Dua puluh tahun sejak penandatanganan MSAA, di tahun 2017 KPK mempermasalahkan kembali penerbitan SKL kepada SN. Ia dianggap belum menyelesaikan seluruh kewajibannya berdasarkan MSAA.
Padahal, pada November 2003 BPPN telah meminta konsultan keuangan internasional Ernst & Young untuk melakukan Financial Due Diligence (FDD) terhadap BDNI, perusahaan milik SN. BDNI dinyatakan secara agregat tidak memiliki kekurangan pemenuhan kewajiban. Bahkan, ditemukan kelebihan bayar sebesar USD 1,3 juta.
Untuk memperkuat temuannya, KPK meminta BPK untuk melakukan pemeriksaan kembali pemenuhan kewajiban oleh SN. BPK kemudian menerbitkan Laporan Audit Investigasi BPK 2017 yang melanggar Standar Pemeriksaan Keuangan Negara dan tidak sesuai dengan general principles of auditing.
Misalnya, BPK membatasi ruang lingkup pemeriksaan dengan hanya menggunakan data yang disiapkan oleh penyidik KPK tanpa melakukan klarifikasi dengan pihak terkait. Lucunya juga, Laporan Audit BPK 2017 ini juga bertentangan dengan dua hasil pemeriksaan BPK sebelumnya terhadap SN, yaitu Laporan Audit Investigasi BPK 2002 dan Laporan Audit BPK 2006. Ini jelas melanggar prinsip-prinsip dasar audit keuangan.
Dengan sederet kejadian tersebut, bisa jadi SN dan isterinya lebih menghormati keputusan hukum yang telah ditetapkan negara dibanding KPK. Itulah mengapa mereka tak hadir saat dipanggil. Kasusnya sudah diputus selesai menurut hukum dari bertahun-tahun lalu. Meminjam argumen Prof. Mahfud MD, apa yang sudah ditetapkan hukum tidak boleh dibatalkan begitu saja.
Kita pun patut bertanya, apa sebenarnya motif KPK membuka kembali kasus yang sudah selesai ini?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H