Sejak pulang dari mendaki hubungan kita menjadi semakin intens. Entahlah, baru kali ini aku benar-benar merasa aku membutuhkan kehadiran seseorang. Aku juga tidak paham dengan perasaanku padamu. Yang pasti aku merasa nyaman bersamamu. Ada hal yang membuatku merasa sebagai manusia karena bisa tertawa lepas, bisa bercanda puas dan menikmati kesederhanaan tanpa perlu menjawab banyak pertanyaan.
Menjalani hari-hari bersamamu benar-benar membuat aku merasa melambung. Bagaimana tidak, aku yang biasa tampil tomboy, terbiasa mandiri dan selalu merasa diri bisa melakukan apa saja sendiri, sejak bertemu denganmu lebih sering dilayani, diperhatikan dan juga diistimewakan. Dirimu seakan hanya memberikan seluruh perhatian untukku. Dan itu tak pernah aku dapatkan dari sosok laki-laki selain dirimu. Awalnya aku merasa aneh dan lucu, tetapi akhirnya terbiasa dan merasa kehilangan bila dirimu tak menyapaku.
Entah apa yang ada dibenakmu saat itu. Aku bukan perempuan cantik yang menarik menurutku. Penampilanku yang apa adanya dan kadang semaunya, tak pernah menuai protes darimu. Dirimu hampir tak pernah memintaku harus berpenampilan seperti maumu. Semua yang ada padaku, kamu terima tanpa syarat. Aku benar-benar takjub. Aku diberi kebebasan untuk tetap menjadi diriku sendiri yang aku suka tak perlu berpura-pura manis. Kita bahkan bisa saling mengolok dan menertawakan satu sama lain tanpa sakit hati. Itu yang membuat aku senang ada didekatmu.
Jika sebelumnya aku pernah merasa tertarik dengan teman laki-laki di kampung halamanku dan tidak berbalas, kali ini aku justru merasa diri yang diperhatikan dan diinginkan. Hal ini pula yang membuat aku merasa melambung ke langit. Gaya bicara yang lugas, lucu dan kadang konyol seakan menjadi hiburan tersendiri bagi diriku, yang sepanjang hidup berkutat dengan buku, lomba dan dituntut untuk jadi juara. Kemerdekaan untuk tertawa dan merasa bahagia menjadikan aku semakin terbius denganmu.
Perasaan melambung yang sangat tinggi ini ternyata membuat diriku menjadi linglung. Aku justru kehilangan diriku yang lain yang selama ini memegang erat prinsip untuk tetap ada di rel yang benar. Aku tidak menyadari bahwa perasaan melambung ini membuat diriku lupa daratan. Aku yang biasanya berpikir panjang sebelum mengambil langkah, jadi hilang arah. Aku jadi mudah mengikuti saranmu. Apa saja "iya", tanpa pertimbangan lagi.
Kebebasan dan kemerdekaan yang pernah aku impikan justru jadi boomerang bagi diriku sendiri. Aku semakin jauh dari keluarga, teman bahkan dengan Allah. Aku tidak menyadari hal ini sampai pada satu waktu tertentu ditegur keras oleh Bapak dan Ibu. Sayangnya teguran itu seperti masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri.
Aku seakan sudah berubah tak mengenali lagi diriku yang dulu, yang patuh dengan nasehat orang tua, aku yang selalu mengikuti saran dari keluarga , tiba-tiba tak ada lagi. Aku kehilangan diriku sendiri. Aku seperti orang yang tersesat dan kesulitan menemukan jalan pulang. Sedangkan dirimu, seakan bergembira dengan keadaanku. Aku baru tahu jika aku sudah termakan bujuk rayumu yang luar biasa melenakanku, meski tidak dalam wujud kata-kata yang indah. Disini aku benar-benar seperti orang linglung, hingga tragedi itu akhirnya terjadi, aku hamil.
Kehamilan yang tidak kita inginkan, tetapi juga aku harapkan. Aku sudah tidak dapat berpikir lagi dengan cara apa aku mengakhiri semua kegelisahanku, rasa bersalah pada kedua orang tuaku dan juga rasa malu.
Tetapi aku memilih untuk tetap mempertahankan janin itu meski dirimu memberi opsi untuk aborsi. Aku sengaja memuntahkan pil yang kamu berikan sebagai bentuk upayamu untuk mengatasi masalah. Aku mulai sadar, ada perbedaan dalam diri kita saat menyikapi suatu permasalahan. Aku tetap bertahan dengan pilihanku, meski saat itu dirimu masih ragu untuk bertanggung jawab dan menikahiku.
Aku seakan mendapatkan kekuatan untuk menemukan bagian diriku yang hilang karena melambung oleh rayuan. Aku mulai memahami bagaimana dirimu yang sebenarnya. Ketakutan tak beralasan yang kamu sampaikan dan juga keinginanmu untuk lari dari tanggung jawab. Aku bahkan baru menangkap semua itu disaat situasi sudah tidak memungkinkan untuk kembali "Aku belum siap menikah," katamu waktu itu. Aku sangat terkejut mendengarnya. Bagaimana bisa kamu berani melakukan semuanya dan kemudian mengatakan tidak siap. Permainan macam apa ini?
"Oke, aku akan mempertahankan janin ini, meski kamu tidak mau menikahiku," jawabku waktu itu. Aku memutuskan untuk tetap melanjutkan kehamilanku karena aku sudah lelah dengan semua kesalahanku. Aku tak ingin menambah panjang daftar dosaku dengan menyetujui saranmu untuk aborsi. Ada rasa takut yang mulai menyelimuti hatiku saat itu.
Untuk beberapa saat aku membiarkan dirimu mengambil jeda. Sampai akhirnya aku mencoba menemuimu lagi dan memastikan keputusanmu. Ternyata kamu memilih untuk menikahiku dan bersedia menemui keluargaku bersama ayahmu. Dan sejak pertemuan itu, hanya selang dua minggu akhirnya kita menikah. Pernikahan yang kelabu, karena tak nampak senyum bahagia di wajah orang-orang yang kusayang. Bahkan kedua nenekku sempat beradu mulut karena berbeda pendapat tentang pernikahanku.
Aku sempat berpikir untuk kabur saja dari rumah saat itu. Belum lagi ibuku yang masih meragukan dirimu. Beliau mengira dirimu sudah beristri sehingga kamu harus menyertakan surat keterangan akan status lajangmu.
Keributan yang mewarnai pernikahan itu selalu terekam dalam memoriku meskipun sudah sangat lama berlalu. Sayangnya ketegangan itu tak berhenti disini. Selepas acara pernikahan, komunikasi yang kaku dan penuh dengan ketegangan selalu mewarnai hubunganku dengan keluarga besarku. Satu hal yang membuat diriku merasa sangat menyesal dan sekaligus merasa kecewa pada diriku sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H