Mohon tunggu...
Veeramalla Anjaiah
Veeramalla Anjaiah Mohon Tunggu... Administrasi - Wartawan senior

Wartawan senior

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

ASEAN Harus Bersatu Dalam Hal CoC di Laut China Selatan

7 Agustus 2017   08:44 Diperbarui: 7 Agustus 2017   09:01 993
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Veeramalla Anjaiah

Wartawan senior

Para menteri dari Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) yang beranggotakan 10 negara, China dan anggota-anggota lain dari Konferensi Tingkat Tinggi Asia Timur (EAS) sedang berkumpul di Manila dalam minggu ini (2-8 Agustus) untuk mempersiapkan agenda untuk Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN ke-31 yang akan datang beserta pertemuan-pertemuan terkait di bulan November nanti.

Pertemuan sekarang  ini di Manila akan menjadi sangat penting karena dua alasan. Pertama, ASEAN merayakan hari jadinya yang ke-50 pada tanggal 8 Agustus dan para menteri ASEAN akan merancang arah masa depan dari kelompok regional tersebut, dengan tetap memperhatikan situasi geopolitik global yang berubah dengan pesat serta keseimbangan kekuatan di Asia.

Yang kedua adalah penandatangan atau persetujuan kerangka kerja untuk Kode Etik (Framework for Code of Conduct - COC) di Laut China Selatan (LCS) oleh para mentiri luar negeri ASEAN dan  China selama Konferensi Tingkat Menteri.

Sengketa di LCS mengancam persatuan dan keamanan dari ASEAN yang berusia 50 tahun. LCS adalah sebuah jalur air yang penting, yang merupakan sumber utama transportasi untuk sepertiga perdagangan maritim global atau barang dengan nilai lebih dari 5 trilyun dolar AS setiap tahun. LCS juga kaya akan minyak dan gas serta sumber perikanan.

Negara-negara anggota ASEAN seperti Vietnam, Filipina, Malaysia dan Brunei memiliki klaim yang tumpang tindih dengan China dan Taiwan terhadap bagian-bagian tertentu dari LCS, yang memiliki area maritim seluas 3.5 juta kilometer persegi.

Namun China mengklaim lebih dari 80 persen dari area LCS yang kaya akan sumber daya itu, berdasarkan yang disebut sebagai "dasar historis" serta "sembilan garis putus" demarkasinya yang kontroversial.

Garis ini, yang merupakan sumber semua konflik dan kontroversi, juga merambah ke suatu bagian area maritim Natuna Indonesia, meskipun negara kepulauan ini bukanlah salah satu penggugat di sengketa tersebut.

Indonesia, pemimpin de facto ASEAN, tidak mengakui klaim sembilan garis putus China di LCS. Empat penggugat dari ASEAN, serta AS, Jepang, Uni Eropa, India, Australia dan banyak negara di dunia juga menolak klaim tersebut hanya karena klaim China tidak berdasarkan pada hukum atau konvensi maritim internasional apapun.

Dengan ketidakseimbangan antara China dan para penggugat dari ASEAN di LCS dalam hal kekuatan militer dan ukuran ekonomi, China telah mengejar klaim maritim LCSnya secara agresif sejak tahun 1970-an saat China menggunakan kekuatan militernya untuk mengambil alih Kepulauan Paracel dari Vietnam. Saat ini target China adalah Kepulauan Spratly.

Dengan menggunakan metode "koersif", China telah membangun banyak pulau-pulau buatan melalui reklamasi dalam beberapa tahun terakhir. Sekarang China mengubah pulau-pulau tersebut menjadi pangkalan militer dengan membangun fasilitas-fasilitas militer dan mengerahkan senjata berat di pulau-pulau tersebut. Baik negara penggugat maupun negara non-penggugat, termasuk AS dan Jepang, yakin bahwa banyak dari aksi sepihak Beijing merupakan sebuah ancaman serius terhadap perdamaian, keamanan, kebebasan bernavigasi, penerbangan dan penangkapan ikan legal di wilayah tersebut.

Filipina membawa China ke arbitrase internasional pada tahun 2013 atas blokade yang dilakukan oleh China terhadap Scarborough Soal, yang terletak di dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Filipina.

Di bulan Juli tahun lalu, dalam sebuah keputusan penting, Pengadilan Tetap Arbitrase (PCA) di Den Haag dengan jelas memutuskan bahwa China tidak memiliki hak sejarah atas perairan LCS karena China telah menandatangani Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) dan meratifikasinya. Di bawah UNCLOS, semua negara pesisir memiliki hak terhadap 12 mil laut dari wilayah pantai mereka, sebuah landas kontinen dan 200 mil laut ZEE.

Kebanyakan negara telah meminta China untuk mengimplementasikan keputusan PCA karena keputusan tersebut mengikat secara hukum, namun Beijing, yang memboikot sidang-sidang pengadilan, menolak keputusan tersebut, yang merupakan sebuah pukulan besar bagi kedudukan internasional Beijing.

Dalam upaya untuk meningkatkan citra internasionalnya, China di bulan Mei tahun ini menyetujui kesepakatan kerangka kerja mengenai CoC terhadap isu LCS dengan ASEAN untuk mengurangi ketegangan dan menghindari konflik di perairan yang diperebutkan tersebut. Butuh 15 tahun hanya untuk mencapai kesepakatan kerangka kerja, bukan CoC yang sebenarnya.

Akhir-akhir ini, pejabat-pejabat China dan media terus mengatakan bahwa dengan menandatangani kesepakatan kerangka kerja tersebut China berkomitmen untuk mempertahankan perdamaian dan stabilitas di LCS serta siap untuk menegosiasikam CoC. Dengan kerangka kerja CoC ini, yang akan disetujui secara resmi di Manila minggu ini, China memproyeksikann bahwa masalah LCS sudah selesai. Apakah begitu?Pertama-tama, kita harus sadar bahwa selama ini tidak ada perubahan di lapangan atau dalam klaim LCS China. Kesepakatan kerangka kerja hanyalah kerangka dari CoC.

Tidak ada yang tahu apakah China akan setuju terhadap CoC yang mengikat secara hukum. Jika China setuju, maka akan menjadi terobosan besar dari teka-teki LCS yang sudah berusia puluhan tahun.

Namun banyak ahli --- baik dari China maupun luar China --- pesimis karena sebuah CoC yang mengikat secara hukum tidak akan menjadi kepentingan China. China tidak akan bebas untuk melakukan kegiatan dimana China saat ini terlibat dalam Kepulauan Spratly.

Akan ada dua skenario: Yang pertama adalah bahwa China mungkin akan menunda atau memperpanjang CoC akhir sampai seluruh tujuannya di LCS sudah tercapai. Kemudian China akan menandatanganinya.

Yang kedua adalah bahwa China mungkin akan melemahkan isi dari CoC akhir sehingga tidak ada mekanisme yang mengikat secara hukum. Untuk itu China akan terus menggunakan pendekatannya saat ini untuk merayu negara-negara seperti Filipina, Malaysia dan Brunei melalui investasi, perdagangan dan pariwisata.

Hanya Vietnam, penggugat terbesar kedua di LCS setelah China, yang akan tetap menjadi kacang yang sulit dipecahkan bagi Beijing. Indonesia, yang bukan merupakan negara penggugat dan memiliki populasi serta ekonomi terbesar di Asia Tenggara, tidak akan pernah meliputi hak-hak maritimnya di LCS. Jadi pertanyaannya adalah apa yang ASEAN harus lakukan untuk mencapai CoC yang mengikat secara hukum yang komprehensif dan efektif dalam penerapannya. Karena CoC harus berkontribusi dalam memastikan perdamaian, stabilitas, keamanan, kesejahteraan dan kebebasan bernavigasi serta penerbangan di LCS dan menciptakan  lingkungan yang baik untuk menyelesaikan sengketa apapun dengan cara-cara damai serta sesuai dengan hukum internasional, termasuk UNCLOS 1982. Baik China maupun semua penggugat dari ASEAN, termasuk Indonesia, sudah menandatangani UNCLOS dan meratifikasinya sejak lama.

Para menteri ASEAN tidak boleh jatuh ke perangkap China terhadap isu LCS dan CoC. China mungkin akan membujuk mereka dengan insentif-insentif ekonomi untuk berkompromi terhadap isu LCS. Namun anggota-anggota ASEAN harus bertahan pada posisi mereka terhadap CoC yang kuat dan mengikat secara hukum yang didasarkan pada prinsip-prinsip hukum maritim internasional. Mereka harus bekerja dengan keras di Manila untuk mempertahankan konsensus, solidaritas dan peran sentral ASEAN dalam sengkata LCS serta hubungan-hubungan regional dan internasional selama pertemuan-pertemuan mereka.

Persatuan dan sentralitas ASEAN merupakan kunci dari masa depan ASEAN. "Persatuan dan sentralitas harus dipupuk," ujar Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi pada tanggal 19 Juli dalam sebuah konferensi internasional yang berlangsung selama satu hari mengenai "Memperkuat Kerjasama dan Inklusivitas" di Jakarta.

Kalau tidak ada persatuan dan sentralitas, ASEAN akan kehilangan relevansinya. Maka dari itu ASEAN harus menuntut dengan satu suara bahwa China harus menghormati keputusan PCA tahun lalu dan bekerja keras untuk segera menyelesaikan CoC.

CoC tidak boleh dilemahkan atau ditunda lebih lanjut. Lagi pula, CoC --- yang merupakan bukan solusi terhadap sengketa di LCS --- akan menjadi kepentingan bersama. Tidak ada yang menginginkan perang. Kita perlu sebuah mekanisme yang kuat untuk menghindari konflik dan mengurangi ketegangan. Dengan menandatangani CoC yang mengikat secara hukum, China akan mendapatkan penghormatan internasional yang sangat dibutuhkan dan mendapatkan keuntungan lebih dari sebuah lingkungan yang damai di LCS.

Penulis adalah seorang wartawan senior yang tinggal di Jakarta, Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun