Mohon tunggu...
Veeramalla Anjaiah
Veeramalla Anjaiah Mohon Tunggu... Administrasi - Wartawan senior

Wartawan senior

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Dua Tahun Berlalu, China Masih Mengabaikan Keputusan PCA tentang LCS

11 Juli 2018   17:00 Diperbarui: 12 Juli 2018   07:57 1159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Istana Perdamaian di Den Haag, Belanda, yang merupakan pusat Pengadilan Arbitrase Permanen (PCA) dan Mahkamah Pengadilan Internasional (ICJ). | Credit: Courtesy of Wikipedia

Veeramalla Anjaiah*

Tepat dua tahun lalu (Juli 12 2016), Pengadilan Arbitrase Permanen (PCA) yang berpusat di Den Haag memberikan putusan historis yang mendukung Filipina atas hak maritimnya di Laut China Selatan (LCS). Pengadilan arbitrase telah menegaskan 14 klaim dari 15 klaim Filipina yang diajukan, hanya satu klaim yang ditolak sebagian.

Di antara 15 klaim, isu Dangkalan Scarborough (Scarborough Shoal) menjadi sengketa utama antara Filipina dan China.

PCA jelas menolak hak historis China berdasarkan sembilan garis putus kontroversialnya di LCS dan mengutuk proyek reklamasi lahan Beijing serta pembangunan pulau buatan di Kepulauan Spratly. PCA juga menyatakan bahwa elevasi rendah tidak menghasilkan zona maritim mereka sendiri, yang memberikan posisi lebih kuat untuk kebebasan navigasi dan penerbangan di sekitar fitur maritim tersebut.

Penolakan klaim sembilan garis putuh oleh PCA sangat bermanfaat bagi Filipina serta negara penuntut lainnya seperti Vietnam, Malaysia, Brunei, dan bahkan Indonesia, yang bukanlah negara penuntut.

Penolakan tersebut merupakan sebuah interpretasi hukum yang sempurna dari Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa 1982 tentang Hukum Laut (UNCLOS). Hal ini juga mengurangi ruang lingkup beberapa sengketa maritim.

"Tumpang tindih di zona maritim yang diklaim di Laut China Selatan telah menurun dari sebagian besar perairan di wilayah itu menjadi hanya lautan teritorial seluas 12 mil laut di sekitar perairan pasang surut di Kepulauan Spratly," tulis Hong Thao Nguyen, seorang ilmuwan Vietnam, dalam artikelnya yang berjudul "Making China Comply" yang diterbitkan dalam Strategic Review The Indonesian Journal of Leadership Policy and World Affairs (October --December 2016). 

"Indonesia, Malaysia, Vietnam, Brunei, Singapura, dan Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara semuanya akan mendapatkan manfaat dari keputusan tersebut. Kemungkinan untuk memiliki laut lepas di Laut China Selatan yang semi-tertutup telah dihidupkan kembali oleh putusan tersebut."

Meskipun keputusan itu bersifat final dan mengikat secara hukum, China, yang mengklaim lebih dari 80 persen LCS, menolaknya dengan mengatakan bahwa keputusan itu hanya satu sisi dan China tidak memiliki kewajiban untuk menerapkannya.

China, yang juga menandatangani UNCLOS, memutuskan untuk menentang hukum maritim internasional karena tidak ada kecaman dari AS dan negara besar lainnya. Anehnya, China turut menganut UNCLOS dalam kasus Laut China Timur dalam perselisihannya dengan Jepang sementara secara sepihak menyatakan hak-hak historis berdasarkan sembilan garis putus di LCS, yang jelas merupakan pelanggaran dari UNCLOS.

China mengatakan akan menyelesaikan sengketa dengan negara-negara penuntut melalui negosiasi bilateral.

Namun, China malah menyelesaikan pekerjaannya di enam pulau buatan dan menyebarkan senjata-senjata berbahaya ke pulau-pulau itu. Militarisasi LCS tidak hanya melanggar hukum internasional tetapi juga mengancam perdamaian dan stabilitas di Asia Tenggara. Tindakan sepihak China juga merupakan ancaman besar terhadap kebebasan navigasi, penerbangan, dan pergerakan barang serta aktivitas nelayan tradisional.

China mengklaim bahwa kegiatannya berada di dalam wilayahnya dan dimaksudkan untuk membela kedaulatan China. Menteri Pertahanan AS James Mattis mengecam kegiatan China di Dialog Shangri-La beberapa waktu lalu di Singapura.

"Berlawanan dengan klaim China, penempatan sistem bersenjata ini diuji secara langsung untuk penggunaan militer dengan tujuan-tujuan intimidasi dan kekerasan," ujar Mattis.

Terlepas dari kritik Mattis, AS tidak terlalu menekan China terhadap masalah PCA dua tahun lalu.

"Para pejabat AS salah mengasumsikan bahwa kombinasi tekanan, rasa malu, dan keinginannya sendiri terhadap suatu tatanan maritim berbasis aturan akan menyebabkan Beijing, dari waktu ke waktu, untuk menerima keputusan tersebut. Sebaliknya, China menolaknya mentah-mentah,"dua sarjana Amerika, M. Campbell dan Ely Ratner, mengatakan dalam artikel mereka yang berjudul "The Reckoning China" yang diterbitkan beberapa waktu lalu di jurnal Foreign Affairs yang terkenal.

Dengan kekuatan ekonomi dan kekuatan militer yang tumbuh, China menjadi lebih tegas dalam klaimnya dan lebih percaya diri dalam mengabaikan kritik internasional tentang LCS. China memang bukan hegemon regional yang jinak. Mereka tidak pernah ragu untuk menggunakan kekuatan dalam klaimnya di LCS. China merupakan satu-satunya penuntut yang menggunakan kekuatan dalam melawan Vietnam untuk menduduki pulau-pulau Paracel, yang diklaim oleh Vietnam.

Banyak negara, termasuk AS, Jepang, India dan Australia, telah menyerukan arsitektur keamanan regional berbasis aturan. Mengingat pelanggaran hukum yang terjadi, LCS telah menjadi suatu isu yang mengkhawatirkan. Untuk mengurangi ketegangan dan membangun tindakan pembangunan kepercayaan di LCS, sangat diperlukan Kode Etik (COC), yang harus secara hukum mengikat dan didasari oleh UNCLOS 1982.

Setelah kalah dalam pertempuran hukum melawan Filipina, China telah menyetujui kesepakatan kerangka kerja COC dengan negara-negara ASEAN. Ini adalah langkah yang tepat ke arah yang benar untuk mengurangi ketegangan. Tetapi negara-negara ASEAN dan China harus menegosiasikan COC yang didasarkan pada hukum internasional dan mengikat secara hukum, yang akan membantu semua pihak dan berkontribusi terhadap perdamaian di kawasan tersebut.

Selain itu, putusan PCA yang bersejarah, yang berlaku tidak hanya untuk China tetapi juga semua negara di kawasan ini, juga perlu dihormati. Sebagian besar kesalahan terletak di Filipina karena tidak menekan penerapan putusan PCA. Pemerintahan Presiden Rodrigo Duterte ingin mendapatkan keuntungan ekonomi dari China dengan tidak mengangkat masalah putusan PCA. Banyak ahli di Filipina tidak menyukai pendekatan Duterte tersebut.

"Duterte bermaksud untuk mempertahankan hubungan yang kuat dengan China, tetapi dia berada di bawah tekanan ekstrim dari militer dan masyarakat luas untuk mengambil sikap yang lebih keras di Laut China Selatan. Dia mungkin seorang presiden yang populer, namun dia tidak memiliki kekuatan sepihak pada hal-hal sensitif seperti keamanan nasional. Ketika China memperluas jejaknya, berharap Filipina akan mengadopsi garis yang lebih keras, tidak peduli apa pun keinginan Duterte," kata Richard Javad Heydarian, seorang sarjana Filipina, di Singapura baru-baru ini.

Ini bukan hanya tanggung jawab Filipina, tetapi semua negara ASEAN serta kekuatan global untuk menekan penerapan putusan PCA 2016, yang dapat menjadi standar hukum bagi sengketa maritim di masa depan. Putusan PCA tersebut dapat menyelesaikan banyak masalah di LCS.

 *Penulis adalah seorang wartawan senior yang tinggal di Jakarta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun