Olahragawati Amerika, misalnya, menyumbangkan 28 dari 46 medali emas yang diraih negaranya di Rio. Hanya dua atlet wanita dari negara-negara OKI — Ruth Jebet dari Bahrain (di Lari Halang Rintang atau steeple chase 3,000 meter Putri) dan Liliyana Natsir dari Indonesia (Bulu Tangkis) — yang memenangkan medali emas tahun ini.
Di Olimpiade Rio, AS menerjunkan 550 atlet, termasuk 292 wanita. Dalam tim Olimpiade AS, Ibtihaj Muhammad, pemain anggar wanita Muslim yang berhijab, meraih medali perunggu.
Meskipun hampir dari 50 persen populasinya adalah wanita, negara-negara Muslim hanya mengirimkan sedikit atlet wanita ke Olimpiade. Dua belas negara hanya mengirimkan satu atlet wanita ke Brazil, 15 negara masing-masing mengirimkan dua, dan tujuh negara masing-masing mengirimkan tiga. Iraq, sementara itu, tidak mengirimkan satu pun atlet wanita ke Rio.
Prestasi atlet wanita dari negara-negara Muslim luar biasa di Olimpiade Rio. Majlinda Kelmindi, atlet judo dari Kosovo, memenangkan medali emas Olimpiade yang pertama untuk negaranya. Begitu juga dengan Ruth. Ia menciptakan sejarah dengan meraih medali emas pertama kali untuk negaranya di Rio. Pemain bulu tangkis Susi Susanti memenangkan medali emas Olimpiade pertama untuk Indonesia di Barcelona tahun 1992.
Kalo kita melihat sejarahnya, atlet wanita Muslim pertama yang berpartisipasi di Olimpiade — di Berlin tahun 1936 — adalah pemain anggar dari Turki, Halet Cambel. Nawal El Moutawakel dari Maroko adalah wanita Muslim pertama yang meraih medali emas Olimpiade (di lari rintangan atau hurdles 400 meter) di Los Angeles tahun 1984.
Wanita di banyak negara Muslim menghadapi diskriminasi dan pelecehan atas pilihan pakaian olahraganya serta tak dapat dukungan di bidang olahraga, seni, pendidikan dan budaya, meskipun pada kenyataannya Islam mendukung pria dan wanita untuk menimba ilmu, memiliki tubuh sehat dan bugar.
“Rintangan terbesar mereka [wanita Muslim] yang menghalangi perempuan untuk berolahraga adalah ekstremisme di agama mereka, khususnya mereka yang tinggal di negara-negara Muslim konservatif. Meskipun tidak ada di Al-Qur’an yang melarang wanita dan perempuan untuk berolahraga, para ulama membuat aturan-aturan lebih ketat daripada yang seharusnya dengan misinterpretasi,” tulis aktivis hak-hak perempuan Shaista Gohir di website Huffington Post beberapa waktu lalu.
Untuk mendukung olahraga di antara orang-orang Muslim, OKI mendirikan Federasi Olahraga Islam untuk mengadakan Islamic Solidarity Games. Tournamen pertama diselenggarakan pada tahun 2005 di Arab Saudi dan Indonesia menjadi tuan rumah Islamic Solidarity Games yang ketiga di Palembang tahun 2013. Islamic Solidarity Games berikutnya akan diselenggarkan di Baku, Azerbaijan, pada tahun 2017. Namun, standard di Islamic Solidarity Games ini masih relatif rendah.
Kesalahan besar lainnya yang anggota-anggota OKI buat adalah pemilihan olahraga dan strategi yang buruk. Belajar dari negara-negara maju dalam bidang olahraga, jelas sekali bahwa mereka terlalu fokus kepada acara-acara multi-medali dibandingkan konsentrasi pada acara-acara yang lebih khusus yang menawarkan lebih sedikit medali di ajang Olimpiade.
Dengan fokus yang lebih besar kepada atlet wanita dan strategi yang lebih baik, semoga negara-negara anggota OKI akan bersinar di Olimpiade Tokyo 2020.
Penulis adalah seorang wartawan senior yang tinggal di Jakarta.