Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah lembaga negara yang bertanggung jawab untuk menjaga keamanan dan ketertiban negara, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat demi menjaga keamanan. Dalam Pasal 2 UU No. 2 Tahun 2002, menyebutkan bahwa "Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat". Adapun  Tujuannya yaitu tertuang didalam pasal 4 yang berbunyi "Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia"
      Selaras dengan yang termuat pada Pasal 19 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, bahwasanya dalam menjalankan  tugas serta wewenangnya, pejabat kepolisian selalu bertindak dengan berpedoman sesuai dengan norma hukum, serta memperhatikan norma agama, kesopanan, dan kesusilaan, serta menghormati hak asasi manusia. Kepolisian memiliki wewenang yang telah diatur dalam UU untuk melaksanakan tugasnya, dan wewenang tersebut harus dilaksanakan dengan bijaksana dan sesuai dengan standar protokol dan kode etik yang berlaku. Meskipun telah diatur didalam perundang-undangan, namun, masih terdapat penyimpangan yang dilakukan oleh anggota kepolisian dalam melaksanakan tugasnya.
      Adapun kode etik Kepolisian yang telah di atur didalam Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 7 Tahun 2022 Tentang Kode Etik Profesi Dan Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dan di dalam Pasal 1 ayat (1) nya menyebutkan bahwa "Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia yang selanjutnya disingkat KEPP adalah norma atau aturan moral baik tertulis maupun tidak tertulis yang  menjadi pedoman sikap, perilaku dan perbuatan pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas, wewenang, tanggung jawab serta kehidupan sehari-hari".
      Meskipun telah adanya peraturan mengenai kode etik profesi kepolisian tersebut, namun masih saja terdapat oknum-oknum anggota kepolisian yang tindakannya telah melanggar kode etik kepolisian dan juga menimbulkan akibat hukum berupa tindak pidana. Adapun Sapaan "halo dek" yang kerap ditujukan kepada perempuan oleh oknum anggota kepolisian telah menjadi perbincangan hangat di masyarakat, dan juga seragam kepolisian ini seringkali diidentikkan dengan kekuasaan dan juga otoritas, sehingga oknum-oknum tertentu dapat memanfaatkan citra ini untuk menarik perhatian dan juga mendapatkan keuntungan pribadi.
      Seperti halnya seperti kasus yang terjadi di Balikpapan, Kalimantan Timur yang melibatkan seorang oknum polisi, Bripda berinisial MW (21) dan kekasihnya berinisial NA (19). Kasus tersebut sempat tersebar luas di media sosial. Korban mengaku telah mendapatkan kekerasan dari kekasihnya yang merupakan seorang anggota Kepolisian di Polda Kalimantan Timur, yang mana kekerasan yang dilakukan tersebut sudah berlangsung selama 2 tahun. Kekerasan yang pertama kali terjadi saat pelaku telah menyelesaikan pendidikan kepolisiannya, saat itu pelaku merusak handphone korban dan juga disertai dengan ancaman verbal yang membuat korban tertekan secara psikologis. Tidak sampai situ saja, kekerasan fisik pun berlanjut saat korban sedang berada di rumah pelaku dan kondisi rumahnya pada saat itu dalam keadaan sepi, kemudian pelaku mengunci seluruh pintu yang ada. Korban menerangkan bahwasanya dirinya pernah di dorong ke dinding dan sofa, handphonenya dihancurkan, dan saat situasi korban dapat melarikan diri, ia meminta temannya untuk memesankannya ojek online. Saat melarikan diri dengan menggunakan ojek online, pelaku mengejar korban dengan menggunakan mobil dan juga menyerempet hingga kaca spion mobil pelaku mengenai bahu korban. Masih terus berlanjut, korban pun menerangkan bahwa ia mendapatkan ancaman pembunuhan dari pelaku, bahkan teman korban yang hanya sekedar mengagumi korban pun turut diancam akan ditikam. Puncak kekerasan terjadi pada saat pelaku mengancam korban dengan menggunakan sebuah pisau yang ada dirumahnya, pelaku pun seringkali mengunci korban didalam rumah, mengambil handphone milik korban serta mengancam korban dengan kekerasan apabila korban tidak menuruti  pelaku. Dengan segala bentuk kekerasan yang dilakukan oleh pelaku tersebut, korban pun melaporkan hal itu pada bulan Maret 2024, namun kasus tidak dilanjutkan karena keluarga kedua belah pihak membuat kesepakatan damai . Lalu pada bulan Juni 2024, kekerasan pun kembali terjadi, pelaku membenturkan kepala korban dan memukul korban didalam mobil hingga menyebabkan luka memar di paha korban.  Akibat kekerasan tersebut kembali terjadi, korban pun memutuskan untuk melaporkan kembali pelaku, namun sayangnya pihak kepolisian tidak memberikan tanggapan yang memadai. Karena tidak adanya tanggapan tersebut, membuat korban merasa tidak mendapatkan kepastian hukum, maka dari itu korban memutuskan untuk memviralkan peristiwa tersebut yang berupa video di platform media sosial yaitu TikTok. Setelah 3 hari unggahan video tersebut viral pihak kepolisian pun akhirnya menghubungi korban untuk menjalani proses Berita Acara Pemeriksaan (BAP).
      Tindakan yang dilakukan oleh oknum polisi, Bripda berinisial MW (21) tersebut telah melanggar kode etik profesi kepolisian, yaitu mengenai etika kepribadian yang termuat pada Pasal 13 huruf m, yaitu larangan "melakukan tindakan kekerasan, berperilaku kasar dan tidak patut". Tidak hanya hanya itu, tindakan pelaku tersebut juga termasuk kedalam tindak pidana karena telah melakukan penganiayaan  dan juga ancaman pembunuhan. Dan didalam pasal Pasal 107 Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 7 Tahun 2022 Tentang Kode Etik Profesi Dan Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang berbunyi "Pejabat Polri yang melakukan Pelanggaran KEPP dikenakan sanksi berupa sanksi etika dan/atau sanksi administratif".
      Tindakan berupa penganiayaan dan ancaman pembunuhan yang dilakukan oleh anggota kepolisian sangat merugikan korban secara fisik maupun psikologis, tidak hanya itu saja tetapi juga dapat menghilangkan kepercayaan masyarakat terhadap kepolisian sebagai pelindung dan pengayom, serta merusak citra positif institusi kepolisian dimata masyarakat, yang mana seharusnya institusi kepolisian menjunjung tinggi hukum dan keadilan.  Adapun upaya pencegahan yang sekiranya dapat dilakukan yaitu dengan pemberian pendidikan dan juga pelatihan yang komprehensif mengenai etika profesi, melakukan pengawasan yang ketat terhadap kinerja anggota kepolisian, baik melalui internal maupun eksternal serta memberikan sanksi yang sangat tegas dan proporsional kepada anggota kepolisian yang terbukti secara resmi telah melanggar kode etik profesi dan juga melanggar hukum.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H