"Pemilu" yang rencananya akan diadakan di wilayah Azerbaijan yang diduduki Armenia, yaitu di Nagorno-Karabakh, akan menjadi pelanggaran yang sangat nyata terhadap hukum internasional. Oleh sebab itu, rencana itu harus dikutuk dan dibatalkan. Demikian disampaikan salah seorang pemimpin organisasi pemuda Muslim Indonesia.
"Pemilihan umum di wilayah Azerbaijan yang diduduki Armenia (Nagorno-Karabakh) akan mengancam kelangsungan gencatan senjata dan pembicaraan perundingan perdamaian yang memang bergerak sangat lamban," kata Tan Taufiq Lubis, Presiden OIC (Organization of Islamic Conference) Youth Indonesia, dalam sebuah pernyataan baru-baru ini di Jakarta.
"Pemilu (di Nagorno-Karabakh) merupakan sebuah pelanggaran nyata terhadap hukum internasional, termasuk sejumlah resolusi Dewan Keamanan PBB dan Organisasi Keamanan dan Kerja Sama Eropa (OSCE). Wilayah Nagorno-Karabakh adalah teritori Azerbaijan. Pada tahun 1992, Armenia dengan brutal menyerang dan menduduki Nagorno-Karabakh dan tujuh distrik Azerbaijan di sekelilingnya, secara terang-terangan melanggar hukum internasional. Armenia mendirikan rezim boneka dan mendeklarasikan Nagorno-Karabakh sebagai negara merdeka. Tak ada negara di dunia, bahkan Armenia, yang mengakui pemerintahan tak resmi di Nagorno-Karabakh.
Komunitas internasional, termasuk Indonesia, mengutuk keras agresi Armenia. Dewan Keamanan PBB mengeluarkan empat Resolusi 822 (tahun 1993), 853 (1993), 874 (1993), dan 884 (1993), dan meminta Armenia menarik pasukan mereka dari teritori Azerbaijan. Council of Europe, European Parliament, OSCE, dan OIC juga melakukan hal serupa. Indonesia sepenuhnya mendukung integritas teritorial Azerbaijan sebagai negara berpenduduk mayoritas Muslim.
Dalam upaya melegitimasi pendudukan ilegalnya atas wilayah Azerbaijan, rezim boneka yang berkuasa dan tuannya, Armenia, akan mengadakan "pemilu" untuk "badan otonomi" di wilayah-wilayah pendudukan pada tanggal 13 September. Taufiq menantang Armenia dan meminta pemerintah Indonesia untuk mendukung segala upaya mengakhiri pendudukan Armenia atas teritori Azerbaijan.
"Kami mengecam keras tindakan Armenia yang melanggar kedaulatan dan integritas teritorial Azerbaijan dengan mengadakan pemilu ilegal di Nagorno-Karabakh. Kami meminta Pemerintah Indonesia mendorong dan mendukung segala upaya mengakhiri konflik melalui negosiasi," lanjutnya. "Kami menuntut Armenia untuk menarik mundur pasukannya tanpa syarat dari semua teritori Azerbaijan."
Sebelumnya, Ketua DPR RI periode yang lalu, Marzuki Alie, dan beberapa anggota parlemen, organisasi kemasyarakatan, pejabat pemerintah, dan Komnas HAM telah mengecam agresi Armenia dan mengusulkan resolusi damai bagi konflik tersebut. Azerbaijan, negara kaya minyak di Kaukasia Selatan, telah dengan tegas menolak pemilu 13 September ini sebagai suatu tindakan ilegal.
"Pelaksanaan pemilu palsu ini merupakan pelanggaran nyata atas konstitusi Republik Azerbaijan serta norma dan prinsip hukum internasional. Dengan demikian, selayaknya tidak memiliki efek hukum sama sekali," kata Kementerian Luar Negeri Azerbaijan dalam sebuah pernyataan baru-baru ini. Azerbaijan mengajak semua anggota komunitas internasional untuk tidak mengakui pendudukan Armenia atas Nagorno-Karabakh.
"Republik Azerbaijan mengajak semua anggota komunitas internasional, seiring dengan kewajiban masing-masing di bawah hukum internasional, untuk tidak mengakui situasi yang timbul dari pendudukan wilayah Azerbaijan sebagai sesuatu yang sah secara hukum, maupun memberikan bantuan dan dukungan dalam mempertahankan situasi tersebut serta mengambil tindakan efektif untuk mengakhiri keadaan ini," demikian disampaikan Azerbaijan. Merespons ajakan Baku, banyak negara menyatakan bahwa mereka tidak akan mengakui pemilu lokal di Nagorno-Karabakh. Bahkan, organisasi regional kuat Uni Eropa dengan jelas mengatakan tidak akan mengakui pemilu Nagorno-Karabakh.
"Seperti telah dinyatakan sebelumnya, Uni Eropa tidak mengakui kerangka konstitusional dan legal "pemilu" yang diadakan di Nagorno-Karabakh. Prosedur semacam itu tidak dapat menjadi penentu status Nagorno-Karabakh pada masa depan atau memengaruhi proses negosiasi," demikian kata Maja Kocijancic, Juru Bicara European Commission, Badan Eksekutif Uni Eropa, pada situs Trend tanggal 5 September lalu. Negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Jerman dan Inggris juga mengeluarkan pernyataan serupa.
Â