Pagi hari tiba, beban fisik serta pikiran kembali menumbuk pundakku. Ya, setiap hari aku merasa lelah dan letih dengan kehidupan ini. Rutinitas dan aktivitas, ditambah berbagai masalah yang datang dan pergi. Entah, apakah karena aku melakukan kejahatan dengan seseorang, atau aku jahat dengan Yang Kuasa, sehingga diberi 'cobaan' sedemikian rupa. Aneh memang, dan membingungkan.
Akhirnya, aku berjalan setapak demi setapak, menyusuri jalanku menuju tempat kuliahku. Perjalanan jauh mau tidak mau, suka tidak suka, senang tidak senang, harus ku tempuh. Walau hati ini kalang kabut, hancur, dan terbeban, ya harus aku jalani. Fisik ini seakan berteriak tanda tak mampu melanjutkan hidup, namun apa daya, selama masih bernafas, aku harus terus menjalaninya.
Gundah gulana terus menghantuiku sepanjang perjalanan. Menangis seakan tak mungkin, namun menahan tangis juga seakan tak mampu lagi. Aku terus berpikir, mengapa seperti ini. Mengapa aku tidak sebaik mereka. Seberuntung mereka. Tak hanya hari ini, memang hari - hariku setiap hari selalu dipenuhi dengan rasa iri tersebut. Terus digentayangi oleh rasa sedih, marah, namun tak berdaya.Â
Muka cemberut dan bibir yang menggerutu seakan menjadi lifestyle ku. Sudah biasa. Senyum dihadapan teman-temanku pun mungkin adalah dosa besar bagiku, karena semua itu adalah sebuah kebohongan.
Setelah selesai kelas di kampus, aku menyusuri kembali jalan menuju ke rumahku. Aku haus, namun air minumku habis. Akhirnya, aku membeli minum di sebuah kedai kecil di tengah perjalananku. Dan aku duduk sejenak di trotoar, dekat kedai tersebut. Kemudian, aku melihat seorang anak yang lusuh pakaiannya, dan berjalan menenteng karung yang cukup besar, entah apa isinya.Â
Aku juga melihat, ia membongkar tempat sampah yang ada di tepi jalan tersebut. Aku merasa jijik dengan anak itu. Demi, apa pun aku geli melihatnya. Lalu, beberapa saat kemudian ia tersenyum di dekat tempat sampah yang bau tersebut. Aku penasaran apa yang ditemukannya. "Oh, botol plastik doang. Senang amat anak itu, padahal hanya botol bekas...", pikirku sembari menggerutu dan memandang jijik anak itu.Â
Kemudian ....
Anak kecil tadi semakin berjalan menuju kearahku, tidak, dia menyusuri jalan dimana aku sedang duduk. Dan ternyata benar, ia menuju kearahku. Semakin dekat, dan semakin mendekat. "Isssh, apa-apaan anak ini. Kok malah jalan kemari?."Â pikirku lagi. Aku siap-siap pergi, karena ia sudah berjarah 3 meter dari tempat aku duduk. Lalu, anak itu tiba-tiba berkata,"kak, apakah aku boleh minta botol kosong yang kakak pegang?." Aku tersentak, sekaligus kesal. Karena memang selama ini, sepulang kuliah, aku tidak pernah mau, dan tak akan mau diajak berbicara oleh siapapun.
Sekalipun aku berbicara, pasti aku akan bicara dengan nada emosi. Namun, aku bertanya balik kepadanya,"Untuk apa kamu minta botol ini? Tadi kan kamu sudah dapat di tempat sampah disana?." Anak kecil itu kembali menjawab,"Botol bekas ini sangat berharga kak, aku bisa makan dengan botol bekas ini. Karena kalau aku jual botol bekas ini, aku bisa dapat uang, kak.", ia berbicara dengan senyum yang polos.
Saat itu juga, aku benar-benar seperti ditegur oleh Tuhan. Saat itu, air mataku mengalir, aku merasa bersalah, aku merasa diriku ini adalah manusia yang paling bersalah di dunia ini. Anak kecil tersebut, yang awalnya aku merasa  jijik, aku geli melihatnya, ternyata Tuhan pakai dia untuk menasehatkanku secara tidak langsung.Â
Anak kecil tersebut mengajarkanku untuk selalu bersyukur dengan apa pun yang aku dapat. Entah itu kecil, entah itu sederhana, seakan tak berarti. Namun, semua itu ternyata adalah berkat dari Yang Kuasa. Anak kecil tadi, tersenyum ketika menemukan botol bekas. Ia sadar, ia mengerti arti bersyukur. Ia bersyukur bisa mendapatkan botol. Ia bersyukur, menemukan botol yang akan ia jual agar ia bisa makan nanti. Ternyata, senyum anak kecil yang menjijikkan tadi, telah mengubahkan cara pikirku memandang jalan di dunia ini.Â