Mohon tunggu...
Anita Tsani Fauzi
Anita Tsani Fauzi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa jurusan Ilmu Hubungan Internasional/Universitas Airlangga

Mahasiswa biasa asal Jurusan HI Universitas Airlangga.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Implikasi Britain Exit (Brexit) terhadap Stabilitas Politik Uni Eropa

31 Mei 2023   18:10 Diperbarui: 31 Mei 2023   18:09 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Global Counsel, 2015.

Sekilas mengenai Britain Exit

Uni Eropa (UE) merupakan organisasi regional yang bisa dikatakan paling sukses di antara organisasi regional lainnya (Pratiwi 2023). Menurut laman resmi UE, meski baru resmi berdiri sejak 1993, tetapi organisasi regional ini telah memiliki sejarah yang panjang. Organisasi ini merupakan merger dari European Economic Community, Euratom, dan European Coal and Steel Community (El-Agraa 2011). 

Britania Raya secara sah bergabung dengan UE melalui penetapan referendum tahun 1975. Venkatesha (2016) beranggapan bahwa kontribusi awal Britania Raya yang terhitung masif adalah dengan kritik-kritik tajam Margaret Thatcher —Perdana Menteri Inggris saat itu— terhadap birokrasi UE yang carut-marut. Kritik itu kemudian ditanggapi UE dengan dikeluarkannya Single European Act (SEA) 1986. 

Kesepakatan SEA memberikan kontribusi besar pada integrasi politik dan ekonomi Eropa. Hal tersebut menggambarkan relasi yang baik antara UE dan Britania Raya sebelum terjadinya disintegrasi di antara keduanya.

Akan tetapi, pada tahun 2016, mayoritas pemilih Britania raya yang berpartisipasi dalam voting memilih untuk meninggalkan UE. Keputusan ekstrem ini dilatarbelakangi oleh lima hal, yaitu hilangnya benefit keanggotaan UE bagi Britania Raya, kegagalan Britania Raya untuk pulih total dari resesi ekonomi 2008, kesalahan penanganan isu imigran arab spring, euro-skeptisisme, dan dualitas yang saling melengkapi dari kampanye pendukung Brexit. Hasil voting tersebut lantas disahkan pada tahun 2017 dengan menggunakan Artikel 50 Perjanjian Uni Eropa sebagai dasar ratifikasinya. 

Akhirnya, pada tanggal 31 Januari 2020, Britania Raya benar-benar meninggalkan UE. Peristiwa inilah yang lantas disebut sebagai Brexit. Secara keseluruhan, ada tiga dampak Brexit terhadap stabilitas politik UE. Pertama, hilangnya aset soft dan hard power. Kedua, bergesernya ekuilibrium sekaligus ideologi ke arah kubu proteksionis di Dewan UE. Ketiga, perubahan distribusi kursi parlemen UE dan perombakan kursi Komite UE.

 

Berikut ini terlampir hasil akhir voting masyarakat Britania yang berakibat pada Brexit:

Sumber: Lort Ashcroft, 2016. 
Sumber: Lort Ashcroft, 2016. 

Sumber: Lamis, B. & Besma, B., 2021. 
Sumber: Lamis, B. & Besma, B., 2021. 

Implikasi Brexit terhadap Stabilitas Uni Eropa

Bye-bye Britania, bye-bye sokongan power 

Sumber: Global Counsel, 2015.
Sumber: Global Counsel, 2015.

Dari data di atas, Britania merupakan negara yang memiliki kendali besar atas kedua sumber power dan sangat berpengaruh di UE. Sumber utama soft power adalah budaya, nilai-nilai politik, dan diplomasi. Britania secara konsisten mendapat peringkat tinggi dalam survei internasional tentang soft power dan ini merupakan sumber pengaruh bagi UE. Britania memiliki kemampuan intelijen yang signifikan, soft power, dan jaringan diplomatik yang memiliki jangkauan luas. 

Britania juga berfungsi sebagai jembatan Amerika Serikat dan UE. UE kemungkinan besar mendapat manfaat dari posisi Britania di lembaga internasional, termasuk G8 (koalisi delapan negara dianggap termaju secara ekonomi di dunia), G20 (kelompok sembilan belas negara dan satu organisasi supranasional yang memiliki perekonomian besar di dunia), International Monetary Fund (IMF), Bank Dunia, Organization for Economic and Cooperation Development (OECD), International Agency Energy (IEA), Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). 

Selain itu, Britania juga memiliki aset hard power—militer, keuangan dan kebijakan luar negeri—yang menjadi sumber tambahan pengaruh bagi UE. Britania adalah pembelanja militer terbesar kelima dan sumber pendanaan pembangunan terbesar kedua di dunia. Tanpa Inggris, kebijakan luar negeri UE akan memiliki pengaruh yang kurang efektif.



Dari Liberal ke Proteksionis

Sumber: Global Counsel, 2015. 
Sumber: Global Counsel, 2015. 

Secara keseluruhan, ada dua blok di dalam UE, yaitu blok proteksionis (sebagian besar negara-negara bagian selatan) dan blok liberal (sebagian besar negara-negara di bagian utara). Keluarnya Britania akan melemahkan blok liberal sebab Britania sudah lama menjadi pendukung besar dari liberalisasi ekonomi Eropa. 

Pasca Brexit, keseimbangan di Dewan UE tentang debat kebijakan ekonomi akan bergeser, dengan hilangnya negara anggota besar yang mendukung liberalisasi. Jerman, khususnya, akan merasa lebih sulit untuk mengumpulkan minoritas. Jerman akan menjadi lebih terekspos secara politik karena merasa memegang posisi pemimpin setelah keluarnya Britania untuk menekan pihak oposisi (proteksionis). 

Suara gabungan Jerman ditambah sepuluh negara paling liberal dengan sendirinya tidak akan cukup untuk mencapai 35% suara yang diperlukan seperti yang terjadi saat Britania masih di UE. 



Perombakan Kursi Besar-besaran

Sumber: European Parliament, 2020. 
Sumber: European Parliament, 2020. 

Sebelum Brexit, Parlemen Eropa hanya akan mengizinkan anggota untuk menduduki 705 kursi dari 751 kursi (maksimum yang diizinkan berdasarkan perjanjian UE). Dari 73 kursi Inggris, 27 telah didistribusikan kembali ke negara lain, sedangkan 46 sisanya akan disimpan sebagai cadangan untuk kemungkinan perluasan keanggotaan UE di masa mendatang. 

Redistribusi kursi ini dipastikan bahwa tidak ada negara UE yang kehilangan kursi, sementara beberapa mendapatkan dari satu hingga lima kursi untuk mengatasi kurangnya perwakilan setelah perubahan demografis. Redistribusi yang dilakukan menerapkan prinsip proporsionalitas degresif, maksudnya, negara yang lebih kecil memiliki Member of the European Union Parliament (MEP) yang lebih sedikit daripada negara yang lebih besar sebab MEP dari negara lebih besar mewakili lebih banyak orang daripada negara yang lebih kecil.

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun