang melawan Maroko, penderitaan lebih dari 50,000 pengungsi Sahrawi akan meningkat di bulan-bulan mendatang. Pasukan Polisario bukanlah tandingan pasukan Maroko. Kelompok pemberontak harus menyadari kenyataan dasar bahwa mereka tidak akan pernah menang melawan Maroko yang lebih kuat.

Mayoritas orang Sahrawi senang di bawah pemerintahan Maroko. Maroko menginginkan perdamaian bukan perang dengan Polisario dan siap untuk secara terbuka menyambut Polisario dan semua pengungsi di Tindouf ke Maroko Sahara jika kelompok pemberontak menerima Rencana Otonomi Maroko. Masyarakat internasional, terutama AS dan UE, siap membantu rekonstruksi Sahara Maroko dan pembangunan ekonomi jika perdamaian berhasil tercapai di kawasan itu.

Penulis adalah seorang wartawan senior yang tinggal di Jakarta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun