Mohon tunggu...
Veeramalla Anjaiah
Veeramalla Anjaiah Mohon Tunggu... Administrasi - Wartawan senior

Wartawan senior

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Ambisi Hegemonik China Mengubah Teman Menjadi Musuh

30 September 2020   15:36 Diperbarui: 3 Oktober 2020   17:06 1793
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Banyak orang di Eropa, Asia dan Amerika Serikat menyatakan bahwa kesalahan sederhana dari China telah menyebabkan kematian lebih dari 1 juta jiwa hanya dalam 10 bulan di seluruh dunia.

Lebih dari 33 juta orang terinfeksi COVID-19 sejak novel coronavirus pertama kali muncul pada bulan Desember 2019 di Wuhan, China.

Bagian yang paling tragis adalah sekitar 200 juta orang kehilangan pekerjaan dan lebih banyak lagi kehilangan pendapatan sehari-hari serta miliaran orang tidak dapat hidup dengan normal.

Orang mengatakan bahwa China, sebagai negara yang bertanggung jawab, tidak memberi tahu dunia tentang sifat dan tingkat keparahan penyakit COVID-19 pada tahap awal pandemi. Beberapa negara menuntut penyelidikan internasional tentang penanganan COVID-19 di China selama tahap awal pandemi. Beberapa orang memiliki kecurigaan terhadap data COVID-19 China.

China, tampaknya, tidak berbagi dengan negara-negara sahabat, termasuk Indonesia, rahasia tentang bagaimana mengontrol COVID-19.

Berdasarkan situs worldometers.info, per 29 September, China hanya memiliki 85,384 kasus dan hanya 4,634 orang meninggal akibat COVID-19. Angka tersebut jauh lebih rendah dari Indonesia.

Pada tanggal September 29, Indonesia melaporkan 282,724 kasus COVID-19 dan 10,681 kematian.

Tanpa vaksin dan obatnya, mengapa China, negara yang mempunyai penduduk paling banyak di dunia, memiliki jumlah kasus dan kematian COVID-19 terendah? Apa rahasianya?

Tapi China telah menolak semua tuduhan dan melancarkan serangan informasi besar-besaran melalui para diplomatnya, yang sekarang dikenal sebagai "prajurit serigala [wolf warriors]".

Para pejuang ini berusaha keras untuk mempertahankan kepentingan dan reputasi China bahkan dengan mengorbankan nuansa diplomatik. Tetapi keraguan tetap ada di seluruh dunia tentang China dan perannya dalam pandemi COVID-19.

Selain virus corona, kita memang memiliki beberapa masalah di Laut China Selatan (LCS). Terlepas dari situasi yang tragis, China telah mengintimidasi, memaksa dan menindas Vietnam, Filipina, Malaysia, Taiwan dan negara non-penuntut seperti Indonesia untuk mengejar klaim ambisiusnya di LCS berdasarkan peta Sembilan-Garis-Putus yang kontroversial.

Peta ini sepenuhnya bertentangan dengan hukum internasional, termasuk Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCLOS) 1982.

Banyak negara di kawasan Indo-Pasifik khawatir terhadap meningkatnya ambisi hegemoni China dan kekuatan militernya yang meningkat serta pengaruh ekonominya. Para pejabat AS menyebut China sebagai "saingan militer paling berbahaya".

Kekuatan militer China yang tumbuh dan ketegasannya telah memaksa Australia untuk meningkatkan kemampuan pertahanannya.

Australia mengumumkan pada 1 Juli bahwa mereka akan membeli sistem rudal anti-kapal jarak jauh, senjata hipersonik dan mengubah kekuatan pertahanannya. Mereka akan menghabiskan rekor AS$187 milyar untuk peningkatan ini.

Tidak hanya itu, Australia sedang mengkoordinasikan aksinya dengan kawan dan sekutunya. Australia telah setuju dengan Jepang, musuh China, untuk melakukan latihan militer bersama dan memperluas dukungan diplomatik ke Taiwan, musuhnya China juga, untuk bergabung dengan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebagai pengamat. 

Australia juga merupakan anggota Quad, forum keamanan segiempat, yang bertujuan untuk melawan China di Indo-Pasifik. Anggota Quad lainnya adalah AS, Jepang dan India.

China sedang bersaing dengan negara adidaya AS dalam berbagai bidang. Kedua negara terlibat dalam perang ekonomi. Jepang mempunyai masalah dengan China terkait kepulauan Senkaku di Laut China Timur.

China memiliki sengketa perbatasan dengan India. Keduanya mengalami perang perbatasan dan baru-baru ini mereka bentrok di wilayah Ladakh.

Rupanya, kebangkitan China dan perilaku agresifnya membuat banyak kawannya menjadi musuh. China yang suka berkonflik sedang menghadapi banyak negara secara bersamaan.

China telah menghadapi tentangan besar dari rakyat Hong Kong, sebuah "benteng kebebasan". Pengenalan Undang-Undang Keamanan Nasional oleh China di Hong Kong menjadi bumerang.

AS, Inggris, Kanada, Australia dan Selandia Baru telah menyatakan dukungannya kepada rakyat Hong Kong atas perjuangan mereka untuk demokrasi dan hak asasi manusia.

Taiwan, yang diklaim China sebagai provinsi pemberontak, telah menjadi masalah besar bagi China. Taiwan adalah negara demokratis dan ingin mempertahankan kemerdeka, yang tidak disukai China.

Dari sisi domestik, China telah menghadapi pemberontakan internal dari orang Tibet, Uighur dan Mongol sejak lama.

Di sisi eksternal, sentimen anti-China, terutama pasca pandemi COVID-19, berkembang pesat di Eropa. Legislator dari 16 negara anggota Uni Eropa (UE) baru-baru ini mendirikan Aliansi Antar Parlemen untuk China.

Para pembuat undang-undang ini menggambarkan diri mereka sendiri sebagai "sekelompok pembuat undang-undang lintas partai internasional yang bekerja untuk mereformasi cara pendekatan demokrasi terhadap China".

Kelompok ini baru-baru ini meminta semua anggota UE untuk merundingkan kembali perjanjian ekstradisi dengan Hong Kong.

China, yang diuntungkan dari globalisasi dan perdagangan bebas, menghadapi tekanan global atas hak asasi manusia, demokrasi, kebebasan beragama dan penghormatan terhadap hukum internasional.

Perusahaan teknologi China, yang telah beroperasi dengan bebas di seluruh dunia selama beberapa waktu, telah diawasi dengan ketat.

India telah memberlakukan larangan pada lebih dari 50 aplikasi China. AS juga melakukan hal yang sama. Inggris dan AS telah mengecualikan perusahaan China Huawei dari jaringan 5G mereka. Perancis juga berencana untuk memberlakukan beberapa pembatasan pada Huawei di jaringan telekomunikasinya.

Kini seluruh dunia sedang menghadapi musuh bersama COVID-19 dan inilah saatnya semua negara bekerja sama untuk mengatasi masalah ini. Tetapi China bergerak ke arah yang berbeda dan menunjukkan perilaku yang berbeda.

Tindakan China di Laut Natuna Indonesia, Laut China Selatan, Laut China Timur, Ladakh, Taiwan dan Hong Kong jelas menunjukkan ambisi hegemonik. Waktunya telah tiba bagi China untuk mengubah perilakunya, menghormati hukum internasional, melunakkan retorika, mengubah prajurit serigala menjadi utusan perdamaian dan menyelesaikan perselisihan melalui negosiasi berdasarkan hukum internasional.

Oleh Veeramalla Anjaiah
Penulis adalah seorang wartawan senior tinggal di Jakarta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun