Veeramalla Anjaiah
Setelah perjalanan selama lima dekade, 10 anggota Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) yang dinamis ini masih membutuhkan persatuan politik dan solidaritas antar negara anggota, karena permasalahan Laut China Selatan (LCS) telah menjadi suatu ancaman terbesar terhadap persatuan, perdamaian, dan stabilitas ASEAN.
Di masa lalu, ASEAN telah mencapai banyak hal, terutama dalam bidang kerjasama ekonomi dan sekarang telah menjadi masyarakat dengan tiga pilar: Masyarakat Keamanan Politik ASEAN (APSC), Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), dan Masyarakat Sosio-Kultural ASEAN (ASCC).
Tapi tidak ada gunanya memiliki masyarakat tanpa persatuan dan sedikit solidaritas di antara anggota-anggotanya. Kekuatan luar mengeksploitasi celah-celah di ASEAN untuk memecah belahkan anggota-anggota ASEAN dalam isu-isu penting seperti LCS, keamanan maritim dan kebebasan navigasi.
Pada Hari Jumat dan Sabtu pekan ini para pemimpin ASEAN memiliki kesempatan emas untuk meletakkan pondasi bersejarah untuk persatuan politik ketika mereka berkumpul di Manila untuk KTT ASEAN ke-30. Ketua ASEAN saat ini, negara Filipina, beserta pimpinannya yang populer Presiden Rodrigo Duterte memiliki kewajiban moral untuk mencapai persatuan ASEAN, mendorong solidaritas dan mempercepat pembentukan Code of Conduct (CoC) yang sangat diperlukan untuk LCS.
Presiden Duterte telah menentukan tema “Bekerjasama untuk Perubahan, Melibatkan Dunia” untuk kepemimpinan Filipina di ASEAN. Ini tentu saja merupakan bagian dari slogan kampanye, “Perubahan akan Datang”, untuk pemilu 2016.
Duterte harus membawa perubahan di ASEAN sekaligus mempertahankan peran sentralitas ASEAN. Meskipun Duterte adalah seorang pemain baru dalam politik ASEAN, Filipina sudah memiliki banyak pengalaman dalam mengadakan konferensi-konferensi tinggi ASEAN. Sebelumnya, Filipina menjadi tuan rumah KTT ASEAN ke-3 di Manila pada tahun 1987 dan KTT ASEAN ke-12 di Cebu pada tahun 2007.
Sejauh ini sepertinya Duterte berjalan ke arah yang benar. Sejak menjabat sebagai Presiden Filipina di bulan Juni 2016, Duterte telah mengunjungi seluruh sembilan negara ASEAN dan bertemu dengan pimpinannya, termasuk sekutu dekat Cina, Perdana Menteri Kamboja Hun Sen, dengan tujuan untuk mendengarkan apa yang mereka ingin sampaikan mengenai masa depan ASEAN. Ia memutuskan untuk membawa perubahan di ASEAN.
“Kita akan mengupayakan inisiatif dan meningkatkan kerjasama dengan partner global untuk memastikan bahwa penduduk ASEAN hidup dalam damai, stabilitas, keamanan dan pertumbuhan, sambil mempertahankan sentralitas, persatuan, serta ASEAN. Kita akan selalu mempertahankannya. Filipina siap dan bersedia untuk mengarahkan dan membimbing asosiasi ini,” ujar Duterte dalam pidato penerimaan kepemimpinan ASEAN bulan September 2016.
Mengingat arena geopolitik yang cepat berubah serta keseimbangan kekuatan, khususnya kebangkitan Cina, sangat penting bagi ASEAN untuk melibatkan negara-negara besar global untuk mempertahankan perdamaian dan keamanan regional. Namun ASEAN harus menjadi pengemudinya.
Untuk itu, penting untuk memiliki persatuan di dalam dan melibatkan negara-negara besar global di luar ASEAN.
Pemimpin-pemimpin ASEAN harus memiliki pendapat kuat bersama bahwa semua perselisihan di LCS harus diselesaikan dengan damai berdasarkan hukum internasional, khususnya Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS).
Secara individual, Indonesia, pemimpin de facto ASEAN, telah meminta mekanisme berbasis peraturan internasional untuk menyelesaikan perselisihan maritim. Vietnam, pengklaim (claimant) terbesar kedua di LCS, juga telah mengatakan hal serupa dan meminta pembatasan diri dari seluruh penggugat. Filipina, Malaysia, Brunei Darussalam, AS, Jepang, Australia, India dan Uni Eropa serta sebagian besar negara-negara di dunia juga mengatakan hal yang sama.
Sayangnya, China, yang mengklaim lebih dari 80 persen dari 3.5 juta kilometer persegi wilayah maritim LCS berdasarkan sembilan garis putus-putusnya (nine-dash line) yang kontroversial, enggan untuk menggunakan hukum internasional dan UNCLOS untuk menyelesaikan klaimnya yang bertumpang tindih dengan Vietnam, Malaysia, Filipina, Taiwan, Brunei Darussalam, dan bahkan Indonesia.
China mengklaim bahwa Beijing memiliki “kedaulatan tak terbantahkan” atas sebagian besar dari wilayah LCS. China adalah satu-satunya negara yang mengerahkan pasukan melawan Vietnam untuk menduduki Kepulauan Paracel yang diperebutkan pada tahun 1974. China baru-baru ini membangun beberapa pulau artifisial di LCS dan memasang radar serta persenjataan canggih. Aktivitas Beijing di LCS memicu ancaman kepada lingkungan laut serta perdamaian dan keamanan di wilayah ASEAN.
Dalam sebuah keputusan penting bulan Juli 2016, pengadilan internasional yang berbasis di Den Haag menyebutkan bahwa Pengadilan Arbitrase Permanen (PCA) menolak dengan tegas sembilan garis putus-putus China beserta hak historisnya karena China merupakan salah satu penandatangan UNCLOS dan harus menghormati peraturan serta pranata maritim internasional. Dikatakan dengan jelas bahwa klaim China terhadap LCS tidak memiliki dasar hukum. Namun China menolak keputusan Den Haag.
Presiden Duterte, yang memasukkan isu LCS ke dalam agenda KTT ASEAN, harus memasukkan keputusan PCA dan keputusan tersebut harus didiskusikan dalam KTT ASEAN di Manila dan juga di KTT ASEAN ke-31 di Clark, Filipina, bulan Nopember tahun ini.
Lagipula, Filipina lah yang mengajukan arbitrase internasional terhadap dangkalan Pamatag (Dangkalan Scarborough) di Laut Filipina Barat (nama di Filipina untuk LCS) setelah China mendudukinya secara ilegal pada tahun 2012.
Tanggung jawab besar Duterte sebagai ketua ASEAN adalah untuk mengawasi keputusan awal Kode Etik yang sangat ditunggu-tunggu, yang akan membawa perdamaian serta stabilitas di wilayah ASEAN. Dengan penandatanganan COC, China, sebuah negara besar global yang sedang bangkit, bisa dapat citra yang baik. China bisa juga dapat kehormatan dari dunia internasional dan dapat meredam ketegangan yang sedang meningkat di wilayah ini.
Tidak akan ada pemenang, menurut Presiden Vietnam Tran Dai Quang, dalam konflik bersenjata atas perselisihan di LCS. Banyak ahli setuju bahwa semuanya akan kalah dalam perang atas LCS. ASEAN harus mengadopsi tindakan-tindakan pencegahan konflik seperti COC.
China tidak boleh melihat persatuan ASEAN sebagai ancaman terhadap kepentingan-kepentingannya di LCS. China tentu merupakan partner dagang terbesar ASEAN serta penyedia wisatawan dan investasi utama. Kedua belah pihak saling membutuhkan.
Terakhir, sebagai negara terbesar di ASEAN, Indonesia memiliki tanggung jawab yang besar untuk bekerjasama dengan Duterte serta pemimpin-pemimpin ASEAN lainnya untuk menempa persatuan dan solidaritas ASEAN. Presiden Indonesia Joko “Jokowi” Widodo ingin isu LCS diselesaikan secara damai berdasarkan peraturan internasional.
“Indonesia terus terlibat secara aktif dalam mendukung penyelesaian perselisihan Laut Cina Selatan melalui negosiasi dan upaya-upaya damai mengikuti keputusan Pengadilan Arbitrase Internasional di Den Haag pada isu ini,” kata Jokowi beberapa waktu lalu.
Jokowi akan mengadakan pertemuan bilateral dengan Duterte pada tanggal 28 April untuk membahas baik permasalahan ASEAN maupun isu-isu bilateral di Manila. Jokowi dan Duterte harus kerjasama untuk menghasilkan persatuan ASEAN (ASEAN Unity) dan segera mempersiapkan COC. Negosiasi mengenai COC tak boleh berlarut-larut.
Tahun ini ASEAN juga merayakan hari jadinya yang ke-50 pada bulan Agustus. Ini waktunya bagi ASEAN untuk merubah diri untuk menjadi keluarga ASEAN yang satu.
Penulis adalah seorang wartawan senior dan pemerhati hubungan internasional.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H