Â
Beberapa waktu lalu di sejumlah daerah di Indonesia, polisi khususnya densus 88 menemukan indikasi kotak amal yang disinyalir digunakan untuk dana terorisme. Yang sangat penulis ingat adalah, penemuan sebuah rumah di Medan yang di dalamnya terdapat sekitar 700 kotak amal yang masih berisi uang. Penghuni rumah ataupun orang yang sering datang ke rumah itu tidak menunjukkan batang hidungnya.
Dalam keseharian , kita sering menemukan kotak amal itu di sekitar kita. Makan di warung tegal, di rumah makan Padang yang mewah atau di beberapa terminal, tempat banyak orang datang dan bertemu. Sang pemberi biasanya memasukkan uang yang besarnya tidak seberapa dalam kotak-kotak amal itu. Ada yang hanya 500 perak, seribu atau dua ribu, kembalian dari sang pemilik warung. Namun memang ada juga yang berjumlah 20 ribu rupiah atau sampai 100 ribu rupiah. Artinya masyarakat juga peduli dengan kotak-kotak amal yang ada di sekitarnya sejalan dengan semangat untuk bersedekah.
Tapi jika kotak amal yang ada di warteg-warteg itu sebagian mengalir untuk pendanaan terorisme, apa reaksi kita? Marah bukan? Karena itu memang perlu untuk selektif dalam memberi dana sebagai sedekah bagi kaum dhuafa.
Berbeda dengan kotak amal, berbeda pula dengan pondok pesantren (ponpes). Kita ketahui bersama bahwa ponpes adalah alternatif pendidikan yang cukup baik di Indonesia sejak dulu. Para alumninya, bukan saja mengetahui agama dengan baik, namun juga menguasai berbagai mata pelajaran non agama karena di ponpes mereka tidak saja mengaji dan belajar agama, namun juga belajar ilmu sosial, matematika ,ilmu alam dan lain sebagainya.
Ponpes semakin kuat dan setara dengan pendidikan umum lainnya dengan disahkannya UU no 18 tahun 2019. UU itu, adalah sejarah baru bentuk rekognisi (pengakuan) Negara terhadap pesantren yang eksistensinya sudah ada berabad-abad silam, jauh sebelum Tanah Air ini merdeka. Tidak hanya rekognisi, UU tentang Pesantren juga bagian dari afirmasi dan fasilitasi kepada dunia pondok pesantren. Sehingga proses dan produk nya bisa dipertanggungjawabkan secara moral dan keilmuan.
Sehingga tak heran jika banyak orangtua yang menyekolahkan anak-anaknya di pondok pesantren. Memang tiap ponpes berbeda fasilitas nya, ada yang terkoneksi dengan Sekolah dasar, sekolah menengah dan sekolah lanjutan atas.
Bahkan ada orang tua yang selalu menitipkan anaknya untuk menghabiskan waktu liburannya di pondok pesantren, dengan harapan bahwa dalam dua Minggu sampai satu bulan, sang anak bisa menyelami kehidupan santri dan mendalami agama lebih dari biasanya.
Ada orangtua yang rela mencari tahu dengan detail soal pengajaran di ponpes, tapi ada juga orangtua yang menyekolahkan anaknya di ponpes karena rekomendasi kolega atau saudara. Yang terakhir ini yang bahaya dan mungkin harus kita perbaiki.
Tanpa memandang ponpes sebagai wadah yang kapable untuk belajar agama, tidak ada salahnya bagi orangtua untuk mencari tahu bagaimana pengajaran di sana. Sama halnya dengan kotak amal yang sebenarnya bermaksud baik, namun ada oknum-oknum yang menyalahgunakan maksud baik itu.
 Karena itu kita harus selalu meningkat kan kewaspadaan kita terhadap hal-hal itu. Kita tahu ada juga ponpes dimana pengasuhnya memperdaya belasan santriwati nya sehingga beberapa diantara mereka hamil dan melahirkan anak.
Ini sama maknanya dengan kabar yang menyebutkan bahwa ada sekitar 198 ponpes yang ditengarai terafiliasi dengan kegiatan terorisme. Jumlah ini memang sedikit dibanding dengan jumlah ponpes secara keseluruhan yang berjumlah lebih dari 20 ribu ponpes.
Namun hendaknya harus dimaknai dengan "ada baiknya kita waspada" . Karena terorisme saat ini bisa menembus ruang-ruang pribadi kita dengan banyak cara. Jangan sampai maksud baik kita untuk menyekolahkan anak ke ponpes, disalahgunakan oleh oknum dengan pengajaran yang tak sepatutnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H