Mohon tunggu...
anita putri
anita putri Mohon Tunggu... Musisi - swasta

seorang yang sangat menyukai musik

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kita dan Pilihan Panutan

6 Maret 2022   20:32 Diperbarui: 6 Maret 2022   20:36 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sekitar empat tahun lalu, kita dikejutkan oleh tindakan Kepala staf Angkatan Darat (KSAD) waktu itu Jenderal Andika Perkasa terhadap tiga anggota TNI yaitu satu kolonel yang menjabat Dandim Kendari, satu orang berpangkat Sersan dan satu orang berpangkat prajurit anggota POMAU Surabaya.

Pencopotan dari jabatan disertai penahanan selama 14 hari itu sesuai dengan UU no 25 tahun 2014 tentang disiplin militer. Tindakn KSAD itu karena ujaran kebencian yang dilakukan para istri mereka soal penusukan Menkopolkam (waktu itu) yaitu Wiranto. Ketiga istri mereka itu juga dilaporkan kesatuan kepada yang berwajib sesuai dengan UU no 19 tahun 20016 tentang ITE. 

Ini bagaikan tamparan keras kepada para prajurit karena dalam militer ada kewajiban para anggota untuk mendidik keluarganya sesuai dengan norma-norma dan aturan kebangsaan terlebih mereka adalah keluarga atau bagian dari penyelenggara negara itu sendiri.

Kejadian ini memang harus menjadi peringatan bagi kita semua soal ujaran kebencian, intoleransi dan radikalisme yang terkesan semakin tidak punya batas tak terkecuali dilakukan oleh para istri birokrat, istri TNI /Polri dan beberapa komponen masyarakat. Ujaran kebencian, intoleransi dan radikalisme yang saya maksud ini adalah narasi-narasi yang berkembang di media sosial.

Terlebih ibu-ibu (baca : keluarga) relatif kurang bersinggungan dengan politik dan dinamika agama secara umum. Mereka seringkali terjebak pada lingkup internal mereka yang relatif sepaham. 

Semisal, orang-orang yang punya faham intoleran akan berkumpul dengan yang seide. Juga orang-orang yang punya kecenderungan gemar melakukan ujaran kebencian akan berkumpul dengan mereka yang punya kegemaran sama.

Ini kemudian membentuk bubble (gelembung) yang kuat karena narasi-narasi mereka teramplifikasi oleh mereka sendiri. Saking kuatnya bubble ini kemudian mereka akan lebih mempercayai apa yang dikatakan oleh para anggota bubble itu. 

Sehingga tak heran jika ujaran kebencian atau kecenderungan intoleransi atau radikalisme terlontar para narasi-narasi mereka di media sosial. 

Seringkali bubble ini punya tokoh atau penceramah (biasanya agama) yang mereka anggap panutan, meski apa yang mereka ajarkan melenceng dari seharusnya.

Karena itu kejadian ini memang harus menjadi peringatan bagi kita semua soal pemilihan panutan termasuk panutan sosial maupun agama. Juga bagaimana kita mengkritisi bubble yang melingkupi keluarga, jangan sampai terjebak pada buble radikal, intoleran maupun gemar melakukan ujaran kebencian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun