Tulisan ini aku buat dalam keadaan bosan. Dengan eksperimen hidup yang terus-menerus aku lakukan, setidaknya aku merasakan manfaat dari hal yang seringkali dibenci orang. Kebosanan.
Ketika merasa bosan, pikiran luntang lantung ke masa lalu. Kaki berjalan kedepan, belakang. Rumah mungil pun seolah dijelajahi. Sesekali, aku keluar melintasi aspal untuk menghirup udara yang diharapkan segar. Sayangnya, hawa masih terjebak prahara. Partikel polusi pun terasa menyayat rongga.
Bersyukur, Sang Hyang menurunkan hujan di sore hari. Mungkin Ia mendengar umatnya yang tak seberapa ini. Aku pun larut dalam tidur sore. Ketika terbangun, aku lantunkan lagu dengan gitar. Bosan pun berkurang.
Ketika matahari terlelap, kakiku kemudian merayap ke pagar. Begitu sunyi di depan. Tetangga yang sering kuhampiri sedang ke Jawa. Aku pun mengirimkan pesan kepada Ibu dua anak itu, "Sepi sekali ndak ada ni emi!".
Sambil kutengok suasana malam, semilir bau tanah sisa hujan masih tercium harum. Polusi di tengah jalan saat menjajaki aspal, terbayar.
Memang tidak mudah menyeimbangkan energi berlawanan ini. Tapi, tak ada yang mustahil jika akal tetap diajak berkelana. Saat ini, sembari menulis, aku nyalakan musik piano dan gamelan. Kopi liang hasil pemberian teman, turut mewarnai kebosanan yang kian memudar. Ternyata, bisa juga menjadi sebuah tulisan. Bagiku, ini adalah sebuah kenikmatan. Nikmat yang sederhana. Terima kasih bosan!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H