Mohon tunggu...
Clara Anita
Clara Anita Mohon Tunggu... pegawai negeri -

justanordinaryperson

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bermain Hujan

22 Oktober 2011   07:22 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:38 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berhari-hari sudah mentari terasa bak bara  memanggang bumi, menjadikannya kering untuk kemudian mengambil rupa debu yang lincah menari bersama angin. Layaknya seorang prajurit menuju medan laga, demikianlah saya menantang terik musim kemarau bersenjatakan payung yang tergenggam di tangan kanan, dan beberapa helai tisu di tangan kiri. Peluh mulai luruh tak terbendung dan udara di paru-paru sudah jenuh dengan aroma debu yang demikian kental. Begitupun, perjalanan hari ini masih layak diperjuangkan demi menyelaraskan diri dengan putaran bumi. Maka, setelah sejenak melirik ke atas untuk sekedar menyalami sang surya, langkah kembali saya ayunkan.

Tak banyak yang dapat dituliskan tentang pekerjaan hari ini. Rutin seperti biasa, ditambah sejumput usaha memberikan hati pada apa yang diperbuat oleh kedua tangan ini. Begitupun, ketika akhirnya jam kerja berlalu dan saya berhasil menaklukkan panas yang benar-benar menguras tenaga, hela nafas lega itu pun terdengar. Saatnya pulang dan mengumpulkan tenaga untuk perjuangan esok hari.

Seperti biasa, saya menanti adik menjemput di tempat biasa -- di bawah tiang lampu depan pertokoan baru pusat kota. Adik dan saya selalu menganggap bawah tiang lampu itu tempat yang 'romantis' untuk menunggu -- seperti yang disajikan dalam adegan di film-film Bollywood.

Matahari sekarang sudah serupa bola jingga yang perlahan menghilang di ufuk barat. Saya terpaku menatap cakrawala. Larut di dalam semburat senja yang selalu saja membuat saya jatuh hati pada kehidupan tiap kali ia hadir. Bersamaan dengan deru sepeda motor yang suaranya begitu akrab di telinga, setitik air jatuh di atas punggung tangan saya yang saya sambut dengan menatap ke langit senja yang jingga campur kelabu itu.

"Hujan.....," pekik saya kegirangan sementara si adik cengengesan melihat ulah kakaknya.

Tak perlu waktu lama buat kami untuk bersepakat menembus hujan. Kami berdua memang sangat mencintai hujan yang menyeruakkan bau tanah basah dan mengusir gerah itu. Hujan sore itu dalam sekejap mampu mentransformasi kami menjadi sepasang anak kecil yang bermain air tanpa dosa. Kami bukan tidak sadar lusinan pasang mata memandang heran kami yang nekat menerjang derai hujan, tapi kami begitu mencintai hujan. Kami bukan tidak peduli pada sekujur tubuh yang basah kuyup, tapi kami begitu mencintai hujan. Kami bukan kebas pada dingin yang menghantam, tapi kami begitu mencintai hujan.   

Perlahan saya menengadahkan tangan, mencoba menangkap rinai itu dengan telapak saya. Hujan sore itu yang datang tanpa diduga memang bukan untuk dihindari, ataupun dikutuki. Saya yakin, Tuhan mengirimkan derai rinai itu untuk disyukuri dan dinikmati. Sederas apa pun hujan itu, saat kita diijinkan terjebak di dalamnya, Sang Pemberi Hujan pasti memberi kita kekuatan untuk melaluinya. Bahkan kadang, Ia memberi hujan itu agar kita sadar seberapa kuat kita sebenarnya ......

Then, I will dance like the rain falling on the roof .....
saya akan menari bak tetes hujan yang jatuh berdenting di atap .....

tik... tik ... tik ....

Selamat bermain hujan,

^^

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun