Di penghujung masa jabatannya, pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Agus Rahardjo, masih saja cari panggung. Kali ini, ia meminta meminta Sekretariat National Central Bureau (NCB) - Interpol Indonesia menerbitkan red notice terhadap dua tersangka perkara Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Sjamsul Nursalim (SN) dan Itjih Nursalim. Dalam surat itu, KPK memohon bantuan pencarian terhadap Sjamsul dan Itjih dengan permintaan apabila ditemukan agar dilakukan penangkapan dan menghubungi KPK.
Kita akan bertepuk tangan untuk Agus Rahardjo andai saja penindakan KPK terhadap SN memiliki dasar hukum yang jelas. Sayangnya, yang terjadi sebaliknya. Dalam kasus BLBI, SN sudah mengantongi Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA), Release and Discharge (R&D), Surat Keterangan Lunas (SKL), hingga Surat Perintah Penghentian Perkara (SP-3) yang menunjukkan kasusnya ini sudah selesai secara hukum. Hingga hari ini, tak satupun dari surat-surat ini dibatalkan keabsahannya oleh pemerintah.
Mantan Ketua Mahkamah Konsitusi Prof. Mahfud MD bahkan menilai pengungkapan kasus BLBI yang telah berkekuatan hukum tetap, bertentangan dengan jaminan kepastian hukum bagi setiap warga negara Indonesia.
Selain itu, putusan MA yang memvonis bebas murni Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT), mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang didakwa korupsi oleh KPK karena menerbitkan SKL untuk BLBI juga makin meruntuhkan pijakan hukum KPK untuk memburu SN. Ibarat sebuah pohon, jika batangnya sudah ditebas, dalam kondisi normal ranting-rantingnya juga mesti ikut berguguran. Maka, jika KPK tetap bernafsu mengejar SN, kita patut curiga, ada apa?
Di sisa waktu kepengurusannya yang tinggal sebentar, KPK tampaknya ingin unjuk gigi sebagai lembaga paling berani. Terdepan dalam menegakkan hukum dan menyelamatkan uang negara. Namun, upaya itu dikerjakan dengan serampangan dan tidak profesional. Atas nama ketenaran, KPK menabrak rambu-rambu kepastian hukum di Indonesia.
Saya menduga langkah pimpinan KPK ini merupakan jawaban atas pidato presiden yang meminta aparat penegak hukum untuk menjalankan tugasnya dengan benar. Pidato yang disampaikan di Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) antara Pemerintah Pusat dengan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) se-Indonesia itu menyoroti maraknya praktik mafia hukum.
Namun sepertinya pimpinan KPK lupa, dalam pidato itu Presiden Jokowi juga mengingatkan para penegak hukum agar, "Jangan menggigit orang yang benar dan jangan pura-pura salah gigit." Artinya, dasar hukum yang jelas menjadi syarat mutlak sebelum melakukan penindakan. Jangan sampai penegak hukum malah menggigit para pelaku bisnis yang sedang berinovasi untuk negeri ini.
Lucunya, sehari setelah pidato Presiden, KPK mengaku menyambut baik tindakan memerangi praktik mafia hukum dengan alasan kepastian hukum. Jubir KPK, Febri Diansyah mengatakan, "Karena ini adalah salah satu hal yang cukup fatal yang cukup berisiko kalau ada praktik mafia hukum maka kepastian hukum akan sulit sekali terwujud dan kalau kepastian hukum tidak terbentuk maka itu dapat berimplikasi pada keraguan para investor untuk meletakkan modalnya atau berusaha di Indonesia dan juga menyebabkan praktik-praktik korupsi yang lain."
Setelah menggaungkan kepastian hukum, sekarang KPK meminta Interpol mengeluarkan red notice untuk SN dengan dasar hukum yang rapuh. Di bawah kepemimpinan Agus Rahardjo, KPK semakin terlihat mencla-mencle. Tidak konsisten antara pernyataan dengan tindakan. Bagaimana masyarakat mau percaya pada lembaga anti-rasuah yang tidak professional ini?
Maka, wajar jika opini akhirnya publik terbelah soal Revisi UU KPK. Survei Litbang Kompas  menyatakan 44,9 persen masyarakat mendukung revisi UU KPK, sementara yang tidak setuju 39,9 persen, dan yang menjawab tidak tahu 15,2 persen. Tidak hanya soal persetujuan umum, mayoritas responden juga menyatakan setuju terhadap poin-poin revisi UU KPK yang selama ini menjadi polemik. Misalnya, 64,7 persen mayoritas publik setuju pembentukan Dewan Pengawas KPK, 55,5 persen perlu ada Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3) di KPK.
Pesona KPK sudah luntur. Gaya kepemimpinan Agus Rahardjo berkontribusi mendegradasi citra lembaga yang dulu paling dipercaya publik ini. Kita semua rindu pada KPK yang profesional dan berintegritas. Kita hanya bisa berharap kepemimpinan KPK selanjutnya yang diperkuat dengan Dewan Pengawas bisa mengembalikan harapan kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H