Saat penyerangan seorang wanita yang disebut sebagai ZA ke Mabes Polri dengan senjata airsoftgun, banyak orang terperangah. Setelah sebelumnya sepasang suami istri yang juga masih belia membawa bom dan meledak di pintu pagar Gereja Katedral Makassar. Aksi mereka merupakan kali kedua sebuah keluarga melakukan bom bunuh diri dengan menyasar tiga gereja setelah bom dahsyat di Surabaya meledak padatahun 2018.
Banyak orang mengatakan bahwa Indonesia punya babak baru soal pelibatan wanita dan anak muda dalam pengeboman dan penyerangan ke beberapa tempat strategus. Namun beberapa literature global menyebut bahwa sebenarnya, pelibatan wanita dengan kegiatan radikalisme ini secara global sudah dimulai sejak 1970-an.
Sejarah juga mencatat bahwa pemimpin Al-Qaeda waktu itu yaitu Osama Bin Laden mengatakan bahwa perjuangan wanita adalah dukungan bagi kaum pria untuk melakukan jihad. Namun itu berubah sama sekali saat seorang pemimpin al-Qaeda dari Yordania pada tahun 2005 menjadi orang pertama yang membolehkan perempuan angkat senjata karena dinilai strategis dengan memanfaatkan persepsi awam soal pelaku tetorisme yang jarang mengacu pada perempuan.
 Bagi perempuan sendiri pelibatan mereka menjadi pelaku dan bukan sekadar supporting grup, merupakan bentuk legitimasi dari kelompoknya. Mereka bukan sekarang menyiapkan makanan, membersihkan luka-luka para korban dan mendidik anak mereka, namun menjadi pelaku jihad bagi wanita adalah bentuk penghormatan kelompok mereka pada dirinya.
Pada tahun 2015, saat banyak keluarga radikal di Indonesia kesulitan untuk berangkat ke Suriah untuk mendukung ISIS, Jamaah Ansharut Daulah (JAD) menyerukan kepada para anggota dan simpatisannya agar melakukan jihad di Indonesia saja karena berperang dan melakukan jihad di Suriah amat sulit dan mengandung resiko tertangkap. Ini adalah jihad palsu yang memanfaatkan masyarakat yang awam soal tafsir agama.
Karena itulah kita mendapati beberapa pelaku belia dan wanita menjadi pelaku bom bunuh diri di Indonesia, meski pengamat radikalisme Asia yaitu Sidney Jones menyebut bahwa pelaku lone wolfe masih jarang namun di Indonesia, itu telah terjadi.  Mulai dari bom di Sumatera Utara, upaya pengeboman di pos polisi di Solo, beberapa bom di Jakarta, Surabaya dan terakhir adalah Makassar dan Mabes Polri itu. Dua yang terakhir begitu transparan menyatakan niat mereka untuk mati syahid dengan menuliskan surat wasiat kepada keluarga mereka.
Karena itu beberapa pengamat radikalisme dan psikologi keluarga menyebut bahwa masyarakat memang harus selalu waspada soal ancaman faham ini di lingkungan mereka, seperti tercermin pada penangkapan terduga teroris di beberapa daerah oleh densus 88. Radikalisme dan terorisme bisa mengancam siapa saja yang lengah dan tidak waspada, dan mengubahnya seakan mereka akan menjadi pahlawan jika melakukan jihad. Padahal itu adalah jihad palsu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H