Mohon tunggu...
Anita Kencanawati
Anita Kencanawati Mohon Tunggu... Penulis - Ketua WPI (Wanita Penulis Indonesia) Sumut

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Jejak Jalan Berkabut Luka (Episode-10)

8 Februari 2022   13:42 Diperbarui: 12 Februari 2022   12:39 370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gembira dan Sedih Diterima Jadi Wartawan

Setelah wisuda, aku mulai memikirkan masalah lain. Apakah aku harus pulang ke Medan, atau tetap di Padang? Kalau pulang ke Medan, apakah aku akan mendapat pekerjaan? Atau akan jadi pengangguran, yang menambah beban ibu?

Dulu, saat bapak masih ada, aku berharap setelah wisuda bisa bertanya pada bapak, selanjutnya aku harus bagaimana? Apakah akan menjadi guru seperti yang diinginkan bapak, atau bagaimana?

Namun setelah bapak meninggal, mau tak mau, aku harus berpikir sendirian untuk menentukan masa depanku, setelah wisuda.

Di satu sisi, aku masih sangat ingat kalau bapak tak ingin aku mengikuti jejaknya, menjadi wartawan. Tapi, di sisi lain, aku merasa kalau peluangku untuk bisa segera bekerja adalah menjadi wartawan.

Setelah bapak meninggal, aku juga menyimpan kliping berita tentang tanggapan ketua organisasi tempat bapak bernaung sebagai wartawan. Dalam tanggapannya, ketua organisasi wartawan itu mengharapkan kepada perusahaan pers yang ada di Medan agar menerima anak-anak bapak yang berbakat jadi wartawan, jika melamar kerja di perusahaannya. Katanya, itu sebagai bentuk rasa solidaritas, simpati dan empati sesama wartawan.

Tapi, kalau menjadi wartawan di Medan, aku merasa tidak siap mental. Aku masih trauma. Insiden yang menimpa bapak, dan segala hal yang kulihat saat menemani ibu mengikuti sidang kasus bapak di pengadilan, membuatku takut jadi wartawan di Medan. Entahlah, kalau aku jadi wartawan di Padang. Mungkin aku masih punya keberanian

Setelah berpikir cukup lama-- baik dan buruknya, aku pun memberanikan diri melamar jadi wartawan Harian Haluan, yang saat itu menjadi media cetak yang terbaik di Sumatera Barat.

Aku bertemu dengan pemimpin redaksinya, yang berpenampilan sangat berwibawa. Selain jadi pemimpin redaksi, ternyata dia juga anggota DPRD Sumbar.

Setelah memerhatikan cerpen dan tulisanku yang kulampirkan di map surat lamaran kerja, pemimpin redaksi itu bertanya mengapa aku ingin jadi wartawan. Kukatakan, aku ingin segera bekerja untuk membantu ibuku, karena bapakku sudah meninggal.

Kulihat wajah pemimpin redaksi itu seperti terenyuh mendengar alasanku. Dia kemudian mengatakan, jadi wartawan itu tidak mudah. Terutama jam kerjanya, tidak seperti pekerja kantoran, jam lima sore sudah pulang. Apa aku sudah siap bekerja seperti itu?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun