MMD Initiative, lembaga kajian milik Prof. Mahfud MD baru saja menggelar diskusi publik bertajuk "Vonis Bebas MA Terhadap Syafruddin Temenggung: Siapa Salah, KPK atau MA?" pada Rabu (31/7) kemarin.Â
Diskusi ini membahas vonis MA yang membebaskan Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT), mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang didakwa korupsi oleh KPK karena menerbitkan Surat Keterangan Lunas (SKL) dalam Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kepada Sjamsul Nursalim.
Diskusi publik ini tentu penting untuk menghadirkan perspektif baru dalam melihat kasus BLBI. Sayangnya, di antara seluruh pembicara yang diundang, kebanyakan berbicara sebatas retorika minim substansi. Boleh dibilang, hanya Prof. Eddy Hiariej yang betul-betul membahas putusan MA secara substantif.
Prof. Eddy Hiariej kembali menegaskan asas kepastian hukum akan vonis MA. "Tanpa mengurangi rasa hormat kepada teman-teman dan menciutkan semangat pemberrantasan korupsi, bagi saya secara teoritik untuk Syafrudin secara pidana itu, sudah putusan lepas, artinya dia tidak dijatuhi pidana dan itu putusan pada kasasi," kata Eddy.
KPK selaku pihak yang mestinya menyajikan argumen yang bernas pun nyatanya tampil mengecewakan. Sepanjang paparannya, Febri Diansyah hanya berretorika. Argumen utama KPK adalah KPK belum menerima ketikan sehingga tidak tahu mengapa pada akhirnya ada perbedaan pendapat di antara 3 hakim MA. Dengan argumet ini, KPK otomatis tidak banyak menyentuh perbedaan putusan ini.Â
Oh come on, KPK! Memangnya tidak ada ahli hukum di KPK yang bisa menganalisis apa yang sebetulnya terjadi sehingga bisa muncul dissenting opinion seperti ini?
Karena tidak bisa mengomentari perbedaan putusan, KPK akhirnya fokus pada keputusan MA yang menyatakan bahwa perbuatan terdakwa terbukti. Â Peluru dari KPK adalah dugaan kekurangan bayar (misrepresentasi) atas utang petani tambak Dipasena yang dijadikan alat pembayaran.Â
Febri berkata, "Kalau saya punya kewajiban membayar hutang dan kemudian saya bayar dengan aset yang saya miliki, lalu kemudian aset yang saya bayarkan macet atau aset saya tidak bisa dijual dengan harga yang saya klaim, bukankah saya harus mengembalikan atau menukar dengan aset yang lebih besar agar pembayaran bisa dilakukan?"
Saya tertawa di bangku penonton ketika mendengar KPK mengatakan ini. KPK barangkali lupa bahwa yang menaksir aset Dipasena milik SN bukan SN sendiri, tapi bersama BPK dan BPPN. Penaksir, BBPN, dan SN sudah sepakat bahwa aset itu harganya cukup. Â
Jika benar ada kesalahan taksir, bukan salah SN, tetapi salah penaksir. Kedua, jika aset itu tidak bisa dijual sesuai dengan harga yang ditaksir, maka bukan salah SN juga karena ada perubahan kondisi aset jauh setelah diserahkan kepada negara. Yang terpenting, ketika ditaksir, seluruh pihak yang terlibat sudah sepakat. Â Masa sih, logika sederhana seperti ini tidak bisa dipahami oleh KPK?
Perwakilan Indonesian Corruption Watch (ICW) Donal Fariz hari itu mati-matian membela KPK. Ia menyatakan bahwa dana BLBI yang diberikan negara "disalahgunakan penerima dana talangan sejak awal".Â