Mohon tunggu...
Ani928202@gmail.com
Ani928202@gmail.com Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Mahasiswa

Jadilah diri sendiri, karena kesuksesan tergantung dari diri sendiri

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Money Politik Benih Korupsi

16 Juli 2023   14:21 Diperbarui: 16 Juli 2023   14:41 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pencabutan Peraturan Menteri KP 56 Tahun 2016 tentang Larangan Ekspor Benih Lobster dan pengizinan kembali ekspor benih lobster, menjadi sorotan bagi KPK tentang adanya pencucian uang. Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango menjelaskan bahwa awal bulan Oktober 2022, SJT selaku Direktur PT DPPP bertemu dengan SAF di kantor KKP membahas biaya ekspor benih lobster sebesar Rp1.800/ekor melalui forwarder PT ACK. 

PT DPP diduga melakukan transfer dengan total sekitar Rp731 juta ke rekening PT ACK, dugaan berlanjut tidak sebatas PT DPPP yang melakukan transfer ke PT ACK, tetapi juga beberapa perusahan eksportir benih lobster lainnya, dan ditarik oleh dua orang pemegang PT ACK dengan total Rp9,8 miliar (Rahayu, 2020).

Selanjutnya, pada tanggal 5 November 2020, diduga terdapat transfer dari rekening pengurus PT ACK ke rekening AF atau staf istri Menteri Edhy sebesar Rp3,4 miliar, uang tersebut diperuntukan bagi keperluan pribadi Menteri Edhy Prabowo dan istrinya beserta ketua dan wakil ketua tim uji tuntas (SAF dan APM). Selain itu, sekitar bulan Mei 2020, KPK juga telah menduga Edhy Prabowo menerima sejumlah uang sebesar US$ 100.000 dari Pengurus PT ACK melalui SJT. Berangkat dari fenomena-fenomena tersebut, KPK menyimpulkan adanya dugaan tindak pidana korupsi berkaitan dengan penerimaan gratifikasi oleh penyelenggara negara atas pemudahan perizinan pengelolaan usaha perikanan, tambak, dan komoditas perairan lainnya (Pranata, 2021).

Kasus korupsi benih lobster yang dilakukan oleh Edhy Prabowo telah diduga melakukan TPPU dengan berbagai bukti awal yang erat kaitannya dengan pencucian uang. Sejak bulan Juli 2021, ICW telah merekomendasikan agar penyidik KPK untuk menerbitkan surat perintah guna penyelidikan atas dugaan TPPU yang dilakukan oleh Edhy Prabowo beserta para pelaku lainnya. Edhy Prabowo yang telah menyamarkan aset hasil korupsinya dengan menggunakan pihak ketiga sebagai perantara serta meminjam rekening orang ketiga untuk menerima suap sudah jelas dapat dikatakan melakukan pencucian uang (Amirullah, 2021). Namun, sampai persidangan terbaru pada bulan November 2021, Ali Fikri selaku Plt Juru Bicara KPK memberikan pernyataan bahwa pihaknya akan mempelajari mengenai fakta-fakta pasal baru termasuk TPPU setelah vonis Edhy berkekuatan hukum tetap (Aji, 2021).

Terdakwa Edhy Prabowo setelah tidak puas atas hasil banding yang diperberat menjadi sembilan tahun, akhirnya mengajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung. Hal ini semakin memperlambat untuk KPK mendalami dugaan TPPU tersebut, karena mengingat vonis Edhy akan berkekuatan hukum tetap setelah diputuskannya hasil kasasi, ditambah KPK harus disibukan untuk menyiapkan kontra memori kasasi untuk membantah dalil-dalil yang diajukan oleh Edhy Prabowo (Ramadhan, 2021).

C. PENUTUPAN

TPPU masih menjadi tantangan bagi instansi negara dalam mewujudkan cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia. Serupa dengan semangat kolektivitas masyarakat, sistem dalam menginvestigasi kasus TPPU harus lebih efektif dan tidak tumpang tindih. Melalui sistem yang terintegrasi antar lembaga (KPK, PPATK, Kejaksaan Agung, Kepolisian RI, BIN) maka bukan tidak mungkin interpretasi yang berlebihan dan kabur bisa diminimalisir. 

Hal ini juga menjadi modal bagi Indonesia untuk memiliki karakter tersendiri dalam memberantas TPPU dan Tipikor lainnya. Penelitian ini menunjukkan bahwa kondisi pemberantasan TPPU di Indonesia masih stagnan pada kondisi yang masih belum diketahui ujungnya. Bila melihat political will dari masing-masing aktor lembaga investigator, maka sukar untuk merasa optimis dengan pemberantasan TPPU saat ini.

Selain itu, budaya politik dari masing-masing agen pejabat maupun stakeholders menjadi pusat perubahan yang riil. Orientasi untuk merubah sistem TPPU seharusnya menjadi langkah perbaikan teknis dari mekanisme investigasi, tetapi yang terlihat saat ini kesannya terdapat perilaku dan budaya politik yang masih menjadi batu sandungan dalam memberantas TPPU. 

Hal semacam ini harus dijadikan pertimbangan bagi pihak terkait agar sistem apapun menjadi efektif dalam pelaksanaannya. Keefektifan tersebut dapat berimbas bagaimana akhirnya negara menyikapi banyak kasus di masyarakat dari berbagai aspek kehidupan termasuk perkara kehutanan dan lingkungan hidup sehingga dapat memberi output jasa pelayanan yang baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun