Mata Cantik Jelita
Dahlia masih menatap tajam pada Raja, suaminya. Sore itu mereka bertengkar hebat. Di balik pintu kamar, Jelita hanya berani mengintip ketakutan. Jelita menangis tertahan, mukanya merah dan air matanya mengalir deras. Semakin erat pula ia memeluk boneka kelinci besar kesayangan pemberian ayahnya.
Tuhan kenapa ayah bundaku selalu bertengkar? Jelita membatin dalam hati. Dia gadis kecil yang cantik. Usianya memang baru 8 tahun tapi dia terlihat tegar menghadapi situasi dirumahnya.
“Sudah berapa kali aku bilang padamu, tidak usah kamu menyusulku di tempat kerja!!!” Suara Ayahnya sangat melengking, memenuhi seluruh rumah yang berukuran tidak besar itu.
“Kenapa mas? Kau takut karena ketahuan nyeleweng kan?? Dasar laki-laki penipu kau!!!” Kali ini Dahlia, Ibunda Jelita yang kembali membalas perkataan suaminya.
Braaaaakkkk….Bunyi gebrakan meja sang Ayah mengagetkan Jelita. Ia bangkit dari lantai kamar tidur dan meraba-raba pintu kamar. Dengan tongkat sebagai penunjuk jalan, Jelita melangkah memberanikan diri membuka lebar pintu kamarnya.
“Ayah…Bunda…” Jelita tak sanggup melanjutkan kalimat, air matanya sudah mendahului turun membasahi hampir seluruh wajah kecilnya.
Hening, dan terdengar suara langkah kaki sang ayah yang pergi menjauh. Jelita merasakan tubuhnya dipeluk sangat erat oleh bundanya. Jelita bisa merasakan air mata sang bunda membasahi pundak kecilnya.
***
Pagi ini seperti biasanya Dahlia mengantarkan Jelita berangkat ke sekolah. Meski jarak rumah dan sekolah tidaklah jauh, tapi sangat berbahaya bagi Jelita untuk berangkat sendiri. Kecelakaan motor beberapa tahun yang lalu telah membuat mata Jelita buta total. Ia tak bisa melihat warna warni dunianya lagi. Setiap hari hanya ada kegelapan saat membuka dan menutup mata.
Seiring berjalannya hari, Jelita bisa menerima keadaanya. Walau sebenarnya Dahlia sangat berat menerima kenyataan anak satu-satunya buta. Tapi Jelita tetaplah anak-anak, dia gadis kecil cantik yang periang dan pintar.
Buukkk… Buku yang dibawa anak perempuan itu berjatuhan. “Maaf, saya tidak sengaja.” Mulut Jelita bergetar saat meminta maaf pada teman yang tak sengaja ditabraknya di halaman sekolah.
“Gimana sih kamu, jalan aja nggak bisa! Makanya orang buta jangan sekolah disini!!!” Seketika Jelita terdiam mendengar perkataan teman sebayanya. Matanya mulai tergenang. Tak terbendung dan jatuh membasahi pipi.
Entah sudah berapa kali teman-teman mengolok-olok Jelita. Jelita terbiasa dengan keadaan itu, tapi kini ia sedang sangat rapuh. Pertengkaran orang tuanya semalam masih tertanam jelas di benaknya. Suara tinggi ayahnya masih terdengar melengking di telinga. Tangis bundanya masih terasa basah di pundaknya.
Dengan mengarahkan tongkat, Jelita berjalan cepat meninggalkan gerbang sekolah. Jelita memilih pulang, setidaknya dirumah ia lebih aman. Ia tidak tahan jika harus bertahan seharian dengan perlakuan teman-teman.
“Lihat sekarang, anak itu hanya bikin malu!!! Lihat kan, kita semua kerepotan mengurusnya.” Jelita menghentikan langkah kaki di teras rumah. Cacian ayahnya terdengar jelas di telinga Jelita. Terdiam membisu, perkataan sang ayah sangat meremukkan hati Jelita. Tak disangka ayah yang disayangi dan dicintainya selama akan berkata setega itu.
“Cukup mas, dia itu anak kita, kenapa kau tega berkata seperti itu!!!”
“Dia bukan anak kandung kita. Aku tidak punya anak buta seperti dia!!!”
Waktu terasa berhenti saat telinga Jelita mendengar dengan sangat jelas teriakan sang ayah. Apakah itu benar? Apakah aku bukan anak kandung ayah dan bunda? Ya Tuhan….Jelita menangis sejadi-jadinya, kali ini ia tak bisa menahan tangis seperti yang biasa dilakukan ketika mendengar ayah bundanya bertengkar.
Bundanya menyadari keberadaan Jelita di teras rumah. Berlari sang bunda menghampiri Jelita. Gadis kecil itu seperti terpaku. Kakinya tak bisa digerakkan. Air matanya tak henti-hentinya mengalir. Sejenak waktu terasa seperti berputar kembali jauh sebelum kejadian saat ini.
***
Suara tangis Jelita kecil yang baru berumur 1,5 tahun terdengar hampir di seluruh lorong panti asuhan dengan bangunan ber-arsitektur belanda. Seakan tak mau meninggalkan panti asuhan dan berpisah dengan teman-teman serta pengasuh disana. Jelita diangkat sebagai anak oleh Dahlia dan Raja, sepasang suami istri yang telah menikah selama 7 tahun menikah tapi belum dikaruniai anak, hingga mereka memutuskan untuk memilih Jelita sebagai anak angkat.
“Jangan menangis sayang, lihatlah kedua matamu sangat indah Jelita. Bulu matamu sangat lentik. Bibirmu mungil. Kamu sangat cantik sayang, ayo ikut bunda dan ayah ke rumah ya sayang.” Dahlia tersenyum, tangannya membelai rambut Jelita. Kemudian Dahlia memberikan hadiah kotak warna pink berisi boneka Barbie. Jelita meraih hadiah tersebut dan tersenyum sambil tangannya sibuk membuka kotak hadiah dari orang tua barunya.
Jelita bahagia dengan kehidupan barunya. Orang tua barunya sangat menyayangi dan memperhatikan semua kebutuhan Jelita. Jelita kecil tumbuh menjadi anak yang periang dan mempunyai banyak teman. Bahagia, kata itulah yang tepat untuk menggambarkan dirinya saat itu, jauh sebelum Jelita mengalami kecelakaan yang membuat kedua matanya buta.
***
Tatapan mata jelita menerawang jauh ke luar jendela kamarnya. Dapat dirasakannya tiap hembusan angin yang membelai kecil wajahnya. Air matanya masih setia menetes. Mengingat semua kejadian yang ia lalui. Badan kecilnya bergetar tiap ia menangis. Tak ada siapapun yang meneduhkan hatinya.
Suara pintu yang terbuka membuyarkan lamunan Jelita. Ia mengenali langkah kaki sang bunda yang masuk ke kamar. Dengan buru-buru ia mengusap air mata, mencoba menyembunyikan bekas air mata yang sedari tadi membanjiri wajah.
Dengan lembut tangan Dahlia membelai rambut Jelita. Jelita bisa merasakan bundanya itu meneteskan air mata. Dikecupnya Jelita kemudian dipeluknya dengan erat. Jelita kembali merasakan air mata sang bunda menetes di pundak mungilnya.
“Jelita tetaplah anak bunda. Bunda sangat menyayangimu nak.” Dahlia makin mempererat pelukannya pada gadis kecilnya itu. Walau buta tapi Jelita bisa merasakan sekarang ibundanya menatap matanya dengan sayu.
“Jangan menangis sayang, bunda tidak bisa melihat mata cantik itu. Tersenyumlah sayang, bunda ingin melihat mata cantik jelita seperti yang dulu.”
Jelita mengembangkan senyum di bibir mungilnya. Ia bersyukur memiliki bunda sebaik bunda Dahlia. Ia tak lagi sendirian dikamarnya. Terasa sangat nyaman dan hangat belaian tangan sang bunda hingga membuatnya terlelap dalam mimpi indah semasa kecilnya dulu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H