Mohon tunggu...
Veeramalla Anjaiah
Veeramalla Anjaiah Mohon Tunggu... Administrasi - Wartawan senior

Wartawan senior

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Hubungan Taiwan-Indonesia Menuju Era Baru

4 Mei 2018   06:10 Diperbarui: 4 Mei 2018   07:59 4346
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Para peserta seminar internasional

Hubungan baik antara Taiwan dan Indonesia memiliki banyak keunikan. Kedua negara tidak memiliki hubungan diplomatik namun hubungan ekonomi mereka telah tumuh pesat  selama lebih dari lima dekade. Lintasan hubungan antara Taiwan dan Indonesia dapat digambarkan seperti perjalanan roller-coaster karena Kebijakan Indonesia yaitu "Satu-China".

Apa saja pasang surut dalam hubungan kedua negara tersebut? Bagaimana cara terbaik untuk mengubah ikatan Taiwan-Indonesia di abad ke-21? Bagaimana cara menangani hegemoni regional China? Tantangan dan peluang baru apa saja yang ada di tengah rezim perdagangan bebas besar dan meningkatnya tren proteksionis? Perspektif baru apa yang muncul dalam membangun hubungan yang lebih kuat antara Taiwan dan Indonesia?

Ikhtisar Historis

Taiwan secara resmi disebut sebagai Republik China (Republic of China atau ROC), yang didirikan pada tahun 1912 di bawah kepemimpinan Sun Yat-sen. Dari tahun 1912 hingga 1949, China daratan dan Taiwan merupakan satu negara. Pada tahun 1949, ketika komunis mendirikan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) di daratan, kepemimpinan nasional ROC mundur ke Taiwan.

Selama periode 1912 hingga 1949, ROC secara resmi menjalin hubungan diplomatik dengan Indonesia, yang pada waktu itu di bawah rezim kolonial Belanda, dan mendirikan beberapa kantor konsul-jenderal di berbagai kota di Indonesia.

Indonesia mendeklarasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945 dan hubungan antara Indonesia dan ROC, atau Taiwan, mengalami perubahan terutama setelah pembentukan RRT pada tahun 1949. ROC adalah yang pertama dari dua China untuk mengakui kemerdekaan Indonesia dengan harapan bahwa hubungan lama akan terus berlanjut.

Tetapi Indonesia, seperti banyak negara di dunia, memutuskan untuk mengakui RRT dan mengadopsi apa yang disebut sebagai Kebijakan Satu-China. Pada bulan April 1950, semua kantor konsul-jenderal ROC ditutup.

Kebijakan Satu-China Indonesia tidak menghalangi pebisnis Indonesia untuk membangun hubungan perdagangan dengan Taiwan. Indonesia saat ini memiliki populasi keturunan China terbesar ketiga setelah China daratan dan Taiwan di dunia. Antara 5 hingga 7 persen dari 265 juta penduduk Indonesia adalah etnis China. Banyak pebisnis China dan pemimpin Indonesia lainnya telah mendukung Taiwan dan telah melobi untuk pengakuan Taiwan.

Meskipun pemerintah Indonesia tidak pernah setuju untuk mengakui Taiwan sebagai negara berdaulat, namun mereka membuat hubungan ekonominya berkembang. Upaya kudeta yang dituduhkan oleh komunis Indonesia pada 1965 mendorong Jakarta untuk memutuskan hubungan diplomatik dengan Beijing dari tahun 1967 hingga 1990.

Taiwan melihat kesempatan emas untuk merayu Indonesia, untuk meningkatkan hubungan bilateral dan bahkan menjalin hubungan diplomatik. Beberapa orang Indonesia seperti Brig. Jenderal Suhardiman, Be Sulindro, Suwandi Hamid, Njoo Han Siang dan Amran Zamzami mendirikan sebuah perusahaan perdagangan yang disebut PT Berdikari untuk berdagang dengan Taiwan dan melobi pemerintah Indonesia untuk meningkatkan hubungan dengan Taiwan.

Pada tahun 1967, para pelobi ini, yang kemudian bergabung dengan pakar Jusuf Wanandi, pendiri Centre for Strategic and International Studies (CSIS), mendesak pemerintah untuk meningkatkan hubungan dengan Taiwan tanpa adanya hubungan diplomatik dengan RRT. Mereka bahkan mengundang 14 anggota delegasi perdagangan Taiwan  ke Indonesia. Delegasi inilah yang menawarkan pinjaman US$20 juta ke Indonesia sebagai imbalan atas penarikan dukungan Jakarta terhadap RRT untuk memasuki Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pinjaman ini tidak pernah terwujud hanya karena Indonesia terikat pada Kebijakan Satu-China-nya. Kemudian menteri luar negeri Indonesia Adam Malik menegaskan bahwa Indonesia akan mengakui ROC hanya jika pemerintah Taiwan memindahkan kantor pusatnya ke Beijing.

Jadi, selama periode 1967 hingga 1990, Indonesia berpegang pada Kebijakan Satu-China dan tidak pernah mengakui Taiwan sebagai negara merdeka. Namun, ini membuka pintu bagi para pengusaha dan investor Taiwan untuk melakukan perdagangan dengan Indonesia dan berinvestasi di negara kepulauan ini.

Masa keemasan (1967-1990)

Dengan tidak adanya hubungan diplomatik formal dengan RRT, hubungan ekonomi antara Indonesia dan Taiwan meningkat secara signifikan. Sebagai pengakuan terhadap hubungan yang membaik antara kedua negara, Kamar Dagang Indonesia didirikan di Taipei, Taiwan, pada tahun 1970 dan Jakarta menanggapinya dengan mendirikan Kamar Dagang Taiwan di Jakarta pada tahun 1971.

Kedua organisasi perdagangan memainkan peran penting dalam meningkatkan hubungan ekonomi antara dua negara. Titik balik terbesar terjadi pada tahun 1989, hanya satu tahun sebelum pembentukan kembali hubungan diplomatik Indonesia dan China, ketika Kamar Dagang China Taiwan mengubah namanya menjadi Kantor Ekonomi dan Perdagangan Taipei (TETO atau Taipei Economic and Trade Organization) di Indonesia, kedutaan de facto dari ROC di Indonesia. Pemerintah Indonesia, melalui Peraturan Presiden, mengubah Kamar Dagang Indonesia di Taipei menjadi lembaga non-pemerintah yang disebut Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia (KDEI) pada tahun 1994.

KDEI adalah satu-satunya badan non-pemerintah dari Indonesia yang dijalankan oleh pejabat dari Departemen Perdagangan, Badan Intelijen Negara dan Departemen Imigrasi. TETO dan KDEI adalah kedutaan de facto dari Taiwan dan Indonesia.

Orang mungkin bertanya-tanya mengapa semua kedutaan de facto Taiwan di seluruh dunia, termasuk yang ada di Filipina, disebut Kantor Ekonomi dan Kebudayaan Taipei (TECOs) tetapi di Indonesia disebut TETO dan bukan TECO.

Budaya China adalah masalah sensitif di Indonesia. Selama rezim diktator Soeharto (1967-1998), jutaan orang Tionghoa-Indonesia ditolak hak asasi manusianya. Mereka tidak diizinkan belajar atau berbicara bahasa Mandarin. Orang-orang Tionghoa dilarang merayakan festival dan ritual mereka. Orang-orang Tionghoa menghadapi diskriminasi besar dalam pekerjaan dan tempat pendidikan. Mereka tidak bisa mendapatkan pekerjaan di bidang layanan pemerintah, militer atau polisi.

Masa gelap ini berakhir setelah gerakan Reformasi pada tahun 1998. Saat ini orang Tionghoa-Indonesia tidak menghadapi diskriminasi dan Tahun Baru Cina sekarang menjadi hari libur nasional.

Namun, pemerintah Indonesia keberatan dengan nama TECO dan itulah mengapa di Indonesia disebut TETO.

Dari kebijakan 'Go South' ke 'New Southbound'

Pada akhir 1980-an, Presiden Taiwan Lee Teng-hui (1988-2000), melakukan upaya untuk meningkatkan profil Taiwan di arena internasional melalui diplomasi ekonomi dan meningkatkan hubungan antar-orang. Dia sangat berhasil dalam usahanya seperti yang bisa terlihat dari jumlah TECOs sekarang di seluruh dunia.

"Go West" adalah mantra bagi pebisnis Taiwan selama beberapa dekade. Taiwan telah banyak berinvestasi di China daratan, tetapi menjadi terlalu bergantung pada China.

Dalam upaya untuk membawa profil Taiwan ke tingkat yang lebih tinggi dan mengurangi ketergantungannya pada China, presiden Lee memperkenalkan kebijakan "Go South" yang ambisius pada tahun 1994. Berdasarkan kebijakan ini, pengusaha Taiwan didorong untuk terlibat dalam perdagangan yang lebih banyak dengan negara-negara Asia Tenggara. Penerus Lee Chen Shui-bian (2000-2008) melanjutkan semangat kebijakan "Go South". Hanya pada masa Presiden Ma Yang-jeon (2008-2016), Taiwan bergerak lebih dekat ke China.

Setelah pemilihan Presiden Tsai Ing-win pada tahun 2016, Taiwan tidak hanya kembali ke kebijakan "Go South", tetapi juga meningkatkannya menjadi apa yang disebut sebagai "Kebijakan Baru Selatan" (NSP atau New Southbound Policy) pada tahun 2016.

Kebijakan ini dianggap revolusioner karena mengubah seluruh sifat hubungan luar negeri dan ekonomi Taiwan dengan negara-negara Asia lainnya.

"Kebijakan 'New Southbound' adalah bagian penting dari strategi ekonomi dan perdagangan Taiwan, yang bertujuan untuk mendefinisikan kembali peran penting Taiwan dalam pembangunan Asia, mengidentifikasi arah baru dan kekuatan pendorong baru untuk tahap baru dalam pembangunan ekonomi, dan menciptakan nilai masa depan," Pemerintah Taiwan mengatakan di situs web Kebijakan New Southbound (NSP).

Pada dasarnya, tujuan utama NSP adalah untuk memperkuat hubungan Taiwan dengan 10 negara Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN), enam negara bagian di Asia Selatan (India, Pakistan, Bangladesh, Sri Lanka, Nepal dan Bhutan), ditambah Australia dan Selandia  Baru.

"Kebijakan ini dirancang untuk memanfaatkan aset budaya, pendidikan, teknologi, pertanian, dan ekonomi Taiwan untuk memperdalam integrasi regionalnya," dua sarjana Rowman dan Littlefield mengatakan dalam e-book terbaru mereka berjudul "Kebijakan New Southbound: Memperdalam Integrasi Wilayah Taiwan".

Hubungan Taiwan-Indonesia saat ini

Hubungan baik antara Taiwan dan Indonesia telah berkembang pesat. Kurangnya hubungan diplomatik bukanlah rintangan utama untuk meningkatkan hubungan.

Perdagangan dua arah telah berkembang sementara investasi sudah mencapai rekor tertinggi. Hubungan orang-ke-orang telah berada pada lintasan positif.

Bukti terbaik dari peningkatan hubungan ini adalah pembukaan kantor kedua TETO di Surabaya, Jawa Timur, pada tahun 2015. Maret lalu, Indonesia menyelenggarakan pameran perdagangan pertama, yang disebut sebagai Pekan Indonesia, di Taipei sementara Taiwan juga menyelenggarakan pameran perdagangan besar yang disebut Taiwan Expo 2018 di Jakarta.

Perdagangan dan investasi

Tahun lalu, total perdagangan antara Taiwan dan Indonesia, berdasarkan data perdagangan Taiwan, melonjak menjadi $8.09 miliar, meningkat 14.84 persen dari $ 7.04 miliar pada tahun 2016. Indonesia menikmati surplus perdagangan sebesar $1.70 miliar karena ekspor Indonesia ke Taiwan melonjak menjadi $4.89 miliar pada tahun 2017, lompatan sebesar $4.30 miliar yang mengesankan pada tahun 2016. Demikian juga, ekspor Taiwan ke Indonesia juga melonjak menjadi $3.19 miliar pada tahun 2017, meningkat 16,27 persen dari $2.74 miliar pada tahun 2016.

Berdasarkan statistik Indonesia, Taiwan adalah mitra dagang terbesar ke-11 di Indonesia.

Produk ekspor utama Indonesia ke Taiwan adalah minyak mentah, gas, batu bara, karet, kopi, furnitur dan tekstil sementara produk impor dari Taiwan adalah mesin, suku cadang otomotif, kendaraan, peralatan listrik, elektronik dan banyak barang lainnya.

Menurut data Badan Koordinasi Penanaman Modal Indonesia tahun 2015, lebih dari 2,000 perusahaan Taiwan beroperasi di Indonesia dan perusahaan-perusahaan ini menyediakan sekitar 1 juta pekerjaan untuk warga Indonesia. Perusahaan Taiwan pada 2015, telah menginvestasikan $17 miliar di Indonesia.

Tahun lalu saja, Indonesia menerima investasi asing langsung (FDI) senilai $397 juta dari Taiwan. Taiwan telah sangat aktif dalam mengembangkan beberapa proyek di Pulau Morotai, Maluku Utara, zona ekonomi khusus.

Hubungan orang-ke-orang

Orang Indonesia merupakan mayoritas orang asing yang tinggal di Taiwan. Menurut TETO di Indonesia, sekarang ada sekitar 300,000 orang Indonesia yang tinggal di Taiwan. Mayoritas dari mereka adalah migran perempuan yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga dan pengasuh. Sekitar 50,000 orang  Indonesia menikah dengan warga negara Taiwan dan ada lebih dari 5,000 pelajar Indonesia yang belajar di Taiwan.

Para pekerja migran tersebut sejauh ini telah mengirimkan uang hampir sebesar $10 miliar ke Indonesia.

Taiwan adalah salah satu penyedia turis utama ke Indonesia. Tahun lalu, 211,000 orang Taiwan mengunjungi Indonesia, sedikit meningkat dari 209,000 di tahun 2016.

Indonesia baru-baru ini melonggarkan peraturan visa untuk turis Taiwan dengan memberi mereka visa 60 hari.

Indonesia ingin menjalin hubungan dekat dengan Taiwan tetapi secara resmi tidak dapat melakukan hal tersebut. Namun, diplomat Taiwan dan pejabat Indonesia dapat menangani Kebijakan Satu-China tersebut.

Sebagai contoh, mantan presiden Chen mengunjungi Bali pada tahun 2005 dan Batam pada tahun 2006 atas dalih cuaca dan pengisian bahan bakar. Mantan wakil presiden Annette Lu juga mengunjungi Yogyakarta pada tahun 2002.

Taiwan menawarkan banyak beasiswa kepada pelajar Indonesia untuk belajar di Taiwan. Kantor TETO telah bekerjasama melalui banyak kegiatan dengan banyak institusi pendidikan seperti Universitas Indonesia, Binus University, Universitas Indonesia, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) serta think-tank seperti Habibie Center. Dialog Indonesia Taiwan dan Dialog Taiwan-ASEAN telah diselenggarakan oleh TETO untuk meningkatkan citra soft-power di Indonesia.

Peluang dan tantangan

Di bawah Kebijakan New Southbound, Indonesia, Filipina, dan Vietnam adalah negara-negara prioritas untuk Taiwan. Indonesia, yang memiliki ekonomi terbesar di Asia Tenggara dan juga anggota G20, dapat menawarkan peluang besar bagi pebisnis Taiwan.

265 juta orang Indonesia, dengan pendapatan yang meningkat dan kelas menengah yang sedang tumbuh, adalah pasar yang sangat besar untuk produk-produk Taiwan. Indonesia, yang memiliki ekonomi senilai $1 triliun dengan pertumbuhan ekonomi tetap sebesar 5 persen, fokus pada pembangunan infrastruktur di seluruh negeri.

Indonesia membutuhkan investasi sekitar $150 miliar untuk proyek infrastruktur dalam tiga tahun ke depan.

Indonesia memiliki sumber daya alam yang sangat besar -- hampir semua dimiliki oleh Indonesia. Tetapi berinvestasi di Indonesia tidaklah semudah itu dikarenakan peraturannya, sistem perpajakan dan undang-undang tenaga kerja. Ketiga hal tersebut adalah tantangan utama bagi investor Taiwan.

Kurangnya promosi tentang Taiwan dan produknya di Indonesia juga masih merupakan masalah besar.

China yang agresif

Dengan kekuatan ekonomi dan kekuatan militernya yang semakin besar, China sangat tegas dengan tetangganya, terutama Taiwan. Baru-baru ini, China telah memberikan tekanan luar biasa, baik itu diplomatik, militer maupun psikologis, terhadap Taiwan untuk mengikuti Kebijakan Satu-China.

Di bidang ekonomi, China sangat agresif di pasar Asia Tenggara. Berkat perjanjian Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN-China, barang-barang Tiongkok menikmati tarif nol sementara barang-barang Taiwan harus bersaing ketat dengan barang-barang Cina.

Kurangnya hubungan diplomatik dan kesepakatan tentang berbagai masalah juga menjadi masalah besar bagi investor Taiwan ketika bersaing dengan investasi China. China telah memberikan banyak tekanan pada Indonesia untuk memotong atau mengurangi beberapa kegiatan TETO, di luar bidang ekonomi dan perdagangan.

China selalu protes keras setiap kali TETO menggunakan nama Republik China atau ROC.

Taiwan dan Indonesia harus mengeksplorasi kemungkinan penandatanganan perjanjian perlindungan investasi dan pencegahan pajak berganda.

Di sisi politik, pengaruh Amerika Serikat di Asia sedang menurun sementara China sedang mengisi kesenjangan.

Mega FTA

Taiwan kemungkinan akan menghadapi masalah serius dari perjanjian perdagangan bebas besar seperti ACFTA (ASEAN China Free Trade Area), Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) atau  Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional dan Perjanjian Komprehensif dan Progresif untuk Kemitraan Trans-Pacific (CPTPP).

Dengan FTA besar ini, produk Taiwan bisa menjadi kurang kompetitif. Itulah mengapa Taiwan harus berinvestasi lebih banyak dalam menghasilkan produknya di negara-negara seperti Indonesia dan Filipina.

Taiwan harus menemukan cara untuk menandatangani perjanjian perdagangan bebas sebanyak mungkin dengan negara-negara Kebijakan New Southbound.

Proteksionisme

Kebijakan proteksionis Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang disebut sebagai "America First" akan mempengaruhi semua negara, termasuk Taiwan. Ini adalah suatu kemunduran yang besar. Perang dagang Trump akan mengarah kepada situasi kacau dalam perdagangan global.

Taiwan harus mempersiapkan konsekuensi dari proteksionisme dan mengambil langkah-langkah untuk lebih fokus pada negara-negara Kebijakan New Southbound.

Globalisasi dan perdagangan bebas sangatlah penting bagi banyak negara seperti Taiwan.

Taiwan saat ini duduk di cadangan devisa yang sangat besar, yaitu senilai $450 miliar. Indonesia harus melonggarkan aturan investasinya dan menyediakan fasilitas atau perlakuan khusus untuk investor Taiwan. Dengan ini, Indonesia dan Taiwan dapat memperoleh manfaat dari dampak negatif proteksionisme.

Kesimpulan

Kita saat ini hidup di abad ke-21. Yang dahulunya kekuatan dominan, Amerika Serikat sekarang menurun sementara negara adikuasa baru, China, meningkat dengan cepat. Hubungan Taiwan dan Indonesia yang teruji waktu sedang menyesuaikan diri dengan dinamika ekonomi global yang cepat berubah.

Kedua negara ini memiliki potensi besar yang, jika dimanfaatkan dengan cara yang benar, akan menguntungkan kedua negara.

Ada banyak peluang yang dapat meningkatkan pembangunan ekonomi kedua negara. Perdagangan saat ini yang bernilai sekitar $8 miliar tidak mencerminkan potensi nyata mereka.

China adalah ancaman ekonomi dan keamanan terbesar bagi kedua negara. Dengan tidak adanya kekuatan dominan, China telah muncul sebagai kekuatan global. Ini akan menjadi tugas yang menakutkan bagi Taiwan dan Indonesia untuk berurusan dengan China yang tegas.

Sebagai negara kecil dengan hanya 24 juta orang, Taiwan harus meningkatkan hubungan ekonomi dengan negara-negara Kebijakan New Southbound. Namun, Kebijakan Satu-China akan menjadi tentangan besar bagi peningkatan hubungan ekonomi antara Indonesia dan Taiwan.

Diperlukan kampanye besar-besaran untuk meningkatkan kesadaran di negara-negara Kebijakan New Southbound.

Indonesia dan Taiwan harus menandatangani perjanjian penting untuk memperlancar perdagangan dan investasi serta kerjasama di berbagai sektor.

Ancaman utama lainnya adalah meningkatnya kecenderungan proteksionisme di banyak negara maju.

Pemerintah Indonesia harus melonggarkan hukum investasi dan peraturan perdagangan untuk menarik lebih banyak investasi dari Taiwan.

Kebijakan New Southbound adalah kebijakan yang tepat dalam arah yang benar.

Veeramalla Anjaiah sedang mempresentasikan papernya di Asian Center, University of the Philippines Dilman pada tanggal 20 April 2018. | Credit: Courtesy of Manila
Veeramalla Anjaiah sedang mempresentasikan papernya di Asian Center, University of the Philippines Dilman pada tanggal 20 April 2018. | Credit: Courtesy of Manila
Veeramalla Anjaiah adalah jurnalis senior yang berbasis di Jakarta dan juga penulis "Azerbaijan Seen from Indonesia". Artikel ini didasarkan pada makalah yang disajikan oleh penulis pada konferensi internasional tentang "Taiwan dan Asia Pasifik: Emerging Trends and Opportunities" yang diadakan di Pusat Asia, University of the Philippines Dilman, pada tanggal 20 April 2018.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun