Mohon tunggu...
Anisya Nur Widya
Anisya Nur Widya Mohon Tunggu... Lainnya - SyaDya

Menjadi bermanfaat dengan berkarya. Seorang kecil yang ingin menggetarkan hati yang besar.

Selanjutnya

Tutup

Money

Melemahnya Fluktuasi, Ekonomi Kreatif Mengobati

9 Januari 2021   09:39 Diperbarui: 9 Januari 2021   09:43 639
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Permulaan Maret saat pandemi Covid-19 mulai bersua di Indonesia, untuk pertama kalinya masyarakat merasa gagap terhadap perubahan drastis akan seluruh sektor yang sebelumnya berjalan baik. Jika dikaji lebih dalam, merosotnya perekonomian merupakan pengerucutan dari semua dampak pandemi yang dirasakan oleh berbagai macam sektor. Bicara mengenai sektor pariwisata yang paling terdampak selama pandemi ini, nyatanya membawa pada anjloknya perekonomian Indonesia. Sektor industri, transportasi, pangan, dan lain-lain yang ikut terpengaruh oleh Covid-19 pada akhirnya juga membuat tingkat ekonomi negara menjadi jatuh.

Fluktuasi ekonomi dimasa pandemi

Fluktuasi perekonomian Indonesia terjadi cukup signifikan dilihat dari tahun 2018 sampai 2020 pada kuartal I dan II. Menurut artikel yang ditulis oleh Rowland Bismark, civitas akademika Universitas Gunadarma, fluktuasi ekonomi merupakan kenaikan dan penurunan aktivitas ekonomi secara relatif dibandingkan dengan tren pertumbuhan jangka panjang dari ekonomi. Kenaikan dan penurunan biasanya meliputi negara dan bahkan dunia dan memengaruhi seluruh dimensi dari kegiatan ekonomi.

Berdasarkan data BPS menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I/2018 adalah 5.06%, kuartal I/2019 adalah 5.07^% dan kuartal I/2020 ialah 2.97%. Jika dianalisis, perekonomian Indonesia pada kuartal I/2018 dan 2019 masih tergolong aman atau dengan kata lain masih berkisar pada angka 5%, namun sejak pandemi Covid-19 menyergap negara bahkan dunia, perekonomian Indonesia pada kuartal I/2020 menjadi jatuh yaitu hanya mencapai 2.97%. Begitu pula pada kuartal II/2018 pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5.27% kemudian pada kuartal II/2019 sebesar 5.05% dan pada kuartal II/2020 ialah minus 5.32%. Apabila dikaji secara mendalam, pertumbuhan ekonomi pada kuartal II/2020 jauh lebih merosot yaitu mencapai minus 5.32%. Padahal pada kuartal II tahun 2018 dan 2019 perekonomian masih terletak pada rentang 5%. Itu artinya pandemi Covid-19 begitu ampuh melumpuhkan pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam sekejap.

Kehidupan yang semula berjalan baik tanpa terduga masuknya pandemi ke Indonesia membuat masyarakat menjadi kelimpungan akan kondisi baru yang cenderung bersifat negatif. Segala hal menjadi irasional, banyak orang tidak mampu berpikir jernih sehingga seringkali malah memperburuk keadaan. Permintaan akan masker medis, hand sanitizer, thermogun, dan alat perlindungan diri lainnya meningkat tajam. Masyarakat berbondong-bondong mempergunakan uang yang disimpannya untuk membeli segala kebutuhan pokok dengan jumlah yang tak sedikit bahkan mencapai tingkat tak masuk akal pada awal maret lalu. Fenomena ini dinamakan dengan panic buying. Ini terjadi sebab belum maksimalnya pemahaman masyarakat akan adanya virus corona yang tiba-tiba datang.

Seluruh masyarakat merasa jika APD dan kebutuhan pangan sangat diperlukan dimasa seperti ini. Oleh karenanya, timbul dua pemicu dari panic buying yang melatarbelakangi pemikiran masyarakat: yaitu pertama, jika tidak membeli APD dan kebutuhan pokok secepatnya maka akan kehabisan. Serta kedua, jika tidak membeli dengan segera maka harga-harga akan meningkat tajam. Fenomena Panic buying rupanya menjadi masalah baru bagi dunia perekonomian yaitu timbulnya kelangkaan. Hal ini terjadi akibat banyaknya permintaan dari sisi konsumen yang tidak diimbangi dengan penawaran dari sisi produsen. Tingginya permintaan konsumen juga mengakibatkan Indonesia rentan mengalami inflasi pada awal 2020.

Sekitar bulan Februari lalu, saat pemerintah menyatakan bahwa untuk pertama kalinya ada dua warga negara Indonesia yang terpapar Covid-19, masyarakat lantas berburu APD dan kebutuhan pokok secara tak wajar, sehingga kelangkaan berfokus pada barang-barang seperti masker medis, hand sanitizer, dan beberapa bahan pokok makanan.

Selain dari adanya panic buying yang menyebabkan kelangkaan, beberapa pihak banyak yang mengambil kesempatan dalam kesempitan dengan dalih mencari keuntungan sebesar-besarnya yaitu melakukan penimbunan terhadap masker medis dan handsanitizer. Peristiwa ini akhirnya menyababkan harga barang meningkat dua kali lipat. Namun, tak lama dari munculnya fenomena kelangkaan pada masker medis, dalam hal ini pemerintah lantas memutuskan jika penggunaannya dapat diganti masker kain dengan kualitas tertentu yang sekiranya juga handal dalam melindungi diri dari penyebaran Covid-19. Pada akhirnya permintaan masker medis berangsur menurun dan diikuti dengan APD lain seperti hand sanitizer juga bahan pokok makanan. Setelahnya, harga-harga kembali menurun seperti sedia kala.

Panic buying yang terjadi diawal masa peredaran Covid-19 di Indonesia dan menyebabkan kelangkaan ternyata juga membuat nilai rupiah menjadi sangat lemah terhadap dollar. Berdasarkan jurnal yang ditulis oleh Estro Dariatno Sihaloho selaku civitas akademika Universitas Padjadjaran menyatakan, bahwa pada tanggal 2 Maret 2020 1 USD terhadap rupiah sebesar Rp 14,265.00, kemudian ditanggal 9 April 2020 nilai tukar 1 USD terhadap rupiah adalah sebesar 15,880.00. Sehingga nilai rupiah melemah sebesar 1,615 poin atau sebesar 11.32%. Pelemahan terburuk rupiah terjadi pada tanggal 23 Maret 2020, dengan nilai tukar 1 USD terhadap rupiah adalah Rp 16,575.00 atau sebesar 16.19%.

Tak usai sampai disini, penyebab lain dari perekonomian Indonesia yang berfluktuasi rendah ialah matinya sektor-sektor industri. Sektor pariwisata misalnya, salah satu penopang ekonomi negara terbesar dengan menyumbang 4.80% terhadap PDB ditahun 2019 (data Kementerian Pariwisata) rupanya harus stagnan ditahun 2020 sebab berhadapan dengan kondisi yang serba tidak memungkinkan dan diperparah oleh kebijakan PSBB dan lockdown bagi beberapa daerah.

Berbicara soal kebijakan PSBB yang diterapkan diberbagai daerah ternyata menghasilkan banyak persoalan baru. Salah satunya ialah macetnya perputaran ekonomi sebab melemahnya daya beli masyarakat, artinya tingkat permintaan menurun. Anjloknya pola konsumsi ini terjadi begitu cepat setelah hampir dua bulan masyarakat mengalami panic buying.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun