Mohon tunggu...
ANITA FITRY LUMBANTORUAN
ANITA FITRY LUMBANTORUAN Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Magister Akuntansi Unversitas Mercu Buana 55520120002. Dosen Prof.Dr.Apollo.M.Si.Ak

Mahasiswi Magister Akuntansi Unversitas Mercu Buana 55520120002. Dosen Prof.Dr.Apollo.M.Si.Ak Diberkati untuk menjadi Berkat

Selanjutnya

Tutup

Money

Kuis 5 Pajak Internasional - Prof Dr. Apollo - Kemampuan Negosiasi Negara Berkembang?

2 April 2022   09:23 Diperbarui: 2 April 2022   09:56 284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kemampuan Negosiasi negara berkembang sumber : karya sendiri

Membaca sekilas makalah yang ditulis oleh Martin Hearson yang menganalisis mengenai negosiasi perjanjian pajak dalam hal ini lebih focus membahas negara-negara bekermbang, yang mana beliau memperkenalkan perspektif rasionalitas terbatas, Pada makalah tersebut dijelaskan bahwa permasalahan yang terjadi dewasa ini yaitu kesesuaian jaringan perjanjian pajak yang memberikan keuntungan pada negara-negara berkembang. Dengan demikian negara-negara berkembang menjadi lebih semangat dalam menjalin kerjasama atau negosiasi perjanjian penghindaran pajak berganda kepada berbagai negara maju atau bisa juga dengan negara-negara berkembang lainnya.

Pergerakan perluasan sumber daya dan dana terjadi pada negara-negara maju dan negara-negara berkembang serta antara kedua negara kelompok negara tersebut bisa terjadi pada negara maju dengan negara berkembang, negara maju dengan negara maju dan negara berkembang dengan sesame negara berkembang tergantung inisiatif dan keperluan dari kedua negara yang terlibat dalam perjanjian perpajakan. Disamping memberikan manfaat bersama, kegiatan atau transaksi antar negara tersebut memberikan penghasilan yang bersumber di negara tempat dimana investasti terjadi atau tempat terjadinya kegiatan atau aktivitas yang selanjutnya dikirim ke negara tempat investor atau pelaku kegiatan bertempat kedudukan. Bagi kedua negara tersebut, penghasilan merupakan sasaran pemajakan atas dasar pertalian yang tidak sama sesuai dengan yang tertulis dalam domestic masing-masing negara.

Negara-negara berkembang dapat mempengaruhi pergerakan modal dari negara yang satu dengan negara yang lain. Bagaimana tidak, seperti yang kita ketahui negara berkembang pasti dalam fase pembangunan secara besar-besaran sangatlah membutuhkan modal dari negara asing, tenaga asing serta teknologi yang lebih mutakhir tanpa menyebabkan ketergantung negara-negara berkembang secara terus menerus pada negara-negara maju. Dalam mengatasi ini, negara berkembang secara unilateral berupa pembebasan pajak atau insentif pajak yang sangat menguntungkan, untuk menarik investor menanamkan modalnya di negara berkembang.

Mobilitas modal pada akhir-akhir ini merupakan pergerakan ke satu arah yaitu dari negara maju ke negara berkembang sehingga jika diperhatikan, maka P3B lebih memberikan manfaat atau keuntungan kepada pemolik modal asing yang berkedudukan di negara maju daripada pemilik modal yang berkedudukan di negara berkembang. Karena jarang sekali pemilik modal di negara berkembang menanamkan modalnya di negara maju, persentanse pasti kecil karena modal yang ada di negara maju masih sangat dibutuhkan negaranya sendiri. Jadi semakin banyak kegiatan atau transaksi yang dilakukan oleh negara berkembang ke berbagai negara maju atau mungkin juga dengan negara berkembang lainnya maka banyak perjanjian yang ditandatangani oleh negara berkembang, semakin baik hasil negosiasi yang diperolehnya. Seperti pepatah yang mengatakan "jika sudah bisa makan akan terbiasa".

Negara-negara berkembang harus mengerti bahwa negara-negara maju pasti memiliki pandangan positif terhadap kepentingan negara berkembang. Kita ambil salah satu contoh, Negara Belanda yang mempunyai 19 jaringan P3B dengan negara-negara berkembang, yang di dalamnya memberikan hasil yang baik bagi mereka. Hal yang terjadi justru pada saat pemerintah Belanda mencoba memberikan penawaran pada revisi draft P3B dengan 9 dari 19 negara tersebut untuk memperoleh P3B yang lebih baik dari sebelumnya, Sampai saat ini mereka tidak merespons tawaran yang diajukan.

Dapat kita lihat bahwa problema yang sedang dihadapi negara-negara berkembang yaitu ketidakcepatan mereka dalam merespons potensi-potensi yang ada dari koordinasi pajak internasional. Sebagian besar dari mereka kurang terorganisasi dalam mengambil potensi secara cekatan, negara-negara berkembang cenderung menunggu dan lama memberikan respon karena mungkin diskusi yang cukup lama dan pertimbangan-pertimbangan pihak yang berwewenang sangat lama. Negara berkembang harus lebih baik dalam melihat potensi atau peluang dan cepat bergerak untuk segera menyatakan keputusan mereka apakah mau melanjutkan negosiasi atau tidak. Jika tertarik dalam tawarannya maka akan dilanjutkan ke renegosiasi jika diperlukan, tetapi jika isi dari draft P3B dari tawaran tersebut sesuai dengan ketentuan dan memberikan manfaat atau keuntungan bagi kedua belah pihak maka dilanutkan ke pengesahan dan penandatanganan

Kita ambil contoh penerapan P3B antara Indonesia yang merupakan negara berkembang dengan Jepang seperti kita ketahui merupakan negara maju. Pada tax treaty ini, bisa dikatakan sebagai salah satu perjanjian pajak  yang sangat khas. Tidak hanya karena beberapa ketentuan-ketentuan didalamnya yang mencerminkan masih rendahnya tingkat negosiasi Indonesia. Namun, karena salah satu perjanjian pajak tersebut merupakan tax treaty yang amat sulit untuk dilakukan renegosiasinya.

Keunikan itu salah satunya dapat dilihat dari mekanisme untuk menentukan test waktu dalam penentuan ada tidaknya Bentuk Usaha Tetap (BUT). Perjanjian pajak Indonesia dengan Jepang menghabiskan jangka waktu 183 hari. Jangka waktu tersebut dapat kita kategorikan cukup lama dalam penentuan ada atau tidaknya BUT bila dibandingkan dengan kebanyakan time test dalam perjanjian pajak. Menambah keunikan tadi, periode penhitungan jumlah hari yang tadi juga tidak memakai jangka waktu 12 bulan yang dihitung pada saat kedatangan melainkan memakai jangka waktu Januari sampai dengan Desember. Kebijakan atau ketentuan ini, dapat memunculkan celah yang lebih luas dalam melakukan perencanaan pajak (tax planning) guna menghindari dikenakannya pajak dinegara sumber penghasilan.

Pertengahan tahun 2017 Indonesia yang merupakan negara berkembang menandatangani perjanjian pajak internasional dalam hal pencegahan praktik-pratik yang sering sekali dilakukan oleh wajib pajak pribadi maupun badan untuk memperbesar keuntungan mereka dan menekan beban pajaknya. Bersama 68 negara dan akan segera disusul oleh 30 negata lainnya  yang sudah bekerjasama dengan Indonesia, untuk pencegahan penghindaran pajak dalam bentuk penyalahgunaan pajak berganda (tax treaty). Apabila Indonesia yang merupakan negate berkembang yang sangat mengandalkan sumbangan perpajakn dalam pembangunan infrastruktur maka Indonesia harus mampu mengumpulkan pajak, khususnya dari kelompok terkaya atau saat ini sering disebut dengan istilah crazy rich dan masyarakat yang ekonominya mampu, maka kita akan sangat bisa membangun sekolah, yayasan madrasah, dan tingkat pendidikan yang lebih baik pastinya dengan fasilitas yang memadai,

Terdapat dua model utama P3B yang sering digunakan sebagai tolak ukur dalam perjanjian internasional, yaitu Model OECD dan Model UN. Tetapi masing-masing negara dapat mengembangkan sendiri model perjanjian mereka tidak ada aturan khusus yang melarang hal ini. Indonesia sebagai negara berkembang turut mengembangkan model perjanjian dengan penggabungan dari  kedua model tersebut, yang disebut Model Indonesia.

Beberapa tahapan prosedur yang wajib dilakukan dalam menerapkan P3B ini, dan syarat-syarat yang wajib dipenuhi untuk mempergunakan manfaat atau keuntungan dalam perjanjian penghindaran pajak berganda ini. Beberapa di antaranya denganmemperlihatkan surat keterangan domisili yang telah memenuhi persyaratan administrasi, yakni mengisi dan melampirkan formulir DGT dan menyampaikannya bersama SPT Masa.

Kesimpulan :

Jika semakin banyak perjanjian atau persetujuan perpajakan internasional yang ditandatangani oleh negara-negara berkembang, maka akan semakin baik hasil negosiasi atau tawar menawar dalam hal ini isi dari draft P3B antara negara-negara yang terlibat dalam perjanjian dengan memperhatikan ketentuan perjanjian yang dibuat dan juga harus memperhatikan apakah memberikan manfaat atau keuntungan bagi negara-negara berkembang.

Ngera berkembang harus terorganisasi dalam mengambil potensi secara cepat dan cekatan. Jangan sampai cenderung menunggu dan lama memberikan respon atas tawaran perjanjian perpajakan internasiona; yang diberikan karena mungkin diskusi internal yang cukup lama dan pertimbangan-pertimbangan pihak yang berwewenang sangat lama. Negara berkembang harus lebih baik dalam melihat potensi atau peluang dan cepat bergerak untuk segera menyatakan keputusan mereka apakah mau melanjutkan negosiasi atau tidak.

Referensi : 

Jurnal WHEN DO DEVELOPING COUNTRIESNEGOTIATE AWAY THEIR CORPORATETAX BASE?; MARTIN HEARSON*Department of International Relations, London School of Economics, London, UK;

https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/berita/pemerintah-indonesia-tandatangani-perjanjian-pajak-internasional/

https://news.ddtc.co.id/bergerak-cepat-atau-peluang-akan-hilang--15688

https://ortax.org/nilai-dari-sebuah-perjanjian-penghindaran-pajak-berganda-p3b-di-negara-berkembang

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun