Mohon tunggu...
Anita Puspitasari
Anita Puspitasari Mohon Tunggu... Guru - Guru

Seorang yang berharap eksistensi dirinya berpengaruh positif pada orang di sekitarnya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cinta dalam Diam

23 Oktober 2023   14:44 Diperbarui: 23 Oktober 2023   14:53 341
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar pexels.com

Cinta dalam Diam

"Diberhentikan, Pak?!"Ibu terdengar tidak percaya dengan apa yang diceritakan Bapak."Iya Bu, pihak yayasan merasa tidak terima dengan apa yang Bapak sampaikan dan mengancam melapor ke kepolisian atas dasar pencemaran nama baik jika Bapak tidak keluar dari sekolah"jelas Bapak dengan nada suara sedih. Bapak tahu, Ibu pasti sangat terguncang dengan keadaan ini.Mau bagaimana lagi, Bapak tidak mungkin berdiam diri atas ketidakadilan yang dilakukan pihak yayasan kepada guru dan staff di sekolah. "Bagaimana dengan teman guru yang lain?para staff?"tanya Ibu sambil berusaha menahan air mata yang hampir tumpah."Semua diam, Bu.Mereka takut hal serupa terjadi pada mereka". ucap Ayah menjelaskan."Lalu bagaimana nasib kita, Pak? Untuk makan sehari-hari saja kita harus irit-irit, belum lagi bayar kontrakan dan keperluan Halid dan Ara."Ibu tak kuasa lagi membendung titik air yang mengalir di sudut matanya."Rezeki Allah yang ngatur, Bu.Ga akan tertukar,Bapak akan terus ikhtiar demi kita semua"ucap Bapak sendu sambil memeluk Ibu dengan dalam. 

Sepertiga malam, seperti biasa aku melihat Ibu bermunajat pada Sang Maha Pemilik Kehidupan dengan segala kepasrahan diri,mencurahkan segala kegalauan hidup di  tiap sujudnya. Ingin rasanya aku memeluk Ibu dan mengatakan semua akan baik-baik saja, betapa aku sangat bahagia dan mencintainya dengan segenap asa. Bapak terlelap tidur, mungkin kelelahan setelah apa yang Bapak alami beberapa minggu ini, pun demikian adik kesayanganku, Ara, pulas sambil memeluk guling kesayangannya. "Halid  kenapa bangun?Bobo ya, Ibu sholat dan ngaji dulu"lirih suara Ibu sambil mengusap punggung tanganku dengan lembut. Aku tersenyum.Aku ingin mendengar lantunan ayat surga yang dibacakan Ibu, entah kenapa selalu ada kenyamanan ketika mendengar lantunan firman Nya dibacakan, tanpa kusadari lantunan itu tak terdengar lagi dan hari berganti pagi.

"Ibu sudah masak?"tanya Ara pada Ibu dengan senyum manisnya. Adikku Ara, walaupun baru berusia lima tahun, ia sudah mandiri dan terlihat dewasa dibanding anak seusianya. Tak seperti aku kakaknya yang hanya terpaut dua tahun. Ia sering membantu pekerjaan Ibu di rumah. Ia juga sering bermain denganku dan bercerita tentang banyak hal. Aku selalu tersenyum setiap kali Ara bercerita, walaupun sering aku tidak memahaminya, mendengar suaranya saja sudah cukup untukku.Ingin sekali aku mengatakan bahwa aku mencintainya dan aku adalah fans terbesarnya." Sebentar ya, sedikit lagi nasinya matang" ucap Ibu sambil mengelus kepala Ara. "Buat Mas Halid sudah matang, Bu?"tanya Ara penuh perhatian."Sudah, nanti kita makan sama-sama ya"ujar Ibu sambil tersenyum. "Bapak pulangnya malam ya, Bu?" tanya Ara sambil mengunyah makanannya dengan lahap."Iya, kenapa Ara?"tanya Ibu sambil menyuapiku dengan bubur dan kuah sayur."Ga papa bu, kasihan aja sama Bapak, pasti capek tiap hari pulang malam.Ngomong-ngomong Bapak udah makan siang belum ya."celoteh Ara."Do'ain aja Bapak sehat ya.Udah ayo dihabiskan makannya, nanti main sama Mas Halid ya, Ibu mau menggosok pakaian"jawab Ibu menutup makan siang kami.

"Bapak pulang....Bapak Pulang....Mas Halid, Bapak pulang!"sambut Ara melompat kegirangan, dan aku tersenyum melihat tingkah Ara. " Assalamu'alaikum, Bapak pulang!"ucap Bapak sambil mencium Ara dan aku."Walaikumsalam"jawab Ara dan aku, walau tidak ada satupun yang mendengar perkataanku."Alhamdulillah, sudah pulang Pak, Ibu siapin teh dan makanan ya, kita makan sama-sama"ucap Ibu sambil mencium tangan Bapak dengan penuh takzim. "Bapak capek ya? Nanti abis makan Ara pijitin ya"ujar Ara sambil menuangkan air putih yang diminta Ibu untukku".Bapak tersenyum sambil mengusap rambut Ara. 

Waktu menunjukkan hampir tengah malam. Ara sudah mimpi indah , sementara mataku belum juga terpejam sempurna.Sayup-sayup aku mendengar obrolan Bapak dan Ibu di ruang sebelah. "Bapak sudah berusaha mencari pekerjaan, Bu.Sekolah biasanya ada penerimaan guru mendekati tahun ajaran baru.Bapak juga sudah keliling mencari kerja apa saja tapi belum dapet, Bu" ucap Bapak dengan suara tertekan."Sabar ya Pak, In syaa Allah semua sudah ada yang ngatur.Kita tinggal do'a dan ikhtiar" ucap Ibu menenangkan. Kudengar Bapak menghela napas panjang, " Sudah dua minggu, Bu.Kalau keadaan masih seperti ini, kita tidak bisa membayar kontrakan yang akan habis minggu ini. Kita juga tidak ada uang untuk makan"."Lalu kita harus gimana, Pak?"tanya Ibu lirih. "Bagaimana kalau kita pindah ke kampungku saja.Ada Ibu di kampung, kita menumpang tinggal di sana.Untuk makan kita bisa tani, sambil aku mengajar juga di sana"terang Bapak kepada Ibu. "Lalu, bagaimana dengan Halid Pak? Halid masih butuh terapi, kalau di kampung apa bisa terapi?" ungkap Ibu terdengar mengkhawatirkanku."Bukannya Bapak tidak mengkhawatirkan Halid Bu, tapi mau bagaimana lagi.Coba Ibu besok tanya ke rumah sakit, apa rumah sakit di kabupaten di kampung sana bisa nerima terapi BPJS untuk Halid" ucap Bapak kepada Ibu."Iya, Pak"jawab Ibu terdengar lirih. 

"Jadi kita mau pindah ke rumah Nenek di kampung? Hore..hore!"Ara berjingkrak kegirangan setelah Bapak dan Ibu menjelaskannya kepada kami. Reaksiku hanya tersenyum.Bapak dan Ibu membereskan barang-barang kami yang memang seadanya. Aku tidak ingin menangis, tapi yang aku rasakan sangat sakit sekali, hingga tak kuasa akhirnya aku menangis dan mengerang kesakitan."Halid kenapa?sakit ya Nak?.Sini sama Ibu ya"ujar Ibu sambil mencoba menggendong dan menenangkanku. Setelah berpamitan ke tetangga, kami langkahkan kaki menjalani hidup dengan tuntunan taqdir yang telah ditentukan, bahkan jauh sebelum kami lahir.

***

Setelah perjalanan beberapa jam akhirnya kami sampai. Udara dingin menyelimuti ku walau Ibu sudah memakaikanku jaket tebal."Assalamu'alaikum" ucap Bapak, Ibu dan Ara serempak di depan rumah sederhana dengan atap rumbia. "Walaikumsalam" jawab seorang wanita tua dari dalam rumah." Ya Allah, alhamdulillah udah sampai, sini masuk kalian pasti capek" ucap nya sambil menggiring kami masuk ke dalam rumah. " Apa kabar, Bu?" tanya Ibu sambil memeluk wanita tua itu dengan erat. Aku sambil memutar memoriku, mengingat siapa wanita tua nan ramah yang menyabut kami dengan keceriaan di wajahnya. "Nenek, Ara juga mau dipeluk dong, Ara juga kangen"rengek Ara dengan manja. Seketika aku teringat bahwa wanita tua nan ramah itu adalah nenekku. " Halid sehat? Nenek juga kangen sama Halid, ayo Halid  istirahat ya"ucap Nenek sambil menyuruh Ibu menidurkanku di bale-bale. Perjalanan panjang dan baru aku rasakan rasa lelah di sekujur tubuhku, aku ingin menahannya, tapi lagi-lagi aku hanya bisa menangis.

 "Kalian bisa tinggal di sini. Kalau untuk makan In syaa Allah ada, kalian bisa olah lahan yang ada.Ibu juga udah tua, asam urat Ibu suka kambuh dan ga sanggup ngurusin kebun" ucap Nenek mengerti kegundahan hati Bapak dan Ibu."Maafkan kami, bukannya buat Ibu bahagia, tapi kami justru menyusahkan"ucap Bapak lirih menahan buliran cairan bening yang hampir menetes. "Orang tua itu ga ada yang ngerasa disusahin sama anak.Kalian ga usah sungkan.Ibu do'ain Gusti Allah memudahkan ikhtiar kita" ujar Nenek sambil tersenyum. "Aamiin...makasih Bu" jawab Ibu sambil menghapus air mata yang meluncur deras.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun