Mohon tunggu...
anita latifah
anita latifah Mohon Tunggu... Dosen - pembaca

NPWP 25.548.422.2-xxx.xxx Greenpeace supporter id 179xx No anggota perpusda 4.2xx/06

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kekuasaan Dibalik Loyalitas Yang Ambigu (Refleksi Menjelang Pelantikan Kepala Daerah 17 Februari 2016)

6 Februari 2016   10:05 Diperbarui: 6 Februari 2016   10:15 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

9 Desember 2015 lalu merupakan salah satu momentum yang didengung-dengungkan sebagai salah satu pesta demokrasi bagi rakyat Indonesia. Berbagai jargon dari setiap kontestan calon Kepala Daerah mewarnai masa-masa kampanye waktu itu hingga saatnya hari pencoblosan. Fenomena yang terjadi saat kampanye adalah berbagai upaya dilakukan oleh para bakal calon kepala daerah untuk mendapatkan tampuk pimpinan, baik itu secara konstitusional ataupun inkonstitusional, rasional ataupun irrasional, bahkan yang menjurus pada tindak pidana penyalahgunaan  jabatan dan tindak pidana korupsi.  

Dikutip dari tulisan Jimly Asshiddiqie dan M Ali Safaat dalam bukunya Teori Hans Kelsen tentang Hukum, Pemilihan Kepala Daerah merupakan instrumen penting dalam negara demokrasi. Hak seseorang untuk memberikan suara adalah hak atas suaranya untuk diterima dan dihitung oleh tugas pemilihan berdasarkan hukum. Hak politik sesungguhnya juga merupakan hak berpartisipasi dalam proses pembuatan hukum. Perbedaannya hanya bahwa pada hak untuk memilih adalah partisipasi tidak langsung dalam proses pembuatan hukum. Pemilih mengambil bagian hanya dalam pembentukan organ yang berfungsi menciptakan norma hukum.

Birokrasi yang  dibangun oleh pemerintah Orde Baru telah menumbuhkan budaya birokrasi yang kental dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), dan dijadikan alat untuk mendukung pemenangan organisasi politik untuk mempertahankan kekuasaan pemerintah pada saat itu, padahal birokrasi merupakan aktor utama public services yang harus mengutamakan pelayanan yang adil kepada masyarakat. Oleh karena itu reformasi birokrasi diharapkan merupakan langkah-langkah koreksi terhadap kebijakan politik Pemerintah setelah Orde Baru.

Untuk melaksanakan adanya reformasi pada birokrasi, maka pemerintah melakukan perubahan dalam kebijakan mengenai sikap politik Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang pada zaman sebelum reformasi terang-terangan mendukung salah satu kontestan partai politik bahkan dengan tindakan represif pada PNS.  Netralitas PNS menjadi hal yang anomali. Tetapi ternyata, reformasi birokrasi belum bisa sepenuhnya berjalan sesuai harapan. Masih ada sikap-sikap yang politik yang asal bapak senang dengan berlindung dibalik loyalitas pada pimpinan hingga akhirnya antara pimpinan dan bawahan bersimbiosis mutualisme demi mencapai tujuan dengan segala cara. Selain itu penegakan hukum yang lemah terhadap kecurangan-kecurangan pemilu legislatif turut memperburuk keadaan yang sudah carut marut.

Birokrasi yang  dibangun oleh pemerintah Orde Baru telah menumbuhkan budaya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), dan dijadikan alat untuk mendukung pemenangan partai politik untuk mempertahankan kekuasaan pemerintah pada saat itu, padahal birokrasi merupakan aktor utama public services yang harus mengutamakan pelayanan yang berkeadilan pada masyarakat. Pun saat ini, pasca reformasi, masih terjadi praktek-praktek tindakan tindakan intimidasi pada PNS dalam upaya pemenangan salah satu partai, biasanya partai yang berkuasa atau pemenangan calon kepala daerah pada saat penyelenggaraan pemilukada. Padahal kita tahu bahwa ketika mereka adalah abdi negara maka terikat olehnya aturan kenegaraan salah satunya mereka harus netral tidak memihak ke salah satu calon apalagi ikut melakukan kampanye. Jika ini dilakukan maka mereka yang melanggar akan diberikan sanksi yang berat bahkan bisa dicopot dari jabatannya. Keadaan ini lebih diperparah manakala ada di antara kebijakan kepala daerah yang cenderung mengadili bawahan atau pegawai yang tidak sejalan dengan pemikiran pemimpinnya sehingga yang terjadi para pelayan masyarakat tersebut seperti telur di ujung tanduk, antara ikut arus tapi menolak hati nurani, atau melawan arus tapi jabatan dan kedudukannya terancam. Memang, tidak ada satupun undang-undang yang mengharuskan para pegawai level bawah mengikuti pilihan atasannya, tapi memang hukum yurisprudensi sering kali masih saja terjadi bahkan mengkooptasi kebijakan para pemegang kekuasaan meskipun mereka adalah pejabat daerah.

Kenyataan inilah yang menjadikan PNS seperti terintimidasi antara hak untuk tidak mendukung salah satu calon atau menentang kebijakan yang akibatnya akan menggeser posisi atau jabatan tertentu dalam kedinasan. Meskipun kadang kala justru ada sebagian PNS yang secara nyata dan sengaja menjadi tim sukses dari salah satu calon mengingat ada kepentingan politis dari masing-masing pemilik kepentingan tersebut, misalnya karena menginginkan jabatan yang lebih baik atau sekedar mutasi jabatan yang lebih tinggi. Dalam upaya menjaga netralitas ASN dari pengaruh partai politik dan untuk menjamin keutuhan, kekompakan, dan persatuan ASN, serta dapat memusatkan segala perhatian, pikiran, dan tenaga pada tugas yang dibebankan, ASN dilarang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik, begitu menurut penjelasan Undang-Undang tentang ASN tahun 2014, tetapi yang menjadi permasalahan yaitu ketika pemimpin tertinggi yang merupakan jabatan politis memegang tampuk tertinggi dan aktif terlibat dalam pengurus partai politik, maka menjadi carut marut antara integritas sebagai PNS dan kekuasaan dibalik loyalitas yang ambigu. 

Kondisi ini memang cukup memprihatinkan tatkala kita menghendaki pemilu yang bersih, jujur dan adil ternyata harus dikotori kepentingan orang-orang tertentu yang melegalkan segala macam cara demi kemenangan semu dan tidak mewakili aspirasi rakyat yang benar-benar utuh akan tetapi aspirasi yang muncul karena keterpaksaan secara sistematis.

Lalu apakah pelantikan Kepala Daerah yang akan dilaksanakan tanggal 17 Februari mendatang merupakan hasil demokrasi yang penuh kejujuran dan para pemenang yang berkompeten sebagai pemimpin kepala daerah?? Wallohu'alam...

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun