Mohon tunggu...
anita putri
anita putri Mohon Tunggu... Musisi - swasta

seorang yang sangat menyukai musik

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Masyarakat dan Pemerintah Bersama Berantas Intoleransi

16 November 2019   09:52 Diperbarui: 16 November 2019   10:05 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kasus-kasus intoleransi semakin hari semakin sering kita dengar. Yogyakarta misalnya. Dulu, Provinsi Istimewa yang dipimpin oleh seorang Sultan itu adalah salah satu provinsi yang disukai masyarakat dan wisatawan karena mampu memberikan kedamaian, dan sekaligus suasana pluralisme.

Dulu pluralisme kental di Yogya karena sebagai kota pendidikan, Yogya menerima mahasiswa dari berbagai daerah di Indonesia. Tak hanya itu, daerah ini juga menerima mahasiswa dan penelitia dari luar negeri. Belum lagi wisatawan domestik dan mancanegara. Semuanya ini ini memberi warna bagi Yogya.

Tapi perkembangan di lapangan ternyata lain. Kita tak usah menampik bahwa dalam lima tahun ini Yogya tak lagi nyaman bagi kaum minoritas yang tinggal di situ. Kita bisa lihat contoh yang jelas misalnya pada kasus Slamet Jumiarto pada Maret 2019 lalu. Dia dan keluarga yang beragama non muslim bermaksud akan mengontrak di dusun Karet, desa Pleret, Kecamatan Pleret Kabupaten Bantul.

Setelah trnasaksi dengan pemilik rumah dia  lapor pada perangkat desa setempat bahwa dia pindah ke dusun itu dan proses trnasaksi dengan pemilik rumah selesai. Yang terjadi adalah Slamet ditolak oleh warga dan perangkat desa karena menurut mereka desa itu tidak menerima warga pindahan yang beda agama dengan mereka. Slamet yang memang non muslim jelas tidak bisa tinggal di sana karena ketentuan itu.

Kasus lainnya adalah soal penggergajian nisan berbentuk salib di pemakanan Jambon kota Gede di Yogyakarta. Seorang warga yang meninggal bernama Albertus terpaksa dimakamkan di pemakaman muslim karena di daerah itu tidak ada pemakaman non muslim. Akhirnya ujung atas salib dipotong untuk menghindari konflik.

Beberapa kasus juga terjadi di Yogya antara lain pembubaran sedekah laut di Pantai Baru, Srandakan, Yogyakarta, dan beberapa lainnya. Aliansi Nasional Bineka Tunggal Ika (ANBTI) Yogya mencatat ada 10 kasus intoleransi yang didominasi kasus kebebasan beragama pada tahuh 2018. Dari jumlah itu ada enam kasus baru dan empat kasus lama. Kasus yang paling baru adalah pembubaran paksa upacara piodalan (hari jadi secara adat) di dusun Mangir Lor, desa Sedangsari Kabupaten Bantul.

Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah dan masyarakat. Presiden Indonesia sejak beberapa tahun lalu menyuarakan bahwa tidak ada tempat bagi sikap intoleransi di Indonesia, karena negara kita berdasar Pancasila dan berbasis pluralism. Karena kondisi itu kita tidak bisa memaksakan satu keyakinan untuk lebih tinggi dibanding yang lain.

Bagaimanapun intoleransi dan sikap intoleran di Indonesia tidak bisa dianggap remah. Kita harus bersama-sama pemerintah memberantasnya sehingga tidak menjadi liar dan besar di Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun