Mohon tunggu...
Anita Lestari
Anita Lestari Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Retorika Versus Substansi di Diskusi Publik MMD Initiative

3 Agustus 2019   11:51 Diperbarui: 3 Agustus 2019   12:22 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

MMD Initiative, lembaga kajian milik Prof. Mahfud MD baru saja menggelar diskusi publik bertajuk "Vonis Bebas MA Terhadap Syafruddin Temenggung: Siapa Salah, KPK atau MA?" pada Rabu (31/7) kemarin. 

Diskusi ini membahas vonis MA yang membebaskan Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT), mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang didakwa korupsi oleh KPK karena menerbitkan Surat Keterangan Lunas (SKL) dalam Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kepada Sjamsul Nursalim.

Diskusi publik ini tentu penting untuk menghadirkan perspektif baru dalam melihat kasus BLBI. Sayangnya, di antara seluruh pembicara yang diundang, kebanyakan berbicara sebatas retorika minim substansi. Boleh dibilang, hanya Prof. Eddy Hiariej yang betul-betul membahas putusan MA secara substantif.

Prof. Eddy Hiariej kembali menegaskan asas kepastian hukum akan vonis MA. "Tanpa mengurangi rasa hormat kepada teman-teman dan menciutkan semangat pemberrantasan korupsi, bagi saya secara teoritik untuk Syafrudin secara pidana itu, sudah putusan lepas, artinya dia tidak dijatuhi pidana dan itu putusan pada kasasi," kata Eddy.

KPK selaku pihak yang mestinya menyajikan argumen yang bernas pun nyatanya tampil mengecewakan. Sepanjang paparannya, Febri Diansyah hanya berretorika. Argumen utama KPK adalah KPK belum menerima ketikan sehingga tidak tahu mengapa pada akhirnya ada perbedaan pendapat di antara 3 hakim MA. Dengan argumet ini, KPK otomatis tidak banyak menyentuh perbedaan putusan ini. 

Oh come on, KPK! Memangnya tidak ada ahli hukum di KPK yang bisa menganalisis apa yang sebetulnya terjadi sehingga bisa muncul dissenting opinion seperti ini?

Karena tidak bisa mengomentari perbedaan putusan, KPK akhirnya fokus pada keputusan MA yang menyatakan bahwa perbuatan terdakwa terbukti.  Peluru dari KPK adalah dugaan kekurangan bayar (misrepresentasi) atas utang petani tambak Dipasena yang dijadikan alat pembayaran. 

Febri berkata, "Kalau saya punya kewajiban membayar hutang dan kemudian saya bayar dengan aset yang saya miliki, lalu kemudian aset yang saya bayarkan macet atau aset saya tidak bisa dijual dengan harga yang saya klaim, bukankah saya harus mengembalikan atau menukar dengan aset yang lebih besar agar pembayaran bisa dilakukan?"

Saya tertawa di bangku penonton ketika mendengar KPK mengatakan ini. KPK barangkali lupa bahwa yang menaksir aset Dipasena milik SN bukan SN sendiri, tapi bersama BPK dan BPPN. Penaksir, BBPN, dan SN sudah sepakat bahwa aset itu harganya cukup.  

Jika benar ada kesalahan taksir, bukan salah SN, tetapi salah penaksir. Kedua, jika aset itu tidak bisa dijual sesuai dengan harga yang ditaksir, maka bukan salah SN juga karena ada perubahan kondisi aset jauh setelah diserahkan kepada negara. Yang terpenting, ketika ditaksir, seluruh pihak yang terlibat sudah sepakat.  Masa sih, logika sederhana seperti ini tidak bisa dipahami oleh KPK?

Perwakilan Indonesian Corruption Watch (ICW) Donal Fariz hari itu mati-matian membela KPK. Ia menyatakan bahwa dana BLBI yang diberikan negara "disalahgunakan penerima dana talangan sejak awal". 

Bung Donal mungkin tidak tahu, dana BLBI yang diterima obligor waktu tahun 1998 langsung digunakan untuk membayar kredit-kredit mereka ke luar negeri, bukan digunakan untuk memperkaya diri sendiri.

Donal juga menyebut kompleksitas kasus ini salah satunya karena Bank Indonesia tidak melakukan pre-audit terhadap calon obligor sehingga BI tidak tahu berapa aset yang dimiliki, apakah sesuai dengan yang dijaminkan dalam MSAA atau tidak. 

Donal melupakan konteks bahwa kucuran dana itu dilakukan dalam kondisi krisis moneter. Kalau menunggu pre-audit terhadap obligor, bisa-bisa negara ini bangkrut!

Konteks krisis moneter ini yang hilang dari argumen Febri dan Donal hari itu. KPK dan ICW gagal melihat BLBI sebagai exit door darurat yang mesti diambil negara pada saat itu. Konteks krisis ini pulalah yang membuat BLBI menjadi sangat kompleks. 

Dibanding menggali-gali kasus SAT dan SN yang sudah jelas berkekuatan hukum dengan SKL dan kini putusan MA, mengapa KPK tidak fokus mengejar obligor-obligor lain yang bahkan buang badan sama sekali? Mengapa KPK begitu terobsesi pada SAT dan SN? Apa karena KPK ingin kejar setoran sebelum masa jabatannya berakhir di November?

Ayo, Move On!

Sudahlah, KPK. SAT sudah bebas. Sesuai vonis MA, perbuatan terdakwa terbukti dan kasus ini berada di ranah perdata. Di akhir diskusi, KPK mengatakan ingin mengembalikan uang 4,58 T kepada negara. 

Untuk memenuhi tugas mulia ini, sebaiknya KPK mengikuti saran Prof. Eddy Hiariej; menggugat secara perdata. Jangan lagi mengeluarkan wacana Pengajuan Kembali (PK) karena itu akan membuat KPK terlihat konyol di mata publik.

Dalam seminar itu, Prof. Eddy menjelaskan pengajuan PK adalah hak terpidana, bukan hak penuntut umum. "Hak penuntut umum di kasasi adalah demi kepentingan hukum. Bila JPU mengajukan PK, maka JPU bertentangan dengan ketertiban hukum. 

Hanya ada 1 negara yang penuntut umumnya boleh PK, yaitu Jerman karena karena KUHAP Jerman ada yang berbunyi 'dalam rangka mencari kebenaran materiil penuntut umum mencari bukti termasuk yang meringankan, bahkan menghilangkan tuntutan terhadap terdakwa'. Di Indonesia tidak ada aturan tersebut karena logika penuntut umum pasti menghukum terdakwa," kata Eddy.

Prof. Eddy menambahkan, dalam Undang Undang tentang Pemberantasan Korupsi disebutkan apabila kerugian negara secara nyata dan telah diputus bebas atau putusan lepas tetap tidak menghapuskan gugatan perdata. "Jadi silakan lakukan gugatan perdata. Karena ada kerugian keuangan negara secara nyata," tegasnya.

Mengutip tulisan Saur Hutabarat yang menjadi moderator dalam diskusi itu, KPK memang salah kamar dalam perkara SAT. Kamarnya "perdata", bukan "pidana". KPK mestinya berterima kasih kepada MA yang menyatakan KPK salah kamar. Sudahlah KPK, jangan terus-terusan mempermalukan diri sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun