*Oleh Veeramalla Anjaiah
Pandemi COVID-19 akan memukul Pakistan dengan keras pada tahun 2020. Sebelum pandemi, ekonomi Pakistan sudah berada dalam kekacauan besar akibat lompatan besar dalam kemiskinan, pertumbuhan ekonomi yang rendah, inflasi dua digit dan defisit anggaran yang besar.
Dengan 220 juta orang, Pakistan adalah negara terpadat kelima di dunia. Hampir 96 persen orang Pakistan adalah pengikut Islam, yang menjadikan Pakistan negara dengan mayoritas Muslim terbesar kedua di dunia setelah Indonesia.
Yang mengkhawatirkan adalah, empat dari setiap 10 orang di Pakistan saat ini hidup dalam kemiskinan.
Ekonom terkemuka Pakistan Dr. Hafiz A. Pasha mengatakan bahwa tingkat kemiskinan nasional akan mencapai di atas 40 persen pada tahun 2020, meningkat tajam dari 31.3 persen pada tahun 2018. Artinya, negara ini akan memiliki 87 juta orang yang hidup dalam kemiskinan akut.
Selama dua tahun dalam kepemerintahan Perdana Menteri Pakistan Imran Khan dari partai Tehreek-e-Insaf (PTI), menurut Pasha, 18 juta orang jatuh miskin. Pada Juni 2018, ujar Pasha, 69 juta orang Pakistan hidup di bawah garis kemiskinan.
Pertumbuhan ekonomi yang rendah dan inflasi bahan makanan dua digit adalah alasan utama kenaikan tajam angka kemiskinan ini.
"Situasi ini sangat memprihatinkan karena tingkat pertumbuhan ekonomi yang dekat dengan tingkat pertumbuhan populasi serta kenaikan eksponensial dalam harga bahan makanan yang mudah rusak," Pasha, yang juga mantan menteri keuangan, mengatakan kepada The Express Tribune baru-baru ini.
Yang mengejutkan, sudah enam tahun pemerintah Pakistan tidak menghitung lagi berapa banyak orang yang hidup di bawah garis kemiskinan tanpa alasan yang jelas.
"Kami tidak memiliki statistik kemiskinan resmi terbaru," Menteri Federal Pakistan dan Pembangunan Asad Umar mengatakan kepada The Express Tribune.
Perdana Menteri Khan juga menyatakan keprihatinannya terhadap peningkatan tingkat kemiskinan dan mengatakan bahwa tidak ada gunanya jika kita memenangkan perang melawan COVID-19 tetapi kalah dalam perang melawan kemiskinan.
"Ketika ini [virus korona] akan berakhir, jika terjadi kenaikan tingkat kemiskinan pada saat itu, itu berarti kita telah kalah dalam perang. Krisis ini terutama akan berdampak pada kelas miskin. Ini merupakan sebuah tantangan. Jika kita keluar dari [krisis] ini tanpa membawa lebih banyak kesengsaraan kepada orang miskin, kita akan menang," kata Khan dalam pidatonya untuk negara di televisi baru-baru ini.
Dana Moneter Internasional (IMF) mengatakan dalam World Economic Outlook bahwa ekonomi Pakistan akan tumbuh 2.4 persen pada tahun 2020. Prediksi ini tidak mempertimbangkan dampak COVID-19. Tahun lalu tingkat pertumbuhan diperkirakan sebesar 3.3 persen.
Mengingat skala kerusakan dari COVID-19, yang diperkirakan sekitar AS$10 miliar hingga akhir April saja, tidak akan mengejutkan melihat pertumbuhan minus tahun ini jika krisis berlanjut sepanjang tahun.
IMF juga telah meramalkan bahwa tingkat pengangguran akan melonjak menjadi 6.2 persen pada tahun 2020, peningkatan kecil dari 6.1 persen pada tahun 2019. Prediksi ini bisa jadi salah dikarenakan adanya penguncian besar-besaran, PHK dan gangguan kegiatan ekonomi akibat pandemi COVID-19.
Kekhawatiran utama bagi Pakistan sekarang adalah inflasi dua digit. IMF memperkirakan bahwa inflasi di Pakistan pada tahun 2020 akan menjadi 13 persen. Tingkat inflasi hanya 3.9 persen pada tahun 2018 dan melonjak menjadi 7.3 persen di tahun 2019.
Menurut The News Pakistan, melonjaknya harga pangan mendorong inflasi Pakistan menjadi 14.6 persen pada Januari 2020, lompatan besar dari 12.6 persen pada Desember 2019. Itu adalah tingkat inflasi tertinggi dalam sembilan tahun terakhir.
Inflasi indeks harga konsumen di daerah perkotaan melonjak menjadi 13.4 persen pada basis tahun-ke-tahun (y-o-y) di bulan Januari 2020, sementara inflasi indeks melonjak menjadi 16.3 persen di daerah pedesaan selama periode yang sama. Enam puluh lima persen populasi Pakistan tinggal di daerah pedesaan.
Karena mayoritas orang tinggal di daerah pedesaan, Pakistan memiliki salah satu tingkat kemampuan membaca dan menulis yang terendah di dunia. Tingkat kemampuan membaca dan menulis di Pakistan saat ini hanya 58 persen, dengan lebih dari 50 persen wanita tidak bisa menulis dan membaca.
Pemerintah kebingungan karena pendapatan pajak akan turun dan pengeluaran pemerintah akan meningkat akibat pandemi COVID-19 pada tahun ini. Defisit anggaran 2020 sudah di atas 7 persen.
Ekspor diperkirakan akan menurun sementara impor akan melonjak secara dramatis pada tahun 2020. Penurunan besar juga akan terjadi dalam investasi asing langsung.
Orang-orang, yang kehilangan pekerjaan dan penghasilan, berjuang untuk membeli makanan mahal. Tidak ada rantai pasokan makanan yang efisien di Pakistan.
Buruknya lagi, Bank Dunia mengumumkan bahwa pengiriman uang dari pekerja migran ke Pakistan akan menurun sebesar 23 persen menjadi $17 miliar pada tahun 2020. Penurunan pengiriman uang ini disebabkan oleh pandemi COVID-19 dan harga minyak yang rendah. Pakistan menerima $22.5 miliar dalam pengiriman uang pada tahun 2019.
Sekitar empat juta orang Pakistan tinggal dan bekerja di negara-negara Teluk, yang sangat terpukul oleh harga minyak yang rendah dan COVID-19.
Pakistan telah mencoba melakukan pinjaman baru kepada pemberi pinjaman internasional dan meminta penundaan pembayaran hutang baru-baru ini.
Pakistan menjadi negara berkembang pertama yang meminta pemberi pinjaman G20 untuk menunda pembayaran hutang. Jika disetujui, Pakistan dapat menghemat $1.8 miliar dan beralih untuk menangani masalah COVID-19.
Presiden AS Donald Trump telah membantu Pakistan pada 16 April dalam mendapatkan pinjaman Instrumen Pembiayaan Cepat tanpa bunga sebesar 1.4 miliar dolar dari IMF.Â
Donor internasional lainnya, seperti Asian Development Bank dan International Development Association, juga setuju untuk memberikan pinjaman dan hibah senilai $600 juta untuk meringankan beban ekonomi Pakistan.
Semua pinjaman baru ini akan menambah beban hutang negara. Menurut Bank Negara Pakistan, total hutang negara saat ini adalah senilai Rs 33.4 triliun (sekitar $200 miliar). Hutang publik, menurut media Pakistan, dapat berlipat ganda dalam tiga tahun ke depan.
Dengan PDB sebesar $284.21 miliar (2019, IMF) dan perkiraan pendapatan per kapita PDB sebesar $1,246 (2020), beban hutang Pakistan akan menjadi sangat besar akibat COVID-19 dan kesengsaraan ekonomi lainnya akan menempatkan Pakistan dalam situasi pandemi di tahun-tahun mendatang.
Pakistan, pada 6 Maret, hanya memiliki cadangan devisa senilai $18.9 miliar, yang mungkin menurun lebih banyak karena arus keluar modal dan meningkatnya impor.
Menurut Biro Statistik Pakistan, Pakistan telah menderita defisit perdagangan yang sangat besar karena impornya lebih dari dua kali lipat nilai ekspornya. Pada tahun 2018, ekspor Pakistan mencapai $22.95 miliar, sementara impor mencapai $54.76 miliar.
Indonesia adalah pemasok utama minyak kelapa sawit dan batu bara ke Pakistan. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia mengekspor barang senilai $1.94 miliar ke Pakistan pada tahun 2019 dan mengimpor barang senilai $377.95 juta dari negara Asia Selatan ini. Total perdagangan dua arah sebesar $2.31 miliar pada tahun 2019, penurunan tajam dari $3.10 miliar pada tahun 2018. Penurunan ini disebabkan oleh perlambatan ekonomi di Pakistan.
Pakistan, yang saat ini menjadi pasien IMF di bawah paket bailout sebesar $6 miliar, belum keluar dari krisis ekonomi. Sekarang Pakistan, dan seluruh dunia, telah menjadi pasien COVID-19 yang kejam. Ini merupakan pukulan ganda bagi Pakistan.
Kasus COVID-19 pertama dilaporkan pada 26 Februari di Pakistan. Pasien COVID-19 pertama meninggal pada tanggal 9 Maret. Penyakit ini telah menyebar seperti api di seluruh negeri sejak 26 Februari.Â
Menurut worldometers, sebuah situs web pelacakan COVID-19, Pakistan memiliki, pada 28 April, 14,079 kasus dan 301 kematian. Tepatnya, 3,233 orang telah pulih dari penyakit COVID-19 di Pakistan.
COVID-19 akan menimbulkan luka mendalam pada Pakistan di sektor sosial, kesehatan dan ekonomi.
Dalam upaya untuk meringankan penderitaan akibat COVID-19, PM Khan baru-baru ini meluncurkan paket bantuan dan stimulus sebesar Rs 1.2 triliun ($7.45 miliar). Ini mungkin langkah yang tepat ke arah yang benar, tetapi itu tidak akan cukup mengingat skala masalah ekonomi, kesehatan dan sosial di negara ini.
Lembaga pemeringkat kredit Moody's Investors Service memperkirakan resesi tahunan di Pakistan pada tahun 2020, sementara Bloomberg memperkirakan bahwa ekonomi Pakistan hanya akan tumbuh 0.8 persen.
Kekacauan ekonomi Pakistan saat ini adalah ciptaannya sendiri. Korupsi, inefisiensi, nepotisme, tata pemerintahan yang buruk, pelanggaran hukum, militer yang kuat, dan radikal yang tidak terkontrol adalah alasan utama.
Terlepas dari status ekonominya yang buruk, Pakistan, kekuatan nuklir, mempertahankan posisi militer terbesar keenam di dunia. Akibatnya, Pakistan --- menurut Janes.com --- menghabiskan $7.6 miliar untuk pertahanan pada tahun 2019. Ini berarti 16 persen dari pengeluaran tahunan pemerintah hanya untuk militer atau 3 persen dari PDB-nya.
AS, banyak negara Eropa, Afghanistan, India, dan Iran mengkritik Pakistan karena memainkan permainan ganda dalam kasus terorisme. Di satu sisi, militer Pakistan dan badan intelijennya Inter-Services Intelligence (ISI) melatih dan mendanai beberapa kelompok teroris, termasuk Taliban, Lashkar-e-Toiba dan Jamaat-Ud-Dawa untuk kepentingan strategis negara.Â
Di sisi lain, negara ini membantu AS dan NATO dalam memerangi kelompok teror yang sama. Pakistan juga mengklaim bahwa dia juga adalah korban utama terorisme.
Mengingat semua masalah dalam banyak aspek, masa depan Pakistan terlihat suram. Masih harus dilihat apakah kepemerintahan Khan akan selamat dari semua krisis ini dalam tiga tahun mendatang.
***
Penulis adalah wartawan senior yang tinggal di Jakarta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H