Mohon tunggu...
Anisya Meila Luthfi
Anisya Meila Luthfi Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Mahasiswa UIN WALISONGO

Be yourself

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Resistensi Masyarakat terhadap Kebijakan Pembatasan Sosial

12 Agustus 2021   22:20 Diperbarui: 12 Agustus 2021   22:27 358
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
smkyadikabalam.sch.id

Perbincangan tentang pandemi Covid-19 memang tidak ada habisnya. Sejak pertama muncul hingga menjadi pandemi, isu tentang Covid-19 memang mengalir deras di masyarakat. Akhir-akhir ini tren kasus Covid-19 mengalami peningkatkan. Hal ini memicu perhatian pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan-kebijakan baru, salah satunya tentang pembatasan sosial. 

Pembatasan sosial yang masih menghangat yaitu kebijakan PPKM atau Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat. PPKM ini dilakukan secara bertahap yakni PPKM mikro dan ppkm darurat. Di samping kegiatan tersebut, pemerintah gencar untuk mempercepat program vaksinasi kepada masyarakat di Indonesia agar menekan laju peningkatan kasus Covid-19 yang terjadi saat ini. 

Namun ternyata masih banyak masyarakat yang tidak mendukung kebijakan pemerintah dalam upaya penangan pandemi Covid-19. Salah satu diantaranya adalah, sikap resisten masyarakat terhadap berbagai kebijakan pembatasan. Alih-alih memperoleh herd immunity akibat vaksin yang digalakan, malahan banyak masyarakat yang mengesampingkan PPKM, enggan mematuhi protokol kesehatan dan tetap berkegiatan serta menolak melakukan vaksinasi. Alhasil banyak masyarakat yang sulit dikendalikan hingga jumlah korban terkait Covid-19 masih tergolong tinggi. Lalu, apa sih yang membuat masyarakat begitu resisten terhadap kebijakan pemerintah?

Pertama, besar pengeluaran daripada pendapatan. Hal ini berlaku bagi masyarakat terutama kalangan menengah ke bawah yang memiliki usaha dan mewajibkan untuk kontak sosial seperti pedagang dan UMKM lainnya. Tentunya, adanya pembatasan sosial akan mengurangi tingkat pendapatan mereka akibat pelanggan hanya diperbolehkan melakukan jual beli secara take away. Imbasnya, masyarakat yang menggantungkan hidupnya dengan berjualan makanan akan minim pelanggan yang berdampak pada pendapatan yang sedikit. 

Oleh karena itu, masyarakat enggan mematuhi kebijakan pemerintah, banyak yang diketahui kucing-kucingan dengan pihak berwajib ketika membuka warung makan atau restoran. Masyarakat beranggapan bahwa harus ada pemasukan tiap hari karena pengeluaran juga tentu ada setiap harinya sehingga memilih untuk tetap berdagang.

Kedua, kontradiksi kebijakan dengan implementasi kebijakan di kalangan pejabat atau pihak satgas Covid-19. Hal ini terlihat dari beberapa video atau berita yang tersebar di sosial media terkait pelanggaran yang dilakukan pejabat ataupun aparat penegak hukum. Seperti pengadaan pesta pernikahan yang dilakukan ketika masa PPKM berlangsung. Hal tersebut membuat masyarakat semakin resisten akibat seorang pejabat yang menjadi teldan saja  bisa melanggar kebijakan, mengapa masyarakat tidak?

Ketiga, penerapan protokol kesehatan berbau ancaman kepada masyarakat dan dirasa memberikan sanksi dengan hukum tumpul ke atas, dan tajam ke bawah. Hal ini terlihat dari pelanggaran protokol kesehatan yang dilakukan oleh orang penting, cenderung memiliki ancaman sanksi yang berbeda. Diketahui bahwa aparat dan satgas Covid-19 sering memberikan denda pada masyarakat yang tidak patuh terhadap kebijakan pemerintah dengan nominal yang cukup tinggi, namun tidak berlaku dengan orang-orang yang dianggap penting. 

Bahkan perbandingan ini juga cukup mencolok. Baru-baru saja tersebar di media sosial bahwa sebuah brand makanan ternama terkena sanksi sejumlah uang 500 ribu, berbeda dengan tukang bubur yang didenda sebanyak Rp 5 Juta. Tentunya hal ini menjadi kontroversi akibat perbedaan aturan dan denda terkait pelanggaran kebijakan pemerintah.

Setidaknya, tiga alasan tersebut merupakan beberapa hal yang memicu sikap resistensi masyarakat terhadap pemerintah. Aturan-aturan yang masih kurang jelas, dan berbagai hal lain menimbulkan sikap ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah sehingga memilih untuk melakukan hal demi kepentingan pribadi. Seharusnya, dalam upaya menghadapi pandemi Covid-19 ini diperlukan adanya sinergi dari semua elemen masyarakat untuk membentuk satu kesatuan yang kuat demi menciptakan Indonesia yang sehat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun