Calonarang selama ini selalu mereperesentasikan tokoh dukun teluh yang jahat. Calonarang terkenal mampu meneluh dengan kekuatan yang luar bisa. Korban bisa meninggal secara cepat atau sebaliknya menderita sampai berkepanjangan. Namun, kali ini cerita Calonarang tampil secara berbeda. Dalam dua kalipementasannya yakni Kamis-Jumat, 20-21 Februari 2014, teater STF Driyarkara bekerjasama dengan Goethe Institute menyajikan sisi lain cerita yang mengangkat derajat Calonarang.
Kisah Calonarang yang dipentaskan oleh teater Driyarkara ini menggunakan beberapa buku sebagai sumber cerita di antaranya Novel Calonarang karya Pramoedya Ananta Toer. Teater asuhan Profesor Dr. Simon Lily Tjahyadi ini mencoba memberikan sajian yang berbeda dengan kisah-kisah Calonarang yang selama ini sering kita saksikan.
Cerita Calonarang ini menggunakan setting waktu abad ke-12 pada masa pemerintahan Raja Erlangga di kerajaan Kediri. Ia dikenal sebagai seorang dukun perempuan yang hidup bersama anak gadisnya bernama Ratna Manggali yang berparas cantik, sementara suaminya pergi ke daerah Bali untuk meyebarkan ajaran Trimurti. Calonarang ditemani oleh dua murid setianya Lendi dan Larung tinggal di dusun Girah wilayah Daha Kediri menganut ajaran dan menyembah Bethari Durga.
Pada dasarnya Calonarang perempuan yang kuat dan terkenal dengan keampuhanya. Di samping itu, ia sebenarnya tokoh yang begitu gigih memperjuangkan nasib rakyat Dusun Girah yang mengalami wabah kelaparan. Pada masa itu Daha memang sedang menghadapi berbagai peperangan sehingga memerlukan dana yang cukup besar. Tentu dana tadi diperoleh dari pajak rakyat. Akan tetapi pemerintah pusat hanya mengambil pajak saja tanpa memperhatikan kesejahteraan rakyatnya. Calonarang lah yang berusaha mengeluarkan penduduk Girah dari kemiskinan dan kelaparan sekaligus menghindarkan penduduk dari wabah penyakit sampar.
Perjuangan yang dilakukan oleh Calonarang ini semata-mata demi kedamaian dan kesejahteraan penduduk Girah. Kala itu Calonarang juga mulai sukses membangun perdagangan cengkeh dan biji pala dari pulau Banda. Dengan kata lain,perjuangan Calonarang tidah hanya menyembuhkan berbagai penyakit saja, tetapi ia juga memfasilitasi masyarakat Girahuntuk keluar dari kemiskinan. Salah satu yang menjadi beban masyarakat Girah adalah membayar pajak kepada pemerintah Daha. Hal ini tentu karena pemerintah Daha sendiri tidak mempedulikan kesejahteraan mereka hanya mengambil pajaknya saja. Oleh karena itu, dengan segala pengaruh dan kemampuannya Calonarang mengajak masyarakat Dusun Girah menolak membayar pajak.
Kemampuan dan keberanian Calonarang ini sebenarnya yang akhirnya dipolitisasi. Kebaikan dan kejujuran Calonarang telah membangkitkan kemarahan bagi kerajaan Daha. Ternyata seorang perempuan seperti Calonarang telah mampu menurunkan kewibawaan raja. Perspektif tentang gender akhirnya mengemuka dalam cerita ini. Budaya patriarkhi rupanya tetap tidak ingin memberikan peluang dan tempat kepada perempuan. Kecerdasan, keberanian dan kemapanan perempuan akan dihancurkan demi kewibawaan dan kekuasanaan kaum laki-laki. Persaingan perdagangan menjadi pemicu fitnah dan tindak kekerasan yang dialami Calonarang.
Dengan demikian, sebenarnyakisah Calonarang tidak selamanya menggambarkan kejahatan.Cerita yang sebenarnya masih samar sebagai bentuk cerita sejarah atau sekadar cerita sage ini mampu mewakili kekuatan perempuan dalam arti memperjuangkan hak-hak rakyat kecil. Ia mampu mewakili peran ibu secara umum yang tak akan membiarkan anak-anaknya menderita. Ibu yang tidak akan membiarkan anaknya bersedih. Namun, melalui cerita ini ada sisi lain yang ingin diangkat. Sosok dan derajat perempuan yang selalu dianggap “konco wingking”, ternyata mampu melaju cepat melebihi kekuatan laki-laki. Kemampuannya dalam berdagang dengan Pulau Banda yang telah menimbulkan kecemburuan kaum laki-laki. Fitnahan yang ditujukan padanya, tak lain adalah cara-cara licik yang dilakukan kaum laki-laki untuk menghacurkan perempuan cerdas semacam Calonarang. Mungkin inihanya bentuk simbolisasi, namun yang jelas perjuangan yang dilakukan oleh kaum perempuan ternyata sudah berlangsung sejak lama.
Cerita ini disampaikan dengan menarik, walaupun ada beberapa bagian yang masih kurang, Kesan magis dan mistis yang biasa menyertai pementasan cerita Calonarang masih belum terasa. Akan tetapi, cerita yang disampaikan selama sekitar dua jam ini cukupmenyihir penonton untuk tidak bergerak dari tempat duduknya. Nilai-nilai sosial dan politik secara tersirat mampu menambah wawasan penonton. Hingga akhirnya penonton menyadari jalinan cerita yang utuh dari sebuah karya sastra dapat menghadirkan makna cerita yang mengandung nilai-nilai sosial warisan budaya. Salam Kompasianer-AST 210214
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H