Mohon tunggu...
Anita Takeko Futaa
Anita Takeko Futaa Mohon Tunggu... -

pengumpul catatan usang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rusak

31 Juli 2014   13:19 Diperbarui: 18 Juni 2015   04:47 10
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Wajahnya masam. Hatinya meletup-letup. Pikirannya penuh. Tumpah. Ia simpan semuanya di sana. Padahal sudah jelas-jelas tidak muat. Ia masih terus memaksanya, menyelip-nyelipkannya sampai ke pojok ubun-ubun. Tubuhnya kering kerontang terpanggang pikirannya sendiri. Rambutnya kusut. Laba-laba sudah tidak mau bersarang di kepalanya.

Setiap hari kerjanya hanya memaki-maki. Menyalahkan orang lain, sekali dua kali menyalahkan diri sendiri.

“Ini semua gara-gara kamu. Kalau kamu tidak menyarankanku membeli kemeja yang mahal itu, pasti uangku cukup untuk membelikan kue ulang tahun buat Ardi. Ardi pasti suka. Seharusnya aku ingat Ardi lebih suka kue ketimbang kemeja mahal itu.

Kalau dia mendapat apa yang dia suka, lalu terkesan dengan pemberian itu, sudah pasti aku dan Ardi masih langgeng sampai sekarang.

Tambah lagi, kalau kau tidak mengarang teori murahan itu, mengatakan bahwa lelaki yang jarang mengajak kekasihnya berkencan itu sudah jelas-jelas pelit. Dan Ardi harus mendengar teori abal-abal itu dari mulutku. Padahal itu idemu”

Ia terus memaki-maki. Teriak-teriak seperti orang kesurupan. Cara berbicara berbagai macam setan sudah ia peragakan.

“Kalau aku tidak putus, tidak sakit sampai berminggu-minggu, pasti aku masih bisa bekerja di tempat kerja waktu itu.

Bisa jadi aku sudah naik jabatan,

Bisa jadi hidupku tidak semiskin sekarang.

Sekarang kau mau bersenang-senang? Memamerkan pekerjaan barumu? Kantor barumu? Barang-barang yang kau beli hasil gajimu di tempat kerja yang baru itu?

Sepatu baru. Kau sempat memintaku untuk mengantarkanmu membeli sepatu baru? Sepatu mahal yang didapat setelah mengunjungi sedikitnya lima mall di Jakarta?

Tas baru yang cara mendapatkannya harus berdesak-desakan karena jarang-jarang barang ber-merk diberikan discount habis-habisan. Begitu pikirmu, kan?

Aku harus menyaksikanmu berlenggak-lenggok memakai semua itu?”

Umpatan demi umpatan semakin berdesak-desakan. Mereka berantrean menunggu giliran untuk dikeluarkan.

“Kau juga. Aku mohon berhentilah memamerkan kebahagiaanmu.

Kau mau orang lain memandangmu seperti apa? Orang yang memiliki segalanya?

Bukan apa-apa, aku muak melihat barang-barang yang kau pajang di setiap akun sosial media milikmu. Sayangnya, kita sudah terlanjur berteman.

Sekarang lihat? Handphone-ku rusak. Memang aku yang membantingnya. Tapi kamulah satu-satunya alasan mengapa handphone itu terlempar.

Sekarang kau mati-matian menghubungi. Menanyakan apa yang terjadi. Semua sudah rusak.”

Sepertinya bibit-bibit kebencian sudah menyebar luas di dalam tubuhnya.  Mengakar di setiap urat nadinya. Entah siapa yang menyiramnya, akarnya semakin hari semakin kuat, cabangnya semakin banyak. Lebat.

Sudah tak ada satupun teman. Tak ada orang yang ingin ia temui. Atau memang tak ada yang ingin bertemu dengannya.

Ia merasa semuanya berbuat salah kepadanya. Ia merasa tak ada satupun yang mengerti dirinya. Termasuk orang yang terpantul di balik cermin retak yang menempel di pojok dinding kamarnya. Ialah orang yang ia maki-maki setiap hari. Orang yang sebentar-sebentar ia salahkan. Sambil sesekali ia tangisi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun